Perajin Batik Sokaraja Butuh Regenerasi dan Dukungan Pemkab Banyumas
Batik Sokaraja, Banyumas, perlu regenerasi dan dukungan dari pemerintah untuk kembali bangkit.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Perajin batik Sokaraja kini didominasi oleh pembatik berusia lanjut atau berumur di atas 50 tahun. Di samping itu, persaingan dengan produk printing menyerupai batik juga menjadi tantangan. Regenerasi pembatik dan serapan batik dari masyarakat serta pemerintah daerah dibutuhkan untuk melestarikan keberadaan batik Sokaraja.
”Tenaga kerja semakin ke sini semakin hilang, sementara teknologi printing semakin berkembang. Ini perlu perhatian pemerintah bagaimana batik tidak tergantikan oleh printing. Printing itu bukan kategori batik, tetapi itu tekstil. Tekstil itu tidak masuk golongan batik yang seperti dikategorikan oleh UNESCO,” kata Heru Santoso, pemilik Rumah Batik R Sokaraja, Kamis (27/10/2022), di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah.
Heru menyebutkan, sekitar 10 tahun silam, dia masih mempunyai pekerja hingga 15 orang, tetapi kini hanya tersisa tiga orang. ”Dulu sekitar 2001 ada imbauan dari pemerintah supaya pegawai memakai batik dari wilayah Sokaraja dan Banyumas. Saat itu, per bulan, rumah batik ini bisa memproduksi dan menjual lebih dari 1.000 batik. Sekarang paling banyak sebulan 400 lembar batik,” ujar Heru yang melanjutkan usaha batik sang ayah, Sugito, yang sudah ada sejak 1970-an.
Di Kabupaten Banyumas, menurut Heru, dulu ada 125 industri rumah tangga pembuatan batik, tetapi saat ini tersisa hanya 60-an industri rumah tangga batik.
Heru berharap adanya peran aktif pemerintah, misalnya mengeluarkan kembali surat edaran atau imbauan kepada pegawai negeri dan kantor di Banyumas untuk memakai batik cap atau tulis asal Sokaraja, Banyumas. ”Saya juga berharap masyarakat minimal mengenali perbedaan antara batik tulis, batik cap, dan juga printing,” ujarnya.
Batik tulis, kata Heru, merupakan batik yang total seluruh motifnya ditulis memakai tangan atau dicanting. Selain butuh kecermatan, batik ini perlu waktu hingga 1 bulan dalam proses pengerjaannya. Harganya pun di atas Rp 1 juta. Karena buatan tangan, setiap motifnya pasti berbeda, atau tidak presisi.
Adapun batik cap merupakan batik yang motifnya dibuat dengan bantuan cap sehingga motifnya relatif lebih rapi dan harganya berkisar Rp 100.000-Rp 200.00 per lembar. Adapun printing motif batik hasil motifnya sangat presisi karena memakai mesin dan harganya pun Rp 60.000-an per lembar. ”Jika masyarakat memahami proses pembuatan batik yang panjang, tentu mereka akan menghargai batik ini,” ujarnya.
Jika masyarakat memahami proses pembuatan batik yang panjang, tentu mereka akan menghargai batik ini.
Kadarudin (63), salah satu perajin di Rumah Batik R Sokaraja, menyampaikan, dirinya sudah membatik sejak berusia 30 tahun. Kini, dalam sebulan, dia tidak mesti menggarap batik setiap hari, tetapi hanya tergantung pesanan. ”Sehari bisa mengerjakan 10 lembar batik dan dapat upah Rp 80.000. Kalau enggak ada pesanan, ya menganggur,” kata Kadarudin.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas Titik Pudji Astuti menyampaikan, pada 2015 ada peraturan bupati yang mewajibkan pegawai memakai batik motif manggar khas Banyumas pada hari Kamis. Ke depannya, pihaknya akan kembali berkoordiansi dengan bupati supaya bisa mengeluarkan edaran serupa guna menggiatkan industri batik. ”Ow, iya, nanti saya akan matur (bicara) ke Pak Bupati,” kata Titik.
Menurut Titik, saat ini pihaknya sedang menyiapkan kegiatan fashion show untuk membangkitkan batik. Untuk itu, akan digelar pula lomba desain batik supaya ada motif baru yang menarik supaya bisa merangsang masyarakat untuk tertarik membeli.
Bupati Banyumas Achmad Husein ketika dikonfirmasi pun memberi tanggapan bahwa masukan itu akan ditindaklanjuti.
Kolaborasi Unsoed
Untuk mengampanyekan batik Sokaraja, pengajar Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Adhi Iman Sulaiman, bersama sejumlah mahasiswa berkunjung ke industri batik di Sokaraja itu. Mereka membuat konten berupa poster dan video di Youtube sebagai sarana promosi pelesatarian batik.
”Ini (merupakan bagian) dari mata kuliah kampanye. Dengan mata kuliah ini, kami ingin memberikan sebuah pendidikan positif bagi publik terutama mahasiswa sendiri agar mengenal produk lokal. Ini harus dikembangkan supaya warisan budaya dan identitas kearifan lokal ini terus lestari,” kata Adhi.
Hanifah Dwi Jayanti (20), mahasiswi semester V Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, berharap batik bisa dibuat tidak hanya menjadi pakaian, tetapi juga ke hijab, tas, atau aksesori lainnya sehingga mudah digunakan oleh kaum milenial saat ini.