Kampung Gadis Cilacap, Dulu Tragis Kini Berbuah Manis
Kawasan Kelurahan Tegalreja, Cilacap Selatan, dulu kumuh dan jadi sumber masalah sosial. Dengan gotong royong, bantaran rel di sana menjadi tempat produktif dan positif.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
Jalur rel kereta api yang membelah Kelurahan Tegalreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap, menjadi saksi bisu dinamika warga di sekitarnya. Lima tahun silam, kawasan itu dikenal suram dan kumuh. Kini, setelah hadir Kampung KB Gadis, kawasan di sekitar bantaran rel itu kian tertata dan bersih. Bahkan, sebuah Eco Smart Green House bertenaga listrik dari panel surya berdiri anggun menyemai bibit-bibit selada, pokcoy, dan cabai untuk ditanam di rangkaian pipa hidroponik di sekitar rel kereta api.
Pagar bambu setinggi 1 meter berdiri rapi dengan jarak sekitar 2 meter dari besi rel di sisi utara. Pagar bercat hijau itu menyekat, memberi batas jelas antara rel dan sebuah taman yang memiliki lebar sekitar 5 meter dan membentang di sepanjang rel di kawasan padat penduduk itu. Di taman itu, selain berhiaskan rangkaian pipa hidroponik dengan daun-daun segar yang siap dipanen, terdapat pula aneka tanaman hias, mulai dari daun palem, pandan, kembang asoka, pohon pucuk merah hingga pohon cemara.
”Sepanjang rel ini dulu kotor, penuh semak, jadi tempat buang sampah dan menjadi tempat pelarian anak-anak remaja untuk nongkrong, mabuk, dan lain sebagainya. Dari sana, sering terjadi kecelakaan kereta api,” kata Ketua Umum Kampung KB Gadis, Kelurahan Tegalreja, Muhlasin (58) di Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (13/10/2022).
Karena sering jadi tempat mabuk dan nongkrong serta pacaran bagi remaja, banyak anak remaja yang meninggal karena tertabrak kereta di kawasan itu. ”Dulu sering ada orang terlindas karena lupa atau lalai dalam keadaan mabuk atau tidak sadar, tidak tahu ada kereta lewat. Itu terjadi sebelum 2017. Setahun itu bisa ada kejadian 4-5 kali (kasus korban tertabrak kereta) sampai meninggal dan korbannya adalah anak-anak SMP atau usia produktif,” ujarnya.
Upaya para tokoh masyarakat bersama aparat kepolisian juga pernah dilakukan dengan mengingatkan dan menghalau mereka yang suka nongkrong, tapi hari ini dihalau, besok mereka hadir kembali. Karena keprihatinan itulah, muncul tekad untuk bersama-sama menyulap bantaran rel itu jadi tempat yang lebih manusiawi. Pada 2017, seiring adanya program kampung KB di Indonesia, warga bergotong royong kerja bakti menata kawasan itu.
Tidak hanya dibersihkan dan dirawat, tempat itu juga dijadikan lahan pertanian di lahan sempit dengan menggunakan hidroponik. PT Pertamina memberikan pendampingan dan rangkaian hidroponik untuk dimanfaatkan warga sekitar. ”Lewat kerja bakti masal di RW 004, bantaran rel sepanjang 210 meter itu dibagi tujuh RT sehingga masing-masing punya kewajiban mengelola itu,” ujarnya.
Seiring bergulirnya waktu, kawasan rel itu makin tertata, kenakalan remaja pun hilang dengan sendirinya. Nama Gadis pun disematkan di kampung ini. Gadis singkatan dari Guyub, Aman, Damai, Indah, dan Sejahtera. ”Orang tidak lagi nongkrong-nongkrong tidak jelas di sini. Yang kedua adalah mengubah pola pikir masyarakat yang tadinya tidak peduli, acuh tak acuh, dan rel dipakai untuk membuang sampah sekarang dijaga dan dipelihara. Kalau sore, jadi destinasi mini keluarga. Ini juga mengeratkan tali persaudaraan antarwarga,” paparnya.
Mengubah pola pikir masyarakat yang tadinya tidak peduli, acuh tak acuh, dan rel dipakai untuk membuang sampah sekarang dijaga dan dipelihara.
Ketua Kelompok Peggiat Tanaman Hidroponik (Petanik) Kampung KB Gadis Kasiatun (55) mengatakan, ada 20 orang yang terlibat khusus dalam mengembangkan pertanian hidroponik di bantaran rel itu. Semula ada tiga rangkaian hidroponik. Dalam waktu 3 tahun, rangkaian dapat dikembangkan menjadi 10 buah. Setiap rangkaian terdiri dari 128 lubang tanam.
”Dalam satu rangkaian hidroponik, per bulan bisa dipanen 30-40 ikat selada air dan pokcoy. Sayuran dijual Rp 6.000 per ikat ke masyarakat sekitar karena masyarakat sekitar butuh sayuran yang higienis, bernutrisi bagus, dan nonpestisida. Kami juga mengolahnya jadi jus pokcoy,” tutur Kasiatun yang akrab disapa Atun.
