Bahasa Cirebon: Dulu Jadi Nilai Plus Pegawai Kolonial, Kini Dukung Pariwisata
Saat masa pemerintahan kolonial, bahasa Cirebon jadi pertimbangan penempatan pegawai guru dan jaksa. Kini, bahasa ibu itu turut mendukung pengembangan pariwisata.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Pengamat sejarah dan budaya Cirebon, Mustaqim Asteja, menunjukkan berkas terkait perhatian Pemerintah Belanda terhadap bahasa Cirebon, Selasa (25/10/2022), di Kota Cirebon, Jawa Barat.
CIREBON, KOMPAS — Bahasa Cirebon di Jawa Barat memiliki banyak fungsi. Saat masa pemerintahan kolonial, bahasa daerah itu jadi pertimbangan penempatan pegawai guru dan jaksa. Kini, bahasa ibu itu turut mendukung pengembangan pariwisata. Namun, pelestariannya menghadapi sejumlah tantangan.
”Saking pentingnya bahasa Cirebon, pemimpin Belanda memperhatikan itu. Permasalahan bahasa inilah yang diperhitungkan dalam pengangkatan pejabat dari pribumi, terutama jaksa dan tenaga pendidik atau guru,” ujar pengamat sejarah dan budaya Cirebon, Mustaqim Asteja, di Cirebon, Jumat (28/10/2022).
Informasi itu, kata Mustaqim, diperoleh dari laporan serah terima jabatan Residen Cirebon G J Oudemans tahun 1911 bertajuk ”Memorie van Overgave Residen Cheribon GJ Oudemans”. Oudemans meminta jaksa dan guru memahami bahasa Cirebon agar berbagai program pemerintah kolonial bisa berjalan lancar.
Jaksa dan guru harus tahu bahasa daerah, katanya, karena mereka kerap berhadapan dengan masyarakat kala itu. ”Jadi, orang yang berhadapan dengan pegawai tersebut bisa memahami pendelegasian tugasnya. Contohnya, perkataan ’eh, ambilin itu’ tidak sebaik dibandingkan kalimat ’tolong ambilkan itu’,” ungkapnya.
Itu sebabnya, menurut Mustaqim, pemerintah kolonial memandang bahasa Cirebon sebagai salah satu bentuk pelayanan publik. ”Ini bukan masalah primordial bahwa pegawai harus orang Cirebon, bukan orang Sunda atau daerah lain. Namun, pesannya adalah masyarakat dan pemerintah bisa berdialog,” ujarnya.
Mustaqim mengakui, penguasaan bahasa daerah jadi salah satu instrumen Pemerintah Belanda menguasai Cirebon. Namun, di sisi lainnya, Belanda juga menunjukkan pentingnya penggunaan bahasa lokal untuk memahami masyarakat setempat. Bahkan, mereka sempat menerbitkan buku bahasa Cirebon yang cukup detail.
Buku berjudul Het Dialect Van Tjirebon karya J N Smith, mantan asisten residen pada 1926 itu, berisi, antara lain, bahasa Cirebon dalam berbagai tingkatan. Misalnya, kata ”priben” yang bermakna ”bagaimana” kerap digunakan dalam keseharian, sedangkan ”pripun” dipakai saat bercakap dengan orang yang dihormati.
Menurut dia, bahasa Cirebon masih relevan hingga kini. ”Dalam tradisi, seperti sandiwara, pasti pakai bahasa daerah. Ini jadi pertunjukan wisata. Wisatawan pasti lebih tertarik mendengar bahasa khas di sini dibandingkan bahasa Inggris,” ujar dosen Senin Budaya di Politeknik Pariwisata Prima Internasional Cirebon ini.
Musik tarling atau gitar suling dangdut khas pantai utara Jabar juga menggunakan bahasa Cirebon. Di kanal Youtube, sejumlah lagu penyanyi tarling dangdut, seperti Dian Anic dan Diana Sastra, telah ditonton belasan juta kali. Tidak hanya hiburan, bahasa Cirebon dalam tradisi kesenian juga mengandung pelajaran bagi siapa pun.
Mustaqim mencontohkan, kidung pengantin yang berisi nasihat terkait perkawinan. Petikannya berbunyi ”Tumpeng jeneng minangka pemandu sandang pangan papan. Uripe sederhana mangke”. Terjemahan bebasnya, (mempelai) laki-laki harus menyediakan sandang, pangan, dan papan untuk hidup nanti.
Bahasa daerah itu kaya dan komprehensif.
”Jadi, bahasa Cirebon itu bukan hanya untuk komunikasi, melainkan juga edukasi. Sayangnya, bahasa daerah sekarang terancam. Penuturnya yang mengerti sastra Cirebon sudah tua. Kidung pengantin sudah sangat jarang dipentaskan,” ungkapnya. Bahasa Cirebon, ujarnya, juga belum jadi mata pelajaran khusus di setiap sekolah.
Mustaqim mengusulkan, pemerintah daerah mengembangkan bahasa Cirebon yang lebih aplikatif. Misalnya, di jenjang sekolah dasar, bahasa daerah diajarkan untuk percakapan. Saat sekolah menengah pertama, penguatan bahasa sesuai tingkatannya atau babasan. Di sekolah menengah atas untuk pengkajian kitab dalam menggali pengetahuan.
Pembelajaran bahasa daerah, katanya, perlu di tengah gempuran bahasa asing. ”Nanti yang fokus ke pariwisata bisa menjadikan bahasa Cirebon sebagai media penyampai atraksi wisata. Bahasa daerah itu kaya dan komprehensif. Ini juga identitas masyarakat Cirebon. Jadi, harus dilestarikan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Cirebon mengusulkan program Selasa Nyerbon. Dalam kegiatan ini, seluruh pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon menggunakan bahasa dan pakaian Cirebon setiap hari Selasa. Program itu juga nantinya dapat meluas ke jenjang pendidikan dan kantor swasta.
”Apakah kebijakan ini akan ditetapkan melalui surat keputusan atau perwali (peraturan wali kota), itu diserahkan kepada pimpinan. Termasuk apabila harus mengubah hari,” ujar Kepala Disbudpar Kota Cirebon Agus Sukmanjaya. Dengan begitu, pihaknya berharap, bahasa Cirebon tetap lestari ke depan.