Pembuatan ”Landmark” di Geopark Lembah Harau oleh BKSDA Sumbar Banjir Kritik
Proyek yang ditargetkan selesai saat tahun baru itu dinilai bertentangan dengan semangat konservasi karena bisa merusak keaslian situs kuno tersebut.

Tangkapan layar unggahan akun Instagram @bksda_sumbar tentang desain landmark di tebing Geopark Lembah Harau yang akan dibangun BKSDA Sumatera Barat. Proyek ini ditargetkan sudah tuntas saat tahun baru 2023.
PADANG, KOMPAS — Rencana pembuatan landmark di tebing Geopark Lembah Harau oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat menuai kritik. Proyek yang ditargetkan selesai saat tahun baru itu dinilai bertentangan dengan semangat konservasi karena bisa merusak keaslian situs kuno tersebut.
Landmark yang hendak dibangun itu bertuliskan ”TWA Lembah Harau”. Di bawahnya ada tulisan yang lebih kecil: ”BKSDA Sumbar-50 Kota”. Posisi landmark itu tergantung atau menempel di sisi tebing, menghadap ke arah kedatangan pengunjung atau arah barat daya. Lokasi itu masuk kawasan Nagari Tarantang, Kecamatan Harau, Limapuluh Kota.
Keterangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar menyebutkan, tulisan itu terbuat dari besi pelat setinggi 4 meter setiap hurufnya. ”Tentu akan menjadi atraksi wisata baru yang menawan. Oh, iya, tingginya kurang lebih 250 meter dari permukaan tanah, loh. Wow, bukan?” demikian bunyi keterangan tertulis yang dikirim Kepala BKSDA Sumbar Ardi Andono.
Ardi mengklaim, rencana pembangunan landmark ini tidak akan berdampak negatif terhadap kawasan. Alasannya, posisinya berada di ruang kosong yang tidak bervegetasi sehingga tidak melibatkan penebangan. Lokasi juga bukan merupakan jalur perlintasan satwa.
Baca juga: Pertunjukan Tradisi di Festival Pasa Harau
Aktivitas pembangunan, kata Ardi, tidak berpotensi menimbulkan kebakaran hutan, yang merupakan ancaman utama di kawasan ini. Tebing granit yang bertekstur kuat juga mampu menahan beban landmark sehingga tidak berisiko akan terjadi longsoran material dari tebing.
Menurut Ardi, landmark juga tidak mengganggu keberadaan air terjun yang merupakan daya tarik utama kawasan. Bahan yang digunakan pada landmark berupa besi pelat yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Landmark tidak dialiri listrik sehingga aman bagi satwa liar dan tidak diberi pencahayaan yang mengganggu aktivitas satwa nokturnal.
“Pembangunan ini tentu sudah mendapatkan dukungan dari ninik mamak, tokoh masyarakat, dan Wali Nagari Tarantang yang dituangkan dalam berita acara persetujuan pembangunan landmark tersebut,” kata Ardi.

Atraksi sembur api membuka pertunjukan silek lacah dalam Festival Seni dan Budaya Pasa Harau di Lembah Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (18/8/2019). Festival yang menyajikan pertunjukan musik, seni, budaya, dan permainan tradisi serta acara kuliner itu merupakan satu dari tiga atraksi wisata di Sumbar yang masuk dalam 100 Calender of Event Kementerian Pariwisata.
Banjir kritik
Desain landmark dan keterangan itu juga diunggah di akun Instagram BKSDA Sumbar pada Selasa. Unggahan itu banjir kritik dari warganet yang menganggap proyek tersebut merusak situs dan pemandangan hingga nirmanfaat. Hingga Kamis pukul 14.30, unggahan itu dikomentari 257 kali. Hampir semuanya bernada negatif.
”Min, sedih melihat salah satu bagian paling ikonik dari Lembah Harau bakal ditempel plang seperti itu. Untuk apa? Di jalan masuk, kan, juga sudah ada tulisan ’Selamat Datang di Lembah Harau’. Sebaiknya gunakan anggaran untuk hal yang betul-betul berkaitan dengan fungsi utama BKSDA, yaitu konservasi sumber daya alam. Tidak ada hubungannya plang nama seperti itu dengan konservasi sumber daya alam,” tulis akun @rafkihidayat pada unggahan BKSDA Sumbar. Kompas sudah mendapat izin mengutip komentar itu dari Rafki.
Rancangan desain itu juga sudah viral di sejumlah akun Instagram, seperti @sudutpayakumbuh dan @ssc_padang dan menuai respons negatif. ”Gak usah, gak usah, gak usah. Yang alami-alami sajalah,” tulis akun @ririafril di unggahan @sudutpayakumbuh. Kompas sudah mendapat izin dari Riri untuk mengutip komentarnya.
Geopark Lembah Harau merupakan satu dari sembilan geopark di Sumbar. Lembah Harau akan diusulkan menjadi geopark nasional dan menjadi bagian dari Geopark Ranah Minang yang diajukan ke UNESCO.

