Profesi pelaut kini bukan hanya milik kaum pria. Perempuan juga punya kesempatan yang sama. Merekalah srikandi penerjang gelombang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
”Maju sedikit (kapal)... Belit (talinya)....” Berdiri di teras anjungan kapal perintis KM Sabuk Nusantara 108, perempuan itu memberi perintah lewat handy talkie (HT). Sahut-menyahut terdengar di HT hingga tangga turun dari kapal menyentuh Pelabuhan Menanga, Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (1/11/2022).
Ia kemudian masuk ke ruang kemudi untuk melaporkan kepada nakhoda bahwa kapal sudah bersandar di dermaga. Proses tambat labuh selesai. Sejurus kemudian ia meletakkan HT lalu merapikan poni rambutnya yang sedikit berantakan. Namanya Erni, bertugas sebagai Mualim I.
Setelah kapal berukuran 1.200 gros ton dengan panjang 62,8 meter dan lebar 12 meter itu sandar, ia baru boleh istirahat sejenak di kamar dan akan kembali menyiapkan keberangkatan kapal menuju pelabuhan singgah berikutnya. ”Selama kapal sedang berlayar, seorang mualim satu harus standby di anjungan,” ujarnya.
Secara struktur, mualim satu merupakan orang nomor dua di kapal setelah nakhoda. Tanggung jawabnya itu tak mudah. Di anjungan ia bertugas mengontrol kerja juru mudi, mengecek kondisi penumpang dan angkutan barang. Ia juga mengawasi hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran.
Sudah delapan bulan Erni bertugas di KM Sabuk Nusantara 108. Kapal yang dioperasikan PT Pelni itu melayani rute pelayaran perintis. Pelayaran perintis diperuntukkan bagi pelabuhan yang minim transportasi laut. Dari pangkalan di Pelabuhan Tenau, Kota Kupang, kapal berlayar ke enam pelabuhan singgah di dalam wilayah NTT.
Pelabuhan dimaksud berturut-turut mulai dari Naikliu di Kabupaten Kupang; Menanga di Kabupaten Flores Timur; Lewoloba dan Balairung di Kabupaten Lembata; Baranusa dan Kalabahi di Kabupaten Alor; dan berakhir di Atapupu, Kabupaten Belu. Satu trip pergi pulang memakan waktu delapan hari. Dua hari istirahat, kembali berlayar di rute yang sama.
Sebagai satu-satunya perempuan di kapal itu, Erni tak merasa khawatir. Sebab, sejak masih sekolah hingga tamat 2018 di akademi pelayaran, ia sudah mengalami kondisi di mana jumlah perempuan pelaut memang tak banyak. ”Kalau sakit di atas kapal itu agak repot. Karena perempuan sendiri, maka harus berusaha untuk terbiasa bisa urus diri sendiri,” katanya.
Selain kapal penumpang seperti Sabuk Nusantara 108, ia juga pernah bertugas di kapal barang. Ia mengaku lebih suka dengan kapal penumpang karena sering berjumpa dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Selain itu, itu kapal penumpang menyinggahi lebih banyak pelabuhan.
Siapa bilang semua pelaut tidak setia dan suka obral janji? (Erni)
”Bertemu orang dan melihat keindahan alam dari atas kapal itu tidak ternilai. Memang kadang kala juga bertemu penumpang yang sulit diatur, seperti tidak menjaga kebersihan, isap rokok sembarangan, dan kadang tidak beli tiket. Padahal, kapal perintis ini tiketnya sangat murah karena sudah disubsidi,” katanya.
Bagi seorang pelaut, gelombang adalah teman seperjalanan. Tak jarang gelombang menerjang kapal membuat ia dan para awak berusaha menjaga keseimbangan kapal tetap stabil. Pernah kapal yang ia awaki kandas di perairan bagian timur Pulau Madura, Jawa Timur. Itu jadi pengalaman paling berkesan sejauh ini.
