Sudah lima hari, ribuan angkutan penumpang, logistik, dan kendaraan pribadi terjebak banjir di Aceh Tamiang. Para sopir tidur di kendaraan dan makan seadanya. Arus logistik dan penumpang Medan-Banda Aceh lumpuh.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
ACEH TAMIANG, KOMPAS — Sudah lima hari ribuan angkutan penumpang, logistik, dan kendaraan pribadi terjebak banjir di Jalan Medan-Banda Aceh, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Para sopir tidur di kendaraan dan makan seadanya. Arus logistik dan penumpang dari jalur Medan-Banda Aceh pun hampir lumpuh total.
Pantauan Kompas yang menyusuri Jalan Medan-Banda Aceh dari Medan, antrean kendaraan mulai terjadi menjelang perbatasan Sumut-Aceh di Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sabtu (5/11/2022). Ribuan kendaraan yang didominasi truk angkutan logistik berhenti di badan jalan lajur kiri.
Kendaraan memanjang hampir 10 kilometer sampai ke titik banjir pertama di Desa Karang Jadi, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. Genangan air setinggi 50 sentimeter menutupi jalan sepanjang kira-kira 300 meter. Hanya beberapa truk besar yang sesekali berani menerobos genangan air.
”Di depan masih banyak titik banjir dan ada yang hampir sedalam 1 meter. Kami di sini sejak Selasa (1/11/2022) malam menunggu banjir surut,” kata Wisbahul Darwis (25), sopir truk yang hendak membawa barang-barang kelontong ke Kabupaten Aceh Utara.
Darwis berangkat dari Medan sejak Selasa sore. Seharusnya, ia sampai di Aceh Utara pada Rabu sekitar pukul 05.00. Namun, sudah lima hari truknya tidak bisa bergerak. Ia tidak berani menerobos banjir karena truknya bisa mogok. Barang kelontong bawaannya juga bisa rusak terkena banjir.
Uang makan Darwis yang hanya Rp 300.000 untuk pergi-pulang Aceh Utara-Medan pun sudah habis sejak Rabu. Ia meminjam uang dari sopir lain dan sesekali meminta makan ke mereka. ”Sejak Rabu, saya dan kernet hanya makan sekali sehari,” kata Darwis.
Hujan lebat pada Sabtu sore pun dimanfaatkan Darwis untuk mandi dari air yang menggenang di atas tenda truknya. Ia meminta kernetnya menjatuhkan air dari atas tenda dan ia mandi dengan sabun batang di bawahnya. ”Sejak macet, baru ini saya kepikiran untuk mandi,” ujarnya.
Hal serupa dialami Abdul Fery (30) yang membawa pupuk dari Lhokseumawe dan hendak ke Medan. Ia juga sudah terjebak sejak Selasa sore. ”Pada Rabu malam, truk kami mogok di tengah jalan saat mencoba melewati genangan air,” kata Fery.
Fery dan kernetnya pun tidur di kabin truk untuk menjaga truknya. Terkadang, gelombang air dari empasan truk lain yang melintas mengempas hingga air merembes ke kabin truknya. Saat hujan turun, mereka sangat waswas karena pupuknya bisa terendam jika air semakin tinggi.
Setelah tiga hari truknya mogok di tengah jalan, truk lain pun dikerahkan untuk menarik truk Fery ke tempat yang lebih aman dari genangan air dan agar kendaraan lain lebih leluasa lewat dari genangan air. Saat hujan lebat turun pada Sabtu sore, Fery bersama kernetnya buru-buru memasang tenda bak agar pupuk yang ia bawa tidak basah. ”Kalau pupuk sampai basah dan rusak, bisa-bisa kami yang harus bayar,” kata Fery.
Uang makan Fery dan kernetnya pun sudah habis. Ia hanya makan sekali sehari dari uang pinjaman dari teman sopir yang lain.
Tidak hanya sopir angkutan logistik, mobil pribadi pun terjebak dalam kemacetan panjang itu. Jika beberapa mobil truk masih bisa melewati genangan air, mobil pribadi atau minibus sama sekali tidak bisa melewati genangan banjir di Aceh Tamiang sejak Selasa malam. ”Kami sekeluarga dari Kabupaten Sigli pada Senin malam untuk mengurus visa ke Medan. Saat hendak pulang ke Sigli pada Selasa, kami terjebak banjir,” kata Abdul Haris (40).
Haris beserta istri dan tiga anaknya pun hanya tidur di mobil selama lima hari ini. Saat jam makan, mereka memutar balik ke Besitang, lalu kembali lagi mengantre.
Sementara itu, angkutan penumpang Medan-Banda Aceh hampir lumpuh total. Beberapa bus besar berhasil menerobos genangan air. Bus lainnya hanya melayani Medan-Besitang. Penumpang lalu berjalan kaki 10-15 kilometer membawa barang bawaannya untuk melewati beberapa titik banjir. Mereka lanjut menaiki bus yang sudah bersiap di seberang banjir.
”Saya sudah sejak Rabu hendak ke Lhokseumawe, tetapi tidak ada bus langsung dari Medan. Saya memilih naik bus sampai ke Besitang, lalu lanjut jalan kaki melewati banjir karena saya harus bekerja di Lhokseumawe. Anak dan istri saya juga sudah menunggu,” kata Zulkarnain (35), warga Lhokseumawe yang membawa beberapa kardus dan tas dari Medan.
Selain menggenangi jalan nasional, banjir Aceh Tamiang juga merendam permukiman warga. Data dari posko utama tanggap darurat penanganan banjir Aceh Tamiang menyebutkan, hingga 5 November 2022, sebanyak 79 desa terisolasi. Adapun jumlah pengungsi sebanyak 11.737 orang yang tersebar di 267 lokasi pengungsian (Kompas.id, Sabtu 5/11/2022).
Sejumlah desa pedalaman di Aceh Tamiang terkurung banjir. Akibatnya, persediaan bahan makanan menipis. Distribusi pangan ke desa-desa itu sangat dibutuhkan.
Wakil Ketua I Karang Taruna Kabupaten Aceh Tamiang Muhammad Hendra menuturkan, sejumlah desa di pedalaman terkurung. Warga tidak dapat keluar untuk berbelanja bahan makanan. Sementara stok di rumah atau di pasar desa telah habis.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Tamiang Iman Suhery mengatakan, 130 dari 213 desa terdampak banjir. Banjir terjadi di 12 kecamatan di Tamiang. Akibatnya, 7.329 keluarga atau 24.362 jiwa terdampak. Sedikitnya 439 keluarga atau 1.413 jiwa di antaranya bahkan mengungsi karena rumahnya terendam banjir.