Ratusan Siswa Mendapat Layanan Psikososial Tragedi Kanjuruhan
Ratusan siswa SMP dan SMA penyintas Tragedi Kanjuruhan mendapatkan layanan ”community building trauma healing”.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Penanganan psikososial Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, kini berfokus pada community building atau komunitas. Sejumlah siswa dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dikumpulkan untuk diberi layanan trauma healing bersama.
Mereka merupakan siswa yang saat peristiwa terjadi ikut menonton pertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya dan mengetahui terjadinya tragedi memilukan awal Oktober lalu. Mereka masih memiliki residu stres dan trauma yang mesti dihilangkan agar tidak menjadi ”bom waktu” pada kemudian hari.
”Sejujurnya rasa angry (marah) ditemukan pada semua orang yang jadi korban (Kanjuruhan), selain rasa sedih dan trauma. Ini hal yang tidak ditemukan saat ada bencana. Rasa angry ini bisa berujung dendam,” ujar Ketua Perhimpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Malang Muhammad Salis Yuniardi, Rabu (2/11/2022).
Oleh karena itu, melalui layanan psikososial, mereka diharapkan bisa menghilangkan rasa trauma, mengendalikan stres yang relatif sudah agak menurun, hingga bisa mengontrol rasa marah dan fokus ke masa depan.
Penanganan trauma healing dilakukan oleh Himpsi Malang dan empat kampus, yakni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Universitas Brawijaya, dan Universitas Merdeka.
Menurut Salis, ada 190 penyintas yang telah dan tengah ditangani, masing-masing 30 siswa di Wajak dan 60 siswa di Sumberpucung, Kabupaten Malang. Saat ini tim masih menangani 100 penyintas di salah satu sekolah di Kota Malang.
”Mereka kami kumpulkan di satu sekolah. Kemudian mereka kami beri tiga kali pertemuan. Yang sekarang sedang berjalan ada 100 siswa yang kami tempatkan di SMPN 8 Kota Malang. Terakhir penanganannya Jumat pekan ini,” ujarnya.
Rasa angry ini bisa berujung dendam. (Muhammad Salis Yuniardi)
Menurut Salis, yang menjabat Dekan Fakultas Psikologi UMM, saat ini tersisa tujuh sekolah dari total semula 10 sekolah yang siswanya mendapat pendampingan psikologi. Mereka akan mendapat giliran setelah penanganan di SMPN 8 selesai. Pendampingan ditargetkan sampai akhir November.
Selain komunitas, tim psikolog juga telah menangani 256 orang melalui penanganan secara individual. Penanganan secara individual dari sisi posko dan kunjungan ke rumah telah selesai pada akhir Oktober, tetapi hotline posko masih tetap dibuka. Kebijakan ini ditempuh karena semakin hari jumlah mereka yang datang untuk konseling semakin berkurang.
”Mungkin kebutuhan orang ke posko sudah berkurang. Sementara home visit juga kami hentikan terakhir minggu ini. Akhir Oktober layanan individual kita hentikan, kecuali hotline, karena per 22 Oktober kita sudah masuk fase menengah yang mana fokus pada community building,” ucapnya.
Salis mengatakan, terdapat satu korban, yakni CMS, yang tinggal di Kecamatan Tumpang, yang sudah mendapat pendampingan psikologi. Namun, karena diduga menderita demam berdarah akhirnya dia mengembuskan napas terakhir. Sebelumnya, orangtua dan kakak CMS meninggal akibat tragedi yang menewaskan 135 orang itu.
Keberlanjutan
Untuk mengantisipasi keberlanjutan layanan psikososial, UMM bekerja sama dengan Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (BK) telah melatih 60 guru BK pada 19 Oktober. Harapannya mereka bisa melakukan konseling di sekolah masing-masing apabila program layanan psikosial berakhir nantinya.
Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Elvi Hendrani berharap semua anak terdampak bisa terdampingi dengan baik, terutama dari sisi psikososial.
”Saya khawatir terhadap efek jangka panjang bagi mereka jika tak ada pendampingan, tak ada upaya untuk membantu mereka melewati trauma. Jadi, untuk mencegahnya, kami akan tetap mengawal para korban hingga tahun depan,” ujarnya saat meninjau Posko Psikososial di UMM, akhir Oktober, sebagaimana dikutip dari rilis Humas UMM.