Mewujudkan mimpi
Perempuan berdarah Bugis, Sulawesi Selatan, itu menuturkan, pengalaman membuat dirinya semakin matang sebagai pelaut, sesuatu yang bukan mimpinya dari kecil. Ia baru membelokkan cita-citanya setelah tamat SMA. Ia tertarik setelah melihat seragam pamannya, seorang pelaut. Ia lalu mengikuti jejak itu.
Motivasi lain adalah ia ingin mengenal banyak sisi Nusantara dan bermimpi suatu ketika bisa berlayar ke sejumlah negara di dunia. Mendatangi banyak di tempat adalah pengalaman yang tidak dirasakan semua orang. Apalagi, di kalangan pelaut, banyak yang bilang berlayar bagi mereka adalah ”pesiar sambil digaji”.
Namun, pencapaian semacam itu dibayar mahal. Waktu bersama keluarga hanya sebentar. Jika ingin bertemu kedua orangtua, ia meminta mereka terbang ke pelabuhan pangkal saat ia sedang berlayar pulang. Di pelabuhan pangkal ia punya waktu istirahat beberapa hari.
Lalu bagaimana dengan hubungan asmara? Erni yang kini berusia 28 tahun itu masih lajang. Memang, bagi yang siapa pun yang menjalani hubungan dengan pelaut, harus punya kerelaan tingkat tinggi. Harus rela melepas ia berlayar jauh dengan segala risik. Saling percaya adalah kuncinya. ”Siapa bilang semua pelaut tidak setia dan suka obral janji?” ujarnya.
Nakhoda KM Sabuk Nusantara 108, Samuel Sampe, mengatakan, keberadaan Erni di kapal memberi warna tersendiri dalam pelayaran. Ia menjadi pembeda di antara pelaut yang didominasi pria. Selain tugas rutin sebagai mualim satu, peran Erni dibutuhkan jika ada pasien perempuan yang sakit saat dalam pelayaran.
”Memang setiap awak kapal terutama perwira dibekali juga dengan pelatihan mengatasi keadaan darurat seperti pasien sakti tiba-tiba atau melahirkan di atas kapal. Kalau ada awak kapal perempuan, tentu mereka tidak sungkan,” kata Sampe.
Kapal SAR
Selain Erni, ada juga Mega. Ibu berusia 45 tahun itu kini menjadi nakhoda pada Kapal Negara Antareja, kapal milik Badan SAR (pencarian dan pertolongan), yang bermarkas di Pelabuhan Tenau Kupang. Kompas menemuinya saat operasi pencarian korban hilang dalam tragedi kebakaran feri cepat Ekspress Cantika 77 di Laut Sawu, NTT, pada Senin (24/10/2022) siang.
Sesaat setelah mendapat laporan kebakaran, Mega bersama tim langsung bergerak ke lokasi yang berjarak sekitar 48 mil laut (88,9 km) dari Pelabuhan Tenau. Operasi itu menyelamatkan 323 orang. Sebanyak 20 orang ditemukan meninggal dan 17 orang lainnya masih hilang hingga kini.
Menurut Mega, nakhoda kapal SAR harus siaga selama 24 jam mengingat kecelakaan laut dapat terjadi sewaktu-waktu. ”Saya sangat menikmati jalan ini. Membawa kapal SAR ini adalah suatu misi kemanusiaan. Banyak orang berharap pada kami meski kadang kala pencarian dan pertolongan tidak membuahkan hasil,” ujarnya.
Saidar R Jaya, Kepala Seksi Operasi dan Kedaruratan Kantor SAR Kupang yang memimpin operasi itu, mengakui, dalam pencarian korban meninggal, hasil analisis kecepatan dan arah arus menjadi pertimbangan utama untuk menentukan radius pergerakan kapal. Namun terkadang, feeling juga dibutuhkan. Feeling itu melekat kuat pada pribadi perempuan yang menjadi nakhoda.
Keberadaan Erni, Mega, dan banyak perempuan lain di kapal menunjukkan betapa profesi pelaut kini bukan hanya milik kaum pria. Perempuan juga punya kesempatan yang sama. Merekalah srikandi penerjang gelombang.