Pemandangan berlatar tebing Lembah Harau di Kecamatan Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (18/8/2019).
Vandalisme
Ahli geologi Ade Edward mengkritik pembangunan landmark di tebing Lembah Harau. Geopark Lembah Harau ini bagian warisan geologi atau geoheritage di Sumbar yang melalui proses pembentukan selama jutaan tahun.
”Batuan (di tebing) itu termasuk batuan tua di Asia Tenggara karena itu bagian dari benua, biasanya ditemukan di dasar laut,” kata Ade.
Ade melanjutkan, proyek BKSDA itu minim kajian. Pernyataan BKSDA bahwa bebatuan di Lembah Harau jenis batuan granit salah besar, tidak bersumber dari ahli. Menurut dia, tidak ada batu granit di sana, melainkan batuan sedimen, seperti konglomerat, breksi, dan batu pasir, yang berlapis dan berselang-seling.
Batu pasir berwarna putih dan batu konglomerat dan breksi yang cenderung merah marun membuat warna tebing belang-belang dan eksotis. Bentuk dan warna tebing itulah yang paling bernilai dari Lembah Harau.
”Lalu tiba-tiba tebing itu, atraksi alam itu, hendak ditutup dengan tulisan besi yang sangat besar. Itu sama dengan menutupi dan merusak warisan geologi atau geoheritage. Itu termasuk vandalisme terhadap geoheritage Sumbar,” ujar mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar ini.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal Ancam Keberadaan Taman Bumi Nasional Silokek
Ade juga mengkritik cara pandang BKSDA yang cenderung hanya melihat lingkungan dari aspek makhluk hidup, seperti harimau dan pohon. Padahal, lingkungan tidak hanya itu, tetapi juga hal lainnya, termasuk bebatuan di kawasan Lembah Harau.
Dalam konteks warisan geologi, kata Ade, tebing Lembah Harau itu adalah zona inti. Di zona itu, tidak boleh ada infrastruktur dan sarana prasarana apa pun. Zona inti hanya untuk dilihat dan diamati. Jika masih ingin membuat landmark itu, BKSDA bisa membuatnya di zona penyangga di bawah tebing.
”Seharusnya BKSDA sejalan dengan kebijakan melindungi potensi daerah, jangan dirusak, dong. Makanya kami berharap ada kesadaran dari BKSDA. Sebaiknya landmark itu jangan dipasang,” katanya.

