Menatap Kampung Global lewat Media Lokal
Media lokal diharapkan bisa mengangkat isu-isu di daerahnya di ranah global. Tidak hanya keunikan daerah, media lokal juga bisa menggugah perhatian dari berbagai belahan dunia di arena kampung global ini.
Perkembangan teknologi informasi memberikan kesempatan isu lokal untuk mendunia. Namun, kesempatan ini kerap terhambat berbagai kendala, mulai dari isu nasional hingga kaidah bahasa yang digunakan.
Kemajuan teknologi informasi berdampak pada banyaknya media daring yang tersebar di Indonesia. Tidak hanya ada di Jakarta, ibu kota Indonesia, ribuan media ini tersebar hingga ke seluruh penjuru Tanah Air.
Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto menyebut, jumlah media siber saat ini diperkirakan mencapai lebih dari 40.000 media. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah media cetak yang hanya sekitar 600 perusahaan.
Baca juga : Bijak Menggunakan Bahasa Sesuai Konteks
”Sebenarnya tidak ada yang disebut media lokal secara spesifik karena dengan teknologi semua bisa diakses di mana saja. Radio mungkin masih bisa disebut media lokal karena frekuensi yang berbeda. Kalau sekarang, kejadian di satu tempat bisa diketahui di belahan dunia lainnya,” papar Tri dalam diskusi bertajuk ”Gazing through the Local Lens” di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (29/10/2022). Acara itu bagian dalam rangkaian acara All Out Journalism 2022 yang digelar Warta Hima Hubungan Internasional Unpar ini.
Media daring yang ada, lanjut Tri, tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Namun, konten media-media ini masih didominasi isu nasional, seperti politik, terutama menjelang Pemilihan Umum 2024.
Menurut Tri, hal ini terjadi karena ketertarikan publik terhadap isu nasional lebih besar dibandingkan isu lokal. Apalagi, isu-isu nasional berasal dari figur-figur yang lebih dikenal oleh masyarakat sehingga mampu menyedot perhatian masyarakat.
”Kita mengenal istilah man makes news. Sekarang orang-orang lebih tertarik isu nasional, apalagi menjelang Pemilu 2024. Padahal, tidak ada pengaruhnya siapa pun calon yang akan dipilih sebelum nama tersebut diresmikan,” ujar Tri yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas.
Padahal, setiap daerah memiliki isu yang bisa diangkat oleh setiap media lokal, bahkan bisa menyedot perhatian publik yang lebih besar. Tri menyebut istilah hiperlokal atau isu lokal yang diangkat oleh media atau komunitas setempat.
”Hiperlokal ini bisa menunjukkan nilai-nilai lokal yang diinformasikan kepada masyarakat luar melalui media. Bagi masyarakat ataupun komunitas itu, hiperlokal ini bisa mempersiapkan warga untuk menerima dunia luar,” lanjutnya.
Definisi ulang
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito juga melihat pemahaman jurnalisme lokal perlu didefinisikan ulang. Apalagi, informasi saat ini tidak hanya dibatasi masalah geografis karena perkembangan teknologi.
Sasmito juga menyayangkan media lokal yang saat ini tidak mengangkat isu-isu daerahnya. Padahal, keberadaan media lokal ini bisa memberikan berbagai perspektif dari setiap daerah dan tidak terlalu terpusat ke isu ibu kota negara saja.
”Pascareformasi, AJI mendorong teman-teman daerah untuk mendirikan media-media baru. Ini akan membuat perspektif baru dan informasi yang ada tidak Jakarta-sentris atau terpusat di Jakarta saja,” katanya.
Sasmito menilai isu lokal belum berkembang dengan baik karena minim dukungan dari masyarakat. Apalagi, sejumlah media lokal masih mengandalkan kerja sama dengan pemerintah.
Padahal, dengan memanfaatkan isu-isu lokal, lanjutnya, setiap media bisa saja membuat kajian-kajian menarik. Semua bisa memberikan warna berbeda dengan pendekatan baru.
Penggunaan bahasa
Isu dan kajian lokal ini semakin berkembang, bahkan melanglang buana ke belahan dunia lain, jika dipahami oleh semua orang. Karena itu, Tri menilai bahasa menjadi salah satu faktor penting untuk memperkenalkan isu lokal ke ranah global.
Apalagi, Kota Bandung dan Jabar menjadi salah satu destinasi yang menjadi pilihan para wisatawan asing. Menurut dia, potensi ini bisa dimaksimalkan dengan membuat media berbasis lokal tetapi menggunakan bahasa yang universal, seperti bahasa Inggris.
Tri mencontohkan salah satu media daring dari Swedia,The Local, yang menggunakan bahasa Inggris meskipun negara ini memiliki bahasa Swedia. Padahal, sebagian besar konten yang diangkat merupakan isu lokal yang terjadi di ibu kota Swedia, Stockholm, dan negara ini secara keseluruhan.
”Media ini membahas mulai dari etika atau norma di Swedia, menyajikan data, gaya hidup, pariwisata, hingga ekonomi. Jadi, orang-orang bisa melihat gambaran di sana,” ujarnya.
Konten ataupun berita yang menggunakan bahasa universal ini bisa menjadi jalan untuk mengangkat isu lokal ke ranah global. Dosen HI Unpar, Anggia Valerisha, menyebut, jurnalistik berperan penting menambah pengetahuan masyarakat dari informasi yang diberikan.
Dengan alasan ini, Anggia berpendapat, penting untuk punya kemampuan menyajikan konten dan berita lokal dengan menggunakan bahasa universal, seperti Inggris. Apalagi, saat ini isu di suatu daerah bisa memengaruhi daerah lain karena adanya globalisasi. Menurut dia, kondisi ini menunjukkan jurnalistik sangat lekat dengan interaksi dalam hubungan internasional.
”Interaksi yang tidak mengenal sekat ini membuat kita masuk ke dalam global village (kampung global). Informasi dari satu tempat bisa saja berpengaruh ke titik lainnya. Konten di satu daerah bisa membuat orang-orang di belahan dunia lain tertarik jika bisa memahaminya,” ujarnya.
Baca juga : Anomali Demokrasi Pascaglobalisasi
Maria Risya (20), Ketua Panitia All Out Journalism 2022, mengatakan mendapat pengetahuan baru di dunia jurnalistik dalam diskusi tersebut. Akhirnya dia menemukan jawaban kenapa konten-konten lokal saat ini masih belum mengangkat isu-isu di sekitarnya.
Bahkan, penggunaan etika jurnalistik juga menjadi penentu suatu media jadi referensi. Sebelumnya, dia bertanya-tanya kenapa para dosen menyarankan mahasiswa untuk menggunakan media arus utama dibandingkan media daring berbasis lokal.
”Dari diskusi ini, aku melihat memang media-media daerah masih belum mengeksplorasi isu-isu lokal. Apalagi, tidak semua menggunakan etika jurnalistik sehingga tidak disarankan untuk jadi referensi,” kata Maria.
Media daerah yang serius menggarap isu di sekitarnya bisa menjadi sarana untuk memperkenalkan isu lokal yang mendunia. Jika hal itu terpenuhi, daerah itu pun memberikan kontribusi di kampung global dan menarik atensi dari berbagai belahan bumi.