Telur dan Daging Ayam, Jurus Jitu Menumpas Tengkes
Pengenalan akan telur dan daging ayam menjadi hal yang sangat penting guna meningkatkan kesadaran tentang pentingnya asupan protein hewani bagi tumbuh kembang anak. Cara ini efektif untuk menangkal tengkes.
Syarif Hidayatullah (10), siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 19, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, bersama dua kawannya sibuk mengupas empat butir telur rebus di halaman sekolahnya, Sabtu (29/10/2022) . Tangannya tampak sangat cekatan saat melepas kulit telur dari isinya.
Hari itu mereka mengikuti lomba mengupas telur, rangkaian perayaan ulang tahun ke-43, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi). Selain lomba mengupas telur, pengurus Asohi juga menggelar edukasi mengenai pentingnya mengonsumsi daging dan telur ayam.
Syarif dan kelompoknya berhasil menjadi pemenang kedua dalam lomba itu. Bagi Syarif, mengupas telur sudah menjadi kebiasaan karena setiap hari ia mengonsumsi telur. ”Dalam satu hari, saya bisa makan dua sampai empat butir telur,” kata Syarif yang bercita-cita menjadi seorang pilot itu.
Ia selalu makan telur karena orangtuanya bekerja di salah satu peternakan ayam tidak jauh dari sekolahnya. ”Setiap hari, ayah saya selalu mendapatkan jatah telur. Jadi itulah yang selalu saya makan,” tuturnya.
Agar tidak bosan, ibunya selalu meracik telur menjadi aneka olahan lauk atau bumbu yang beragam. ”Biasanya ibu memasak telur dengan digoreng, direndang, atau dijadikan opor,” ujarnya.
Tidak hanya telur, Syarif juga mengonsumsi daging ayam dua kali dalam seminggu. ”Biasanya, kalau ayah gajian, kita makan ayam,” katanya.
Rohimah (35), ibu salah satu siswa SDN 19 Banyuasin, yang sudah tiga tahun bekerja di sebuah perusahaan peternakan ayam mengatakan, dirinya juga selalu menjadikan telur sebagai salah satu menu di keluarganya karena memang hanya itulah yang gratis. ”Kalau telur, saya tinggal ambil di gudang dapat jatah gratis dari peternakan,” kata Rohimah .
Agar tidak membosankan, ia meracik telur menjadi berbagai menu, seperti mencampurkannya dengan sayur. ”Kebetulan tiga anak saya suka dengan telur," ujarnya. Menurut dia, telur dan daging ayam merupakan makanan dengan asupan protein yang cukup terjangkau meskipun telur dan daging ayam adalah komoditas yang harganya sangat fluktuatif.
”Kadang mahal kadang murah. Tapi, masih lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lain,” tuturnya. Untuk saat ini, harga telur sekitar Rp 23.000 per kg dan harga ayam sekitar Rp 30.000 per kg.
Ketika harga telur dan ayam melonjak, biasanya, Rohimah akan mencari sumber protein lain seperti tempe, tahu, ikan, dan susu. ”Asupan ini juga saya dapatkan dari petugas posyandu di lingkungan tempat tinggalnya,” ujar Rohimah sembari menggendong anak ketiganya.
Tekan kasus tengkes
Ketua Asosiasi Masyarakat Unggas Sumsel Ismaidi menuturkan, telur dan daging ayam sangat penting untuk memenuhi kebutuhan protein. ”Makan tidak hanya untuk kenyang, tetapi juga untuk memenuhi gizi seimbang agar anak menjadi sehat dan pintar,” ujarnya.
Karena itu, edukasi mengenai pentingnya mengonsumsi telur dan ayam harus terus diperluas agar kesadaran masyarakat meningkat. ”Ini juga untuk mendukung program pemerintah menekan kasus tengkes di Sumsel,” ujarnya.
Secara keseluruhan, konsumsi telur dan daging ayam pada masyarakat Sumsel masih sangat rendah. Telur, misalnya, seharusnya setiap orang mengonsumsi dua butir telur sehari.
Saat ini, jumlah penduduk di Sumsel mencapai 8,6 juta orang. Itu berarti kebutuhan telur sekitar 1.000 ton per hari. Nyatanya, jumlah konsumsi telur di Sumsel hanya sekitar 150 ton sampai 200 ton per hari. Adapun produksi telur di Sumsel baru 250 ton per hari.
”Sebelum pandemi Covid-19, produksi telur ayam di Sumsel mencapai 350 ton per hari, sekarang hanya 250 ton,” ujarnya. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya populasi ayam dari 10 juta ekor pada 2020 menjadi hanya 6 juta ekor saat ini.
Begitu pun dengan daging ayam. Saat ini, rata-rata konsumsi daging ayam warga Sumsel hanya sekitar 12 kilogram (kg) per tahun. Sementara idealnya konsumsi daging ayam sekitar 73 kg per tahun. Hal ini juga diperparah dengan produksi daging ayam Sumsel yang sekarang juga menurun dari yang rata-rata 160.000 ton-180.000 ton per tahun di masa sebelum pendemi, sekarang terkoreksi hingga 30 persen.
Penurunan populasi ini juga disebabkan oleh banyaknya produsen ayam yang gulung tikar akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. ”Kemungkinan, produksi telur dan daging ayam di Sumsel baru akan pulih pada pertengahan 2024 mendatang,” kata Ismaidi.
Berkurangnya daya beli juga masyarakat menjadi salah satu penyebab rendahnya penyerapan telur dan daging ayam. Apalagi, harga telur dan daging ayam sulit diprediksi karena pergerakannya sangat tergantung pada mekanisme pasar. ”Harga di kandang dan di pasar sangat jauh berbeda. Perlu ada peran dari semua pihak terkait untuk mengikis disparitas itu,” kata Ismaidi.
Anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Sumsel, Muhammad Zukhri, menuturkan, agar produksi dan populasi ayam tidak menurun, perlu ada langkah intervensi perihal pengelolaan kandang dan perawatan ayam. ”Ayam harus diberi vaksin dan vitamin yang berkelanjutan guna menjaga imunitas agar tidak mudah terserang penyakit,” katanya.
Beberapa penyakit yang kerap menyerang, antara lain penyakit gumboro atau penyakit infectious bursal disease, tetelo (newcastle disease), dan flu burung. Namun, semua penyakit itu sudah ada vaksin dan obatnya sehingga kematian unggas bisa diminimalkan.
Dengan ketersediaan ayam yang baik, kata Zukhri, pasokan ayam untuk kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. ”Tinggal bagaimana memberikan edukasi kepada orangtua, terutama ibu sebagai sang pengatur menu agar mau mengolah ayam dan telur sebagai sumber protein hewani yang terjangkau. Dengan begitu, gizi anak bisa tetap terjaga sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik,” kata Zukhri yang juga menjabat sebagai Ketua Asohi.
Tinggal bagaimana memberikan edukasi kepada orangtua, terutama ibu sebagai sang pengatur menu, agar mau mengolah ayam dan telur sebagai sumber protein hewani yang terjangkau. (Muhammad Zukhri)
Ditekan hingga 14 persen
Penjabat Fungsional Penata Kependudukan Ahli Madya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumatera Selatan Taruna Rosevelt menyebutkan, akar masalah dari tengkes adalah kurangnya sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya keluarga berencana. Asupan pangan yang tepat juga harus terus disosialisasikan agar kecukupan gizi pada anak bisa terpenuhi.
Pada 2022, prevalensi tengkes di Sumsel masih cukup tinggi, yakni mencapai 21,27 persen. Adapun pada 2023, pemerintah menargetkan memangkas tengkes menjadi sekitar 17,8 persen, dan pada 2024 bisa ditekan menjadi 14,3 persen.
Anggota Satuan Tugas Percepatan Penurunan Tengkes Provinsi Sumatera Selatan, Muhammad Huesin, mengutarakan faktor ekonomi juga menjadi penyebab tengkes. Sebagian besar kasus tengkes dialami oleh keluarga yang kondisi ekonominya lemah. ”Dengan pendapatan yang rendah, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan yang cukup bagi anak-anaknya. Belum lagi kurang memadainya kondisi lingkungan tempat mereka tinggal,” ungkap Huesin.
Kasus tengkes banyak ditemukan di daerah yang belum teraliri air bersih atau sarana sanitasinya yang belum memadai. Adapun kasus anak balita atau anak baduta (bawah dua tahun) berisiko tengkes karena terpapar penyakit lain, seperti tuberkulosis (TBC) dan tinggal dekat dengan perokok aktif.
Huesin berharap, temuan kasus tengkes di lapangan dapat segera tertangani segera dengan beragam cara, misalnya bantuan pemberian makanan tambahan bagi baduta dan anak balita karena di 1.000 hari pertama kehidupan, pasokan pakan yang cukup menjadi hal yang wajib tersedia.
Ratih Putri Utami, ahli gizi dari RSUD Palembang BARI, mengatakan, agar anak bisa terhindar dari tengkes, inovasi pemberian makanan tambahan dengan menu lokal perlu dilakukan. Karena itu, warga mesti dibimbing agar bisa memberikan nutrisi yang baik pada anak bahkan dimulai ketika di kandungan hingga 1.000 hari pertama.
Kasus tengkes biasanya dimulai dari pernikahan usia dini pada di daerah yang dapat memicu lahirnya anak tengkes karena ibu yang mengandung kurang gizi atau belum memiliki wawasan gizi untuk mengurus bayi. ”Jika petugas gizi tidak sampai menjamah merek, angka tengkes tetap tinggi,” ujarnya.
Masalahnya, tidak semua daerah memiliki ahli gizi. Padahal, setidaknya setiap puskesmas memiliki tenaga gizi minimal 2 ahli gizi. Karena tenaga gizilah yang memiliki kualifikasi khusus dalam program tengkes. ”Program tersebut sangat penting guna melaksanakan tindakan preventif dan promotif untuk mencegah tengkes. Bila tidak, bukannya semakin turun, tengkes berisiko akan semakin tidak terkendali,” kata Ratih.
Apalagi, petugas gizi daerah dituntut untuk melakukan percepatan penurunan angka tengkes hingga menyentuh 14 persen. ”Harus disediakan petugas gizi yang cukup selain program dan anggaran yang luar biasa bagus,” kata Ratih.