Temuan Kasus Leptospirosis di Sukoharjo Naik Drastis akibat Peningkatan Surveilans
Dalam kurun waktu dua tahun ini, temuan kasus leptospirosis meningkat drastis di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Itu menjadi imbas dari peningkatan surveilans atau pengetesan dari gejala-gejala kasus serupa.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SUKOHARJO, KOMPAS — Dalam kurun waktu dua tahun ini, temuan kasus leptospirosis meningkat drastis di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Hal itu imbas dari peningkatan surveilans atau pengetesan dari gejala-gejala kasus serupa. Masyarakat diimbau menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat guna mencegah paparan dari penyakit tersebut.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, sepanjang 2022, ditemukan 19 kasus leptospirosis di daerah tersebut. Jumlah itu menjadi yang tertinggi sejak 2016. Tahun-tahun sebelumnya temuan paling banyak mencapai 17 kasus, yang terjadi pada 2018. Apabila dibandingkan dengan temuan tahun 2021, hanya tercatat empat kasus. Artinya, terjadi peningkatan yang cukup signifikan, yakni hampir lima kali lipat.
Ditilik dari angka kematiannya, pada 2022, tercatat sebanyak tujuh kasus meninggal. Dengan demikian, persentase pasien meninggal menyentuh angka 36,84 persen. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Tengah, catatan itu memosisikan Kabupaten Sukoharjo sebagai daerah dengan tingkat kematian kasus kedua tertinggi setelah Kabupaten Jepara yang mencatatkan persentase 50 persen.
”Sekarang kami surveilansnya lebih aktif. Dalam artian, penemuan kasusnya dilakukan secara aktif oleh jajaran. Banyaknya kasus menunjukkan pengawasan benar-benar terjadi. Kami lebih senang seperti itu dibanding temuannya sedikit, tetapi tidak menggambarkan angka sebenarnya di lapangan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo Tri Tuti Rahayu saat dihubungi pada Rabu (2/11/2022).
Sebagai bentuk pencegahan, kata Tuti, jajarannya semakin digiatkan untuk melakukan edukasi perilaku hidup bersih dan sehat. Pasalnya, penyakit ditularkan lewat bakteri Leptospira yang kemunculannya dipicu oleh kencing tikus. Pihaknya mengkhawatirkan jika warga tak menjaga kebersihan risiko paparannya akan semakin tinggi. Lebih-lebih fatalitasnya bisa berujung kematian pada pasien.
Dicontohkan, lanjut Tuti, para petani yang baru saja beraktivitas di sawah. Hendaknya mereka mandi sebersih-bersihnya juga tidak lupa mencuci tangan dengan sabun setiap kali berkegiatan. Persoalannya, sebagian pihak tidak terlalu menganggap serius persoalan kebersihan tersebut. Menurut dia, butuh kerja sama banyak pihak guna mengantisipasi peningkatan kasus di kemudian hari.
”Yang kita tingkatkan adalah edukasi ke warga. Teman-teman puskesmas juga akan disebar ke desa-desa dengan para bidan desa. Ini menekan kembali pentingnya personal hygiene atau PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat). Kalau ini menjadi budaya, risiko-risiko penularan bisa diminimalisasi,” kata Tuti.
Secara terpisah, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo Bejo Raharjo mengungkapkan, peningkatan surveilans sejalan dengan penambahan reagen untuk pengetesan kasus sebagai bentuk penapisan dini. Ia menduga tingginya angka kematian dikarenakan oleh kekeliruan identifikasi penyakit pada tahap awal. Sebab, gejala awal yang dialami juga sekadar demam seperti banyak penyakit lainnya.
Dalam beberapa kasus, kata Bejo, pasien sudah mengalami gejala klinis yang semakin parah saat dibawa ke fasilitas layanan kesehatan rujukan. Hal itu ditandai dengan adanya gangguan fungsi ginjal. Wujudnya berupa kulit yang menguning hingga berkurangnya produksi urine. Jika demikian, tingkat keparahan yang dialami pasien juga akan semakin tinggi.
”Dulu, pengadaan reagen belum banyak karena skala prioritasnya (untuk penanganan Covid-19). Berjalannya waktu, di daerah tetangga muncul kasus-kasus (leptospirosis). Kami berpikir untuk melakukan pengadaan. Prioritasnya ke daerah-daerah perbatasan. Jika terdeteksi lebih dini, pasti risiko fatal bisa diantisipasi,” kata Bejo.