Kematian-kematian dalam Kesendirian di ”Kota Lulo”
Orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Dalam sehari, dua orang meninggal dalam kesendirian di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kejadian ini, yang sebagian menimpa mereka yang tidak berpunya, menambah deret kematian dalam kesendirian di ”Kota Lulo” ini tiga bulan terakhir. Kemiskinan yang bertambah, interaksi sosial yang merenggang, dan peran pemerintah yang hilang membuat masyarakat kehilangan pijakan.
Sebuah terpal bekas tergeletak di dekat garis polisi, di kolong Jembatan Triping, Kecamatan Kambu, Kendari, Selasa (1/11/2022). Berjarak satu meter, sebuah galon bekas tanpa isi tergolek. Sejumlah botol bekas dan pakaian bekas berserak di kolong jembatan yang ramai lalu lalang tersebut. Kendaraan tanpa henti melintas di jembatan yang hanya kurang dari satu kilometer dari rumah jabatan Wali Kota Kendari ini.
Di kolong jembatan ini, Suparjo Rustam (36) dan Arim, adiknya, menemukan sesosok jenazah yang telah membengkak. Saat itu, Senin (31/10/2022), menjelang siang, Suparjo berjalan menuju bawah jembatan untuk memancing. Ia dan Arim baru saja mencari udang untuk dijadikan umpan memancing ikan di Sungai Wanggu yang mengarah ke Teluk Kendari.
Bau menyengat tercium. Beberapa kali datang memancing, bangkai binatang memang sering ada di bawah jembatan. Namun, semakin dekat, bau semakin tajam. Ia berjalan di depan menuruni tangga lalu berjalan di setapak kecil yang mengarah ke bawah jembatan.
”Ada mayat,” kata Suparjo.
Di kolong jembatan, sesosok jenazah telentang tanpa pakaian. Tubuh tersebut bengkak dan menghitam.
Suparjo dan adiknya segera menjauh. Ia mendekati petugas jaga Masjid Al-Alam yang berjarak sekitar 50 meter. Mereka lalu menghubungi kepolisian yang datang beberapa menit kemudian.
Menurut Suparjo, beberapa kali memancing di lokasi tersebut, ia tidak pernah melihat ada yang menetap. Hanya pemancing seperti dirinya yang kadang datang mencari ikan. Karena itu, ia shock saat melihat ada seseorang yang tinggal dan menetap, bahkan hingga meninggal.
Menurut pihak kepolisian, jenazah pria tersebut meninggal dalam 10 hari. Sebab, cedera mulai terjadi, bengkak, dan menghitam. Jenazah diperkirakan berada di kolong jembatan ini selama beberapa waktu sebelumnya.
Sampai Selasa sore jenazah masih berada di RS Bhayangkara, hingga adanya keluarga yang datang. Dalam tiga hari tanpa adanya kerabat, jenazah akan dimakamkan tanpa identitas.
Sri Yulisti dari Humas RS Bhayangkara mengungkapkan, berdasarkan hasil pemeriksaan, tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan di tubuh jenazah. ”Diduga meninggal karena lemas. Jika tidak ada kerabat, akan dimakamkan dengan identitas Mr X,” ucapnya.
Berjarak beberapa kilometer dari tempat kejadian tersebut, tepatnya di Kecamatan Baruga, seorang pemuda meninggal di kamar indekos pada Senin malam. Kurniawan (29) ditemukan dalam kondisi telentang dengan mulut berbusa.
Kapolresta Kendari Komisaris Besar Eka Faturrahman menuturkan, jenazah ditemukan oleh Zulkarnain, pemilik kos-kosan tempat Kurniawan tinggal. Saksi mengecek kondisi pemuda tersebut karena sehari sebelumnya dalam keadaan sakit.
”Sehari sebelumnya, korban juga minta tolong ke rekannya karena korban pusing dan tidak bisa berdiri. Jenazah telah dibawa ke RS Bhayangkara untuk diperiksa lebih lanjut,” katanya.
Kasus berulang
Kasus kematian warga Kendari yang seorang diri bukan kali ini saja terjadi. Dalam catatan Kompas, total ada lima kematian warga dalam kesendirian tiga bulan terakhir. Sebagian dari mereka baru ditemukan setelah beberapa hari meninggal.
Sosiolog Universitas Halu Oleo, Darmin Tuwu, berpendapat, jumlah kejadian kasus kematian ini bisa menjadi sebuah fenomena di ”Kota Lulo” ini. Orang-orang sakit bahkan hingga meninggal tanpa mendapat perhatian dari sesama atau pemerintah. Sebagai daerah yang mulai berkembang, individualistis masyarakat juga semakin tinggi. sebagian besar orang hanya peduli jika ada timbal balik.
Seharusnya pemerintah ada dalam interaksi sosial warga, memperhatikan mereka yang lemah, dan mendengarkan suara masyarakat miskin. (Darmin Tuwu)
Alhasil, kepedulian bersama luntur. Nilai kepedulian, gotong royong, lenyap seiring kemajuan daerah. Saling membantu dan menolong tidak lagi menjadi pegangan hidup yang dulunya lekat dengan masyarakat.
Padahal, masyarakat saat ini mengalami keresahan tinggi akibat berbagai situasi yang menghadang. Mulai dari imbas pandemi Covid-19, kenaikan harga barang, dan sulitnya perekonomian untuk masyarakat kecil. Mereka harus membanting tulang untuk makan.
”Kondisi ini diperparah pemerintah yang tidak hadir pada ruang-ruang pemenuhan kebutuhan utama masyarakat. Seharusnya pemerintah ada dalam interaksi sosial warga, memperhatikan mereka yang lemah, dan mendengarkan suara masyarakat miskin,” katanya.
Kota Lulo—sebutan Kota Kendari—muncul dari sebuah tradisi tarian masyarakat Tolaki yang berarti tarian persahabatan, terus berkembang seiring zaman. Ibu kota Sultra yang dihuni 345.107 jiwa ini menjadi pintu masuk berkembangnya industri pertambangan nikel di wilayah ini.
Meski kota terus berkembang, masyarakat miskin justru bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin selama tiga tahun berturut-turut meningkat tinggi. Pada 2019, jumlah penduduk miskin sebanyak 17.300 jiwa, bertambah 17.460 jiwa pada 2020, dan kembali melonjak menjadi 19.460 jiwa pada 2021.
Penyair WS Rendra, dalam puisinya yang berjudul Orang-Orang Miskin, telah lama menggugah nurani setiap insan agar memperhatikan sesama. ”Si Burung Merak” ini menulis dalam bait pertama puisinya: