Gubernur Heran, Sumsel Lumbung Pangan, tetapi Angka Tengkesnya Tinggi
Angka prevalensi tengkes di Sumatera Selatan terbilang masih tinggi, yakni 24,8 persen. Padahal, Sumsel menjadi salah satu lumbung pangan nasional. Sejumlah langkah intervensi sudah disiapkan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Angka prevalensi tengkes di Sumatera Selatan terbilang masih tinggi, yakni 24,8 persen. Padahal, Sumsel menjadi salah satu lumbung pangan nasional. Sejumlah upaya pencegahan dan penanganan tengkes telah dibentuk agar target tengkes 14 persen dapat tercapai.
”Saya heran, sebagai daerah lumbung pangan nasional, angka tengkes di Sumsel masih tinggi,” kata Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Rabu (2/11/2022), di Palembang. ”Bahkan, ada satu kabupaten yang angka tengkesnya masih 30 persen. Ini harus menjadi perhatian,” kata Herman menegaskan.
Atas ”rapor merah” ini, Herman enggan menyalahkan siapa-siapa karena tingginya kasus tengkes merupakan kasus yang sudah diwariskan sejak lama. ”Bayangkan, dari 100 anak yang dilahirkan di Sumsel, sekitar 24 anak di antaranya tengkes. Ini sungguh ironi bagi kita. Terus terang saya malu,” tuturnya.
Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan berpengaruh pada kehidupan generasi yang akan datang. ”Jika banyak anak di Sumsel yang gagal tumbuh, tentu akan berpengaruh pada kualitas anak itu sendiri,” ucapnya.
Karena itu, ujar Herman, sosialisasi kepada calon pengantin, calon ibu, mengenai keluarga berencana harus terus digalakkan. Ia berharap ada kerja sama antara penyuluh keluarga dan Kantor Urusan Agama (KUA) agar setiap calon pengantin diberikan arahan sebelum membangun bahtera rumah tangga. ”Kalau belum siap punya anak, ya, jangan hamil dulu,” ujar Herman.
Di sisi lain, tegas Herman, pemerintah daerah diharapkan mengalokasikan anggaran yang memadai agar petugas pendamping keluarga di lapangan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. ”Siapkan anggaran yang memadai, jangan sedikit. Dalam waktu dekat, saya akan buat surat edaran agar pemda segera menerapkan kebijakan tersebut,” katanya.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sumsel Medi Heryanto mengutarakan, saat ini tim ahli dari berbagai sektor tengah memetakan faktor penyebab tengkes di 17 kabupaten/kota di Sumsel. Ada faktor umum dan faktor spesifik.
Faktor umum adalah pernikahan dini atau faktor ekonomi serta kurangnya asupan gizi. Adapun faktor spesifik adalah kondisi tertentu yang hanya terjadi di beberapa daerah. Medi mencontohkan di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, kasus tengkes terjadi pada anak yang tinggal di kawasan tambang batubara. Kondisi tersebut menyebabkan beragam penyakit pada anak, seperti penyakit paru-paru termasuk ISPA.
Di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, kasus tengkes terjadi pada anak yang tinggal di kawasan tambang batubara.
Dari faktor umum dan spesifik ini, nantinya tim pakar yang terdiri dari ahli kandungan, ahli gizi, psikolog, dan spesialis anak akan membuat recana tindak lanjut dalam bentuk rekomendasi. Hasil rekomendasi akan diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing agar segera bisa diterapkan.
Rencana aksi lanjutan itu diharapkan dapat memangkas keluarga berisiko tengkes dan kasus tengkes di Sumsel. ”Dengan program yang sudah dipetakan ini, pada 2024 diharapkan prevalensi tengkes di Sumsel dapat ditekan menjadi 16 persen atau bahkan menyamai target nasional 14 persen,” ujar Medi.
Sejak 2021, lanjut Medi, sejumlah upaya intervensi dari BKKBN telah dilakukan untuk mengurasi risiko tengkes, seperti menerjunkan tim pendamping keluarga di setiap kelurahan. Tim bertugas memberikan pendampingan dan arahan kepada keluarga berisiko tengkes. Misalnya, dengan memberikan pendampingan kepada calon pengantin sebelum berencana memiliki anak. Pasangan disarankan untuk menunda kehamilan sampai risiko tengkes dapat diselesaikan terlebih dulu. ”Misalnya, sang ibu masih di bawah 21 tahun tentu kehamilan perlu ditunda sampai usianya sudah mencukupi,” ucap Medi.
Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto mengatakan, pengentasan warga dari tengkes tidak lepas dari upaya pemerintah dalam mengurangi risiko kemiskinan ekstrem. Kedua aspek ini sangat berkaitan. Oleh karena itu, sinergitas antarinstansi sangat diperlukan agar kedua masalah itu bisa diselesaikan secara beriringan.
Misalnya, meningkatkan edukasi mengenai 1.000 hari pertama kehidupan guna meningkatkan kemampuan pola asuh pada bayi usia di bawah 2 tahun. Selain itu, diperlukan peningkatan upaya memandirikan perekonomian keluarga rentan.
Hal itu harus segera direalisasikan untuk mewujudkan target Presiden Joko Widodo, yakni menekan angka tengkes menjadi 14 persen. ”Semua pihak terkait harus berkoordinasi agar tujuan itu bisa tercapai,” ucap Tavip.
Kepala Dinas Sosial Sumatera Selatan Mirwansyah menyebut peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin ekstrem menjadi salah satu cara menekan tengkes. Karena itu, yang terpenting saat ini adalah melakukan validasi data kependudukan agar bantuan dari pemerintah dapat tepat sasaran.
”Bantuan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan utama, termasuk asupan pangan yang cukup untuk menghindari risiko tengkes,” ucap Mirwansyah.
Ratih Putri Utami, ahli gizi dari RSUD Palembang BARI, mengatakan, agar anak bisa terhindar dari tengkes, inovasi pemberian makanan tambahan dengan menu lokal perlu dilakukan. Karena itu, warga mesti dibimbing agar bisa memberikan nutrisi yang baik pada anaknya sejak dalam kandungan hingga 1.000 hari pertama.
Kasus tengkes biasanya dimulai dari pernikahan usia dini di daerah yang dapat memicu lahirnya anak tengkes. Biasanya ibu yang mengandung kurang gizi atau belum memiliki wawasan gizi untuk mengurus bayi. ”Jika petugas gizi tidak sampai menjamah mereka, angka tengkes tetap tinggi,” ujarnya.
Masalahnya, tidak semua daerah memiliki ahli gizi. Padahal, setidaknya setiap puskesmas memiliki tenaga gizi minimal dua ahli gizi. Karena tenaga gizi lah yang memiliki kualifikasi khusus dalam program tengkes. ”Program tersebut sangat penting guna melaksanakan tindakan preventif dan promotif untuk mencegah tengkes. Apabila tidak, bukannya semakin turun, tengkes berisiko akan semakin tidak terkendali,” kata Ratih.