Atun mengakui bahwa secara ekonomi, hasil penjualan dari sayur-mayur hidroponik ini belum memberikan perubahan signifikan kepada masing-masing keluarga lantaran dananya masih terus dikumpulkan untuk modal pengembangan usaha. Namun, kegiatan hidroponik telah memberikan manfaat lain bagi para ibu. ”Anggota dapat kegiatan positif. Dengan adanya kegiatan yang positif bisa mengurangi kumpul-kumpul yang tidak ada manfaatnya, misalnya gibah,” ujarnya sambil tertawa.
Untuk merawat tanaman, disusun jadwal piket pagi, siang, sore per hari. Setiap anggota diajak memperhatikan lancar tidaknya air di pipa hidroponik. Khusus untuk persemaian bibit, pada pagi dan sore hari, anggota diminta mengecek kelembapan media semai supaya bibit tumbuh dengan baik.
”Prosesnya dimulai dari menyemai biji yang disiram rutin. Setelah 3 hari, biji akan pecah jadi kecambah. Lalu setelah seminggu, bibit siap dipindah ke tempat peremajaan di pipa hidroponik. Lalu bisa dipanen setelah 1,5 bulan,” tutur Atun.
Salah satu kendala yang dihadapi kelompok ini adalah saat panen raya sayur-mayur hidroponik harganya sangat murah. Meski sudah dibuat jus, mereka kadang kesulitan memasarkan ke luar wilayahnya.
Dulu, sebelum dipasang panel surya, mereka harus mengelurkan biaya hingga Rp 300.000 per bulan untuk membayar tagihan listrik. Adapun saat ini, dengan adanya panel surya bantuan PT Pertamina, biaya operasional listrik menjadi gratis. ”Dengan adanya Eco Smart Green House ini, listrik tidak lagi jadi beban. Untuk penyiraman biji yang disemai juga sudah otomatis di pagi dan sore hari dalam waktu 5 menit,” kata Atun.
Pengajar Teknik Mesin Politeknik Negeri Cilacap Imam Abdu yang merancangEco Smart Green House ini menyebutkan green house ini sudah memakai teknologi terbaru. ”Energinya diambilkan dari tenaga matahari. Pakai 1.000 wattpeak dan dipakai untuk pompa irigasi dan sprayer. Proses pembibitan jadi faktor yang penting untuk keberlanjutan. Selain itu, sistem spray juga membuat penyemprotan lebih merata dengan waktu yang ditentukan,” kata Imam.
Menurut Imam, jika dikonversikan ke biaya listrik konvensional, panel surya ini bisa menghemat biaya listrik sampai Rp 300.000 per bulan. ”Persemaian ini hanya dua kali semprot. Pukul 07.00-07.05 lalu sore 16.00-16.05 sesuai waktu yang telah diprogram di alat. Perawatan pun mudah dengan membersihkan panel surya saja dan mengecek kebersihan saluran ke tandon air secara rutin,” katanya.
Lurah Tegalreja Kecamatan Cilacap Selatan Sri Subarwati mengapresiasi upaya warga dalam menata kawasan bantaran rel tersebut. Kehadiran kampung KB Gadis itu diharapkan menjadi tempat inspiratif dan produktif. ”Ke depannya, diharapkan pertanian hidroponik ini bisa mendukung ekonomi keluarga serta berkembang menjadi tempat wisata edukasi tentang cara bertani hidroponik,” kata Sri. Adapun total warga Kelurahan Tegalreja mencapai 12.000 jiwa. Sebanyak 50 persen warga bekerja sebagai pegawai, 20 persen pedagang, dan lainnya wiraswasta,
Area Manager Commrel & CSR PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit IV Cecep Supriyatna mengatakan, kehadiran CSR Pertamina di tempat itu diharapkan dapat kian mendukung upaya warga dalam kemandirian energi. ”Kami mencoba agar listrik di Kampung KB Gadis ini bisa mandiri dan tidak berbayar. Maka, dibantu dengan solar sel demi keberlanjutan program di sana,” kata Cecep.
Dengan gotong royong dari banyak pihak, Kampung KB Gadis ini pun pernah menyabet juara 3 Kampung KB di tingkat Provinsi Jateng dan juara 1 Kampung KB Percontohan tingkat nasional pada 2019.
Jika dulu warga risau dengan deru gilasan roda kereta api yang disusul dengan kabar kecelakaan anak remaja yang kerap nongkrong di sana, kini deru mesin kereta api bersahut-sahutan dengan deru lembut mesin pompa air di rangkaian hidroponik yang siap menyuburkan aneka sayur-mayur. Hijau daun yang menggelayut dan merekah segar di sana seolah menjaga harapan warga untuk menikmati hidup lebih baik dan sehat.
Kini di bantaran rel Kampung Gadis ini, tiada lagi kisah tragis. Justru tumbuhlah kisah-kisah manis, mulai dari edukasi hidroponik menuju kemandirian pangan, gotong royong dan silahturahmi warga yang kian terjaga, hingga kemandirian energi.