Puluhan Orang di Jateng Meninggal akibat Leptospirosis
Sebanyak 55 orang di Jateng meninggal akibat terinfeksi leptospirosis pada kurun waktu Januari-September 2022. Masyarakat ataupun pasien harus peka dengan gejala leptospirosis karena penyakit itu perlu penanganan cepat.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sepanjang 2022, sebanyak 389 orang di sejumlah daerah di Jawa Tengah terpapar leptospirosis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 55 orang atau sekitar 14 persennya meninggal. Tenaga kesehatan diminta peka dalam mendeteksi pasien supaya penanganan tidak terlambat dan risiko kematian bisa ditekan.
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang timbul akibat infeksi bakteri leptospira. Bakteri tersebut biasanya menginfeksi hewan, salah satunya tikus. Tikus yang telah terinfeksi bakteri tersebut bisa menularkan kepada manusia melalui urine dan darah.
Urine tikus biasanya terdapat di tempat-tempat yang kotor dan bisa terbawa air atau banjir. Bakteri leptospira yang terdapat pada urine atau darah tikus tersebut bisa masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet maupun selaput lendir.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, sebanyak 389 orang di wilayahnya terkena leptospirosis, pada Januari-September 2022. Jumlah kasus pada 2022 tergolong lebih tinggi dari jumlah kasus sepanjang 2021, yakni 264 orang. Kendati demikian, jumlah kasus itu lebih lebih sedikit dari jumlah kasus pada tahun 2020 sebanyak 422 orang dan tahun 2019 dengan jumlah kasus sebanyak 458 orang.
Dari sebanyak 389 orang yang terpapar pada 2022, sekitar 14 persen atau sebanyak 55 orang meninggal. Persentase kematian tertinggi berada di Kabupaten Jepara, sebesar 50 persen. Persentase kematian tertinggi kedua dan ketiga berada di Sukoharjo dengan 39 persen dan Kota Semarang dengan 30 persen.
”Selain di tiga wilayah itu, kasus kematian akibat leptospirosis juga dilaporkan terjadi di sejumlah daerah, seperti Demak, Boyolali, Kebumen, Grobogan, Pati, Banyumas, Klaten dan Purworejo,” kata Subkoordinator Bidang Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinas Kesehatan Jateng Arfian Nevi, Senin (31/10/2022).
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Jepara Muh Ali menyebutkan, sepanjang 2022, ada dua kasus leptospirosis di wilayahnya. Dari jumlah itu, satu orang meninggal. Hal itu membuat persentase kematian akibat leptospirosis di wilayahnya menjadi 50 persen.
”Ke depan kami akan menggalakkan edukasi terkait pencegahan leptospirosis. Pelatihan untuk tenaga kesehatan juga kami lakukan supaya leptospirosis bisa dideteksi lebih dini,” ujarnya.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Mateus Sakundarno Adi, menuturkan, kematian pada pasien leptosiprosis mayoritas terjadi karena keterlambatan penanganan. Hal itu karena terlambatnya pasien berobat atau mencari pertolongan medis dan terlambatnya tenaga kesehatan mendeteksi leptosiprosis karena minimnya alat deteksi dini.
”Gejala awal penyakit ini adalah demam dan sakit kepala, mirip dengan flu. Pasien yang tidak peka sering kali menganggap dirinya hanya terserang flu biasa dan (mereka) baru mencari pertolongan medis saat sudah dalam kategori parah,” tutur Sakundarno.
Sebenarnya, leptosiprosis, dinilai Sakundarno mudah ditangani, yakni dengan cara diberikan antibiotik. Sayangnya, kemiripan gejala leptosiprosis dengan gejala penyakit lain, seperti malaria dan demam berdarah juga kerap membuat petugas kesehatan terlambat mendiagnosis pasien.
Untuk bisa menyimpulkan pasien terserang leptosiprosis atau tidak, perlu adanya pemeriksaan pendukung. Namun, tidak semua fasilitas layanan kesehatan memiliki alat deteksi dini leptosiprosis.
Menurut Sakundarno, di Jateng hanya ada di beberapa rumah sakit yang bisa mendeteksi leptosiprosis melalui pemeriksaan serologi. Rumah sakit-rumah sakit itu berada di Semarang dan Salatiga.
”Kalau pakai metode serologi itu (hasilnya) bisa (diketahui lebih) cepat, sehari sudah bisa. Tapi, kalau sampelnya itu dikirim dari puskesmas yang jauh atau rumah sakit di pelosok, akan (memakan waktu) lebih lama lagi. Padahal, kalau penanganan terlambat, penyakit ini bisa menyerang ginjal dan bahkan bisa menyebabkan kematian,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah tidak boleh berhenti mengedukasi masyarakat tentang bahaya leptosiprosis berikut cara pencegahannya. Tenaga kesehatan juga diminta langsung bertindak cepat jika mendapati pasien yang menunjukkan gejala mirip leptosiprosis, terutama mereka yang berasal dari daerah endemi leptosiprosis.
Berdasarkan catatan Sakundarno, leptosiprosis awalnya banyak menyerang masyarakat di wilayah pesisir pantai utara, seperti, Demak, Semarang, Jepara dan Pati. Beberapa tahun belakangan, leptosiprosis mulai menjangkiti masyarakat di wilayah selatan Jateng, misalnya Klaten, Boyolali, Banyumas, dan Kebumen. Hal itu terjadi karena faktor kebersihan lingkungan dan perilaku manusia di lingkungan tersebut.
”Banyak yang mengira leptosiprosis itu hanya bisa ditularkan lewat kencing tikus, padahal hewan mamalia lain, seperti kambing dan sapi, juga bisa menularkan leptosiprosis. Untuk itu, kalau mau beraktivitas di tempat-tempat yang bersinggungan dengan hewan atau di tempat-tempat kotor, sebaiknya menggunakan sepatu bot dan alat perlindungan diri lainnya,” kata Sakundarno.
Sakundarno menyarankan agar masyarakat selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat dengan cara menjaga kebersihan diri ataupun lingkungan. Jika ada bagian tubuh yang terluka, sebaiknya ditutup untuk mencegah masuknya kuman atau bakteri ke dalam tubuh. Jika mengeluhkan gejala mengarah leptosiprosis, sebaiknya langsung mencari pertolongan kepada petugas medis.