Seorang pemain sipak rago menyepak bola tanpa melihat dalam Festival Seni dan Budaya Pasa Harau di Lembah Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (18/8/2019). Dalam olahraga tradisional yang mirip dengan sepak takraw ini, para pemain saling mengoper bola di udara.
Preseden buruk
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar Wengki Purwanto meminta BKSDA Sumbar mempertimbangkan ulang rencana pembangunan landmark di tebing Geopark Lembah Harau itu. Selain ramai dikritik publik, proyek tersebut juga bertentangan dengan substansi keberadaan taman wisata alam (TWA) itu.
Berdasarkan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kata Wengki, TWA merupakan kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kata kunci TWA adalah kawasan pelestarian alam.
”Memang salah satu manfaat TWA untuk kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Kalau itu diintervensi dengan proyek infrastruktur yang viral itu, akan mengubah substansi dari TWA itu. Bukan lagi taman wisata alam, melainkan taman wisata buatan,” kata Wengki.
Pembangunan landmark itu, lanjut Wengki, berpotensi mengancam ekosistem TWA. Tidak hanya terhadap flora dan fauna, tetapi juga ekosistem lain yang terhubung satu sama lain. TWA justru akan lebih baik dijaga kelestariannya seperti kondisi asli saat ini.
”Daya tarik spesifiknya itu adalah keaslian. Dengan diintervensi dengan rencana proyek itu, hilang daya tarik TWA, hilang substansinya,” ujar Wengki.
Menurut Wengki, proyek BKSDA ini bisa menjadi preseden buruk. Jika tetap dilanjutkan, proyek ini akan menjadi rujukan bagi warga lainnya bahwa boleh membangun proyek infrastruktur di TWA. Orang akan berlomba-lomba membuat infrastruktur untuk kepentingan wisata yang dimodernisasi.
”BKSDA seakan menyatakan kepada pelaku usaha, ’Mari kita berlomba-lomba bangun infrastruktur di TWA. Kita buat tempat rekreasi yang bersifat buatan manusia.’ Padahal, TWA itu wisatanya adalah wisata alam, bukan wisata buatan manusia,” ujarnya.
Ditambahkan Wengki, semestinya yang dilakukan BKSDA Sumbar adalah mengedukasi dan memberdayakan masyarakat tentang bagaimana menjaga kelestarian ekosistem TWA alih-alih membuat proyek infrastruktur seperti yang dilakukan saat ini.

Para pebalap Tour de Singkarak 2019 melintas di obyek wisata Lembah Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Senin (4/11/2019). Balapan etape ketiga Limapuluh Kota-Padangpanjang diikuti oleh 94 pebalap dari 24 negara yang tergabung dalam 18 tim. Tour de Singkarak diadakan sejak 2009 dan sudah memasuki edisi ke-11.
Ahli pariwisata
Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas Sari Lenggogeni berpendapat, pembangunan landmark di tebing Geopark Lembah Harau itu berseberangan dengan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Padahal, Lembah Harau adalah salah satu ikon landmark alam terbaik Sumbar, di samping Ngarai Sianok.
”Kita punya ikon buatan manusia, yaitu Kelok Sembilan dan Masjid Raya Sumbar. Nah, Lembah Harau ini landmark alamiah, given. (Pembangunan ini) tidak selaras dengan keunggulan destinasi Harau yang berbasis alam,” kata Sari. Proyek itu juga berpotensi mengurangi keseimbangan flora dan fauna endemik atau khas dari pembangunannya.
Sari juga mempertanyakan tujuan pembangunan landmark itu. ”Tujuannya apa, sih? Kenapa tidak didiskusikan dulu dengan pentahelix pariwisata? Harau dari beberapa kali hasil survei wisata nusantara adalah lima besar destinasi favorit wisatawan di Sumbar karena keindahan lembahnya, bukan artifisialnya,” ujarnya.
Menurut Sari, pembangunan di Lembah Harau semestinya fokus pada Organisasi Manajemen Destinasi (Destination Management Organization/DMO), pengelolaan destinasi wisata, dan aspek softtangible, seperti CHSE, yaitu cleanliness (kebersihan), health (kesehatan), safety (keamanan), dan environmentsustainability (kelestarian lingkungan).

Pemandangan obyek wisata Lembah Harau di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Sabtu (4/1/2020) sore.
Tetap lanjut
Meskipun banjir kritik, BKSDA Sumbar belum berencana menghentikan proyek tersebut. ”Kritik itu biasa saja. Kami juga didukung nagari, ninik mamak (pimpinan adat), dan tokoh masyarakat, termasuk dinas pariwisata,” kata Ardi.
Ardi menyebut, pembuatan landmark ini merupakan permintaan masyarakat. Ia hanya mengabulkan karena inovatif dan bagus serta menambah daya tarik. ”Riil saja, yang menerima manfaat orang di situ, yang banyak protes entah dari mana,” ujarnya.
Ditambahkan Ardi, landmark ini akan dibangun dalam waktu dekat. ”Tahun baru sudah ada, deh,” katanya.