Manfaatkan Lahan Terdegradasi dengan Agrosilvopastura, Petani di Pulang Pisau Panen
Lahan terbengkalai di Desa Bawan, Kabupaten Pulang Pisau, dimanfaatkan dan diolah untuk menggali potensi komoditas pokok sayuran.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS — Kelompok Tani Eka Tandare di Desa Bawan, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, mulai memanen cabe rawit dan sejumlah sayuran dengan memanfaatkan lahan terdegradasi yang selama ini terbengkalai. Mereka menerapkan pertanian terpadu atau agrosilvopastura.
Kelompok Tani Eka Tadare merupakan kumpulan petani yang mengelola lahan terbengkalai itu didampingi dari Yayasan Pandu Alam Lestari (PAL). Setidaknya terdapat 40 hektar lahan yang sedang mereka olah dengan menerapkan agrosilvopastura.
Dari total lahan 40 hektar petani menanam sejumlah komoditas pertanian, mulai dari cabe rawit, jagung, sawi, kacang panjang, buncis, terong ungu, mentimun, paria, sampai semangka. Para petani juga menanam sejumlah tanaman keras, seperti durian, cempedak, petai, hingga tanaman pulai (Alstonia scholaris) dan meranti(Shorea, Sp).
Sulis Wianto (44), salah satu anggota kelompok tani, mengungkapkan, dirinya menggarap lahan seluas 2 hektar yang ditanami cabe rawit. Sebelum diolah seperti sekarang, lahan di tempat itu dibiarkan terbengkalai karena hanya berupa pasir putih dan lahan bergambut yang sulit diolah. Sejak 2015, lahan tersebut juga merupakan sumber kebakaran hutan dan lahan.
”Kendala di sini adalah pasir putih, beda dengan pasir hitam di Jawa. Pasir hitam mampu menahan air, sementara pasir putih langsung amblas,” kata Sulis di Bawan Pulang Pisau, Kamis (27/10/2022).
Siang itu, Sulis dan petani lainnya memanen cabe rawit dan sejumlah sayuran lainnya yang sudah mereka tanam enam bulan sebelumnya. Hasil pengolahan lahan terdegradasi selama enam bulan itu menghasilkan lebih kurang 900 kilogram (kg) mentimun dengan harga jual Rp 5.000 per kg, lalu kacang panjang sekitar 430 kg yang dijual dengan harga Rp 4.000 per kg, dan cabe rawit kisaran 150 kg yang dijual dengan harga Rp 80.000 per kg. Ia juga memanen sawi sekitar 120 ikat dijual dengan harga Rp 15.000 per ikat.
Sulis menjelaskan, dalam waktu dekat pihaknya juga akan mulai memanen sekitar 150 kg semangka dengang harga Rp 10.000 per kg, lalu terong sekitar 200 kg yang dijual dengan harga Rp 8.000 per kg, lalu kacang tanah yang masih dalam tahap uji coba dan hanya untuk dikonsumsi sendiri.
”Pasti untung karena sebelumnya lahan ini dibiarkan begitu saja, rimbun ditumbuhi rumput,” kata Sulis.
Kepala Balai Pelatihan Pertanian Bawan Eko Novianto menjelaskan, lahan di desa tersebut memerlukan sentuhan teknologi pertanian ramah lingkungan, salah satunya soal pengairan atau sistem irigasi yang harus dilakukan secara efektif dan efisien.
”Awalnya kami menanam sorgum, tetapi gagal. Lahannya memang sulit diolah,” ucap Eko.
Sulitnya mengolah tanah itu kemudian ditebus setelah berhasil menanam sayur dengan sistem agrosilvopastura yang menggabungkan pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Agrosilvopastura juga dikenal dengan pertanian lahan terpadu.
Lahan terpadu ini, jika berjalan sesuai dengan rencana, dapat menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Salah satu pendamping dari Yayasan PAL, Panduh S Tukat, menjelaskan, peternakan menghasilkan pupuk kandang, digunakan untuk tanaman perkebunan dan kehutanan yang dilakukan setelah pertanian. Tidak hanya peternakan, pihaknya juga sedang membuat kolam-kolam ikan karena di tempat itu dekat dengan Sungai Kahayan dengan potensi ikan yang besar.
”Lahan terpadu ini, jika berjalan sesuai dengan rencana, dapat menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” kata Panduh.
Panduh menambahkan, lahan ini bisa menjadi contoh pertanian yang tetap membuat lingkungan lestari, tetapi tetap menghasilkan. ”Ini juga sebagai percontohan untuk memotivasi masyarakat Dayak agar kembali mengelola lahan yang sering terbakar. Sekaligus upaya rehabilitasi hutan dan lahan,” ucapnya.