Sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai yang menghadirkan terdakwa tunggal Isak Sattu sebentar lagi berakhir. Lebih dari 30 saksi dan terdakwa telah memberi keterangan di persidangan. Jaksa segera membacakan tuntutan.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·5 menit baca
Isak Sattu, Mayor Infanteri (purnawirawan), terdakwa tunggal dalam sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai, separuh ”curhat” saat memberi kesaksian dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (3/11/2022). Setelah sidang maraton yang digelar dua kali sepekan sejak Rabu (21/9) lalu dan memeriksa lebih dari 30 saksi, keterangan Isak akhirnya didengar dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Sepanjang sidang digelar sejak kali pertama, tak pernah sekali pun mantan perwira penghubung (pabung) ini alpa. Setiap sidang, dia datang dan selalu mengenakan kemeja batik. Corak dan warnanya saja yang berbeda-beda.
Curhat Isak tanpa sengaja terucap saat hakim anggota Robert Pasaribu bertanya, apakah dia pernah mendapat bintang penghargaan. Pertanyaan ini kemudian dijawab Isak dengan menyebut,selama 37 tahun mengabdi sebagai aparat TNI dan diterjunkan ke berbagai wilayah rawan di Papua, tak pernah dia mendapat bintang penghargaan.
”Tidak pernah yang mulia. Saya hanya mendapat lencana-lencana (masa) kerja. Biasanya ada yang dapat karena rekayasa laporan, mungkin juga ada lobi-lobi. Izin yang mulia, ini saya terus terang. Masuk akal nda (dengan kejaidan Paniai), ada yang naik pangkat, ada yang disekolahkan. Kalau menurut aturan, orang-orang yang bermasalah harusnya dihukum, bukan disekolahkan. Namun, kenyataannya, danramil dari kapten jadi mayor, yang lain disekolahkan lalu jadi letnan,” kata Isak yang mengundang tawa dan senyum pengunjung sidang.
Dia juga bercerita beberapa kali ditugaskan di lokasi rawan saat terjadi rusuh dan komandan komando rayon militer (koramil) atau pejabat berwenang tidak berada di tempat. Suatu ketika, di Distrik Ilaga, dia harus menghadapi kerusuhan yang disebabkan perang suku, perang saudara, sekaligus perang politik. Padahal, menurut dia, tugasnya sebagai penghubung tidak memberinya kewenangan dan tanggung jawab terhadap pasukan.
Terdakwa tunggal
Isak adalah satu-satunya terdakwa yang dihadapkan di persidangan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Paniai. Kasus Paniai adalah peristiwa ketika pasukan TNI menembak warga dan menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 lainnya luka-luka. Kasus yang terjadi pada 2014 ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.
Penembakan terjadi ditengah aksi unjuk rasa warga di Koramil 1705-02 Enarotali yang memprotes pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum TNI. Pemukulan ini sendiri adalah dampak cekcok mulut saat seorang anggota TNI yang nyaris menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Isak yang mengaku saat kejadian kebetulan berada di Markas Koramil Paniai akhirnya didudukkan menjadi terdakwa. Alasannya, berdasarkan dakwaan jaksa, saat peristiwa tersebut, Isak adalah satu-satunya perwira dan senior di Koramil. Saat itu, danramil sedang tidak berada di tempat.
”Waktu koramil diserang, saya menghubungi danramil, dandim, dan beberapa pejabat, tetapi saat itu komunikasi sulit. Kepada pasukan saya sudah ingatkan agar tidak menembak ke arah massa, tetapi memberi tembakan peringatan. Namun, ada yang mendengar, ada yang tidak,sementara situasi juga makin kacau. Sebagai pabung, secara struktur saya tidak berwenang pada pasukan atau aparat di koramil. Tugas saya hanya menjadi penghubung antara pejabat kodim dan pihak pemerintah,” paparnya.
Masuk akal nda (dengan kejaidan Paniai), ada yang naik pangkat, ada yang disekolahkan.
Saat hakim bertanya sedikit hal terkait pribadi, Isak menyebut memiliki dua anak kandung dan satu anak angkat. Saat ini baru satu anaknya yang ikut bekerja di proyek, tetapi bukan karyawan tetap. Dia pensiun pada 2016 atau dua tahun setelah kejadian. Dia mengisi kegiatan dengan mengantar jemput anak yang masih sekolah, beternak, dan aktif menjadi pelayan di gereja. Istrinya adalah guru TK.
”Istri saya dua, salah satunya senjata,” ujarnya berkelakar saat hakim ketua Sutisna Sawati bertanya berapa istri Isak.
Perumpamaan senjata sebagai istri pertama dijelaskan Isak dalam pemeriksaan saat menjelaskan pentingnya menjaga senjata bagi seorang aparat TNI.
Sidang HAM setengah hati
Dalam sidang pemeriksaan saksi ahli sebelumnya, Robintan Sulaiman, konsultan hukum forensik, mengatakan, dalam struktur, sebenarnya terdakwa tidakharus bertanggung jawab.Posisinya sebagai perwira penghubung hanya memiliki kewenangan secara administratif dam bukan terhadap pasukan.
”Seorang yang memiliki kewenangan, tidakterecuali pejabat sementara atau pelaksana tugas, adalah seseorang yang dapat mandat. Karena itu, kewenangannya melekat. Selama tidak ditugaskan, tak bisa disebut perwira penghubungmendapat mandat. Apalagi, dia orang yangpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kewenangan terbatas. Kewenangan dan tanggung jawab itu mestinya ada pada pimpinan tertinggi di atas perwira penghubung,” papar Robintan.
Dia juga mengatakan, kurang tepat menyebut kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. ”Pelanggaran HAM bukan soal berapa banyak korban, melainkan jika sudah direncanakan, dilakukan secara sistematik, dan meluas. Misalnya, ada perintah untuk membunuh warga di beberapa kampung dan dilakukan terencana dan lokasinya meluas. Namun, ini kejadian spontan. Dalam hal ini, baik warga maupun anggota TNI, sama-sama memiliki HAM,” tutur Robintan.
Berbagai fakta persidangan, termasuk dengan hanya ada satu saksi, membuat banyak pihak menyebut sidang ini setengah hati. Tanpa pelaku dan penanggung jawab pasukan, Isak seolah hanya tumbal.
Tanpa pelaku dan penanggung jawab pasukan, Isak seolah hanya tumbal.
Dalam rilisnya, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menyebut menemukan adanya beberapa kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, Jaksa Agung terlihat jelas menetapkan pelaku tunggal dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Serangan tersebut pastinya melibatkan lebih dari satu pelaku. Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang memiliki tanggung jawab komando ataupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana.
Penyelidikan Komnas HAM membagi para terduga pelaku dalam beberapa kategori, yaitu pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran. Secara logika, penanggung jawab komando bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan bawahannya.
Senin (14/11/2022) adalah hari saat Isak mendengarkan tuntutan jaksa. Hakim memberi waktu kepada jaksa sepekan lebih untuk membuat keputusan terkait tuntutan kepada Isak.
”Semua sudah kita dengar dan ini meyakinkan bahwa kejadian Paniai adalah insidental. Tidak ada (langkah) sistematis, perencanaan, dan lainnya untuk menyerang penduduk sipil. Karena ada korban, sebaiknya diselidiki lagi untuk menemukan pelakunya. Pada peristiwa ini terdakwa tidak bisa disebut pelaku karena secara yuridis dan de facto dia bukan pejabat struktural,” kata Syahrir Cakkari, penasihat hukum terdakwa.