Pekan Wayang Jawa Timur 1-7 November 2022 di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, untuk menggugah kesadaran masyarakat dalam pemajuan dan pelestarian wayang sebagai warisan budaya tak benda dunia dari Indonesia.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pekan Wayang Jawa Timur 1-7 November 2022 di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, diharapkan menggugah kesadaran masyarakat dalam pemajuan dan pelestarian wayang sebagai warisan budaya tak benda dunia dari Indonesia.
Selain itu, UNESCO menetapkan wayang sebagai a masterpiece of the oralandintangible heritage of humanity atau adikarya warisan budaya lisan dan tak benda manusia pada 7 November 2003. Penetapan itu menjadi dasar pemerintah untuk peringatan Hari Wayang setiap 7 November melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2018.
Menyongsong Hari Wayang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim mengadakan pekan wayang dengan harapan masyarakat tetap tergugah dalam pemajuan dan pelestarian warisan budaya tak benda milik dunia dari Indonesia itu. Pekan wayang diadakan di Taman Budaya Jatim, Jalan Genteng Kali, Surabaya, dengan ragam acara, terutama pementasan wayang, pameran, dan tari.
Pembukaan pekan wayang diawali dengan kolaborasi tiga dalang anak dari Jatim yang berprestasi dalam Festival Dalang Anak Nasional 2022. Mereka adalah Muhammad Fatikh Assegaf juara 3 kelompok usia 11-15 tahun dari Ponorogo, Gatan Wisnu Artha juara harapan 1 kelompok usia 11-15 tahun dari Surabaya, dan Danendra Kidung Sidhutama juara harapan 2 kelompok usia 8-10 tahun dari Madiun. Mereka mementaskan lakon Kluruking Jago Jenggala.
Dalam pementasan sekitar 1 jam itu, tiga dalang anak itumengisahkan Raden Panji memiliki peliharaan bernama Si Jago yang hebat dan sakti. Si Jago ternyata dapat menjadi jalan yang mempertemukan Raden Panji dengan ayahnya yakni Prabu Lembu Amiluhur di Jenggala. Kerinduan Raden Panji terhadap ayahanda terbayar sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dengan bahagia.
Seusai pementasan, disuguhkan tari jekdong karya budayawan Agus Heri Sugianto. Tari kolosal ini diciptakan sebagai apresiasi pada semangat anak-anak Jatim yang cinta dan bertekad dalam pemajuan dan pelestarian wayang. Memainkan wayang bukan sekadar ekspresi seni melainkan isi hati yang gembira dan wujud kebersamaan anak-anak. Tarian melibatkan anak-anak dari tujuh komunitas yakni Sanggar Raff DC, Brang Wetan, Baladewa, Lab Remo, Candhik Ayu Tama, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiarjo, dan ASPETAJ.
Kepala UPT Taman Budaya Jatim Samad Widodo menegaskan, pekan wayang diharapkan terus menggugah kesadaran publik untuk mencintai, mengembangkan, dan melestarikan wayang. Secara hakikat, wayang terus berkembang dan beradaptasi seiring perjalanan peradaban manusia, terutama di Indonesia, sebagai ekosistem utama penghidupan wayang.
Samad melanjutkan, wayang sebagai tontonan dan tuntunan. Dari pementasan wayang, publik bukan sekadar dihibur, melainkan diharapkan menggali, menemukan, dan menginspirasi diri dengan nilai-nilai atau pesan-pesan kehidupan yang tersirat dalam cerita atau lakon. ”Sikap hidup itulah yang diharapkan terpelihara dalam pemajuan dan pelestarian wayang,” katanya.
Wayang merupakan refleksi kehidupan dengan nilai luhur memayu hayuning bawana atau bersama-sama mewujudkan tatanan dunia yang damai. Untuk itu, manusia perlu sikap hidup berjiwa ksatria, berbudi luhur, dan menjaga harmoni.
Menurut pendataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, di Indonesia terdapat lebih dari 100 jenis wayang. Wayang kulit purwa berkembang dan masih digemari di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jatim. Wayang golek berkembang di Jawa Barat. Di Jatim juga terdapat wayang khas misalnya beber, tengul, timplong, dan krucil. Di luar Jawa juga berkembang wayang sasak di Nusa Tenggara Barat, wayang Banjar di Kalimantan Selatan, dan wayang parwa di Bali. Namun, sebagian jenis wayang terancam eksistensinya misalnya wayang beber dan wayang Madura.