Polda Jatim Kembali Periksa Saksi Tragedi Kanjuruhan
Tim penyidik Polda Jatim telah memeriksa lebih dari 100 saksi Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022, tetapi belum ada penambahan dari enam tersangka yang telah ditetapkan dan diumumkan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur kembali memeriksa saksi-saksi Tragedi Kanjuruhan. Namun, pemeriksaan belum sampai pada penambahan enam tersangka insiden sepak bola pada Sabtu (1/10/2022) malam yang mengakibatkan 135 jiwa meninggal dan 602 jiwa terluka.
Kamis (27/10/2022), tim penyidik memanggil 15 saksi untuk pemeriksaan di gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jatim di Surabaya. Mereka yang memenuhi panggilan ialah Presiden Arema FC Gilang Widya Pramana dan Direktur Operasional PT Liga Indonesia Baru (LIB) Sudjarno. Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang sudah diperiksa satu kali mengajukan penundaan pemeriksaan kedua.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Dirmanto, Kamis direncanakan pemeriksaan terhadap 15 saksi. Sudah lebih dari 100 saksi diperiksa untuk mengungkap Tragedi Kanjuruhan yang terjadi seusai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya itu.
”Saksi Ketua Umum PSSI mengajukan penundaan pemeriksaan,” kata Dirmanto. Iwan Bule bersedia diperiksa sepekan kemudian atau Kamis (3/11/2022). Iriawan, mantan Penjabat Gubernur Jawa Barat itu, beralasan ada kegiatan bersama FIFA, induk internasional sepak bola, yang tidak bisa ditinggalkan.
Ditanya tentang kemungkinan penambahan dari enam tersangka, menurut Dirmanto, tim penyidik akan bekerja secara profesional, terbuka, dan ilmiah. ”Di sisi lain, berkas enam tersangka dalam proses pelimpahan ke kejaksaan sehingga dapat lanjut ke persidangan,” katanya.
Dalam penyidikan Tragedi Kanjuruhan, enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tiga orang sipil ialah Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana dari Arema FC Abdul Haris, dan security officer Suko Sutrisno. Tiga orang lagi ialah anggota Polri, yakni Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Ahmad, dan Komandan Kompi 3 Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarman.
Polri menjerat tiga tersangka dari sipil atau Akhmad, Abdul, dan Suko dengan pelanggaran Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta pelanggaran Pasal 103 juncto Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Tiga anggota Polri dijerat dengan pelanggaran Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Tersangka terancam pidana maksimal 5 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Rochmat Amrullah, kuasa hukum Sudjarno, seusai mendampingi pemeriksaan mengatakan, kliennya dicecar dengan 30 pertanyaan. Dalam pemeriksaan kedua yang berlangsung sekitar 5 jam itu, pertanyaan kepada Sudjarno lebih banyak seputar kondisi Stadion Kanjuruhan dan tentang verifikasi untuk laga sepak bola Liga 1.
”Sebelumnya, Stadion Kanjuruhan dipakai untuk laga Piala Presiden dan Piala Menpora yang tidak terjadi apa-apa,” kata Rochmat.
Namun, seusai laga Arema FC dan Persebaya, terjadi insiden yang diakibatkan penembakan gas air mata oleh polisi yang memicu kepanikan dan kematian massal kalangan pendukung. Fasilitas, terutama tangga evakuasi dan pintu-pintu, di Stadion Kanjuruhan dianggap tidak memadai untuk membantu penonton menyelamatkan diri.
Dari temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) bentukan Presiden Joko Widodo, penembakan gas air mata membuat kepanikan pendukung yang kemudian berebut menyelamatkan diri melalui pintu yang amat kecil atau ada yang tertutup.
Secara terpisah, Taufik Hidayat, kuasa hukum Abdul Haris, mengatakan, tim penyidik tidak boleh berhenti pada penetapan enam tersangka. ”Seharusnya Ketua Umum PSSI bertanggung jawab secara moral dan hukum karena laga tidak bisa terlaksana tanpa PSSI,” katanya.
Menurut TGIPF, Tragedi Kanjuruhan terjadi karena PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepak bola Indonesia tidak profesional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing, cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat sebelumnya, serta saling melempar tanggung jawab kepada pihak lain.
Sikap dan praktik seperti ini merupakan akar masalah yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola nasional sehingga dibutuhkan langkah-langkah perbaikan secara drastis tetapi terukur untuk membangun peradaban baru dunia sepak bola nasional.
”Sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban,” tulis TGIPF. PSSI patut dipersalahkan karena tidak melakukan sosialisasi/pelatihan memadai tentang regulasi FIFA dan PSSI kepada penyelenggara pertandingan, panitia pelaksana, aparat keamanan, dan suporter.
Sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya korban.
Tidak disiapkan personel match commissioner yang memahami tugas dan tanggung jawab, berkualifikasi untuk mempersiapkan dan melaksanakan pertandingan sesuai dengan prosedur standar operasi. PSSI tidak mempertimbangkan faktor risiko saat menyusun jadwal kolektif penyelenggaraan Liga 1. PSSI enggan bertanggung jawab terhadap berbagai insiden/musibah dalam penyelenggaraan pertandingan yang tecermin di dalam regulasi PSSI (regulasi keselamatan dan keamanan PSSI 2021) yang membebaskan diri dari tanggung jawab dalam pelaksanaan pertandingan.