Kisah Rumah Ambruk dan Perkara Permukiman di Kota Cirebon
Kisah rumah warga tidak layak huni yang ambruk masih terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat. Permasalahannya, ini lebih dari sekadar perkara cuca buruk, tetapi ada kemiskinan dan kesenjangan warga.
Tragedi rumah ambruk menimpa pemiliknya sendiri masih terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat. Bukan semata-mata dipicu cuaca buruk, ada ironi kemiskinan serius yang butuh solusi secepatnya.
Sembari menyeruput kopi, Muhammad Suwanda (35) bercengkrama dengan istrinya tentang banjir di Kota Cirebon, Selasa (25/10/2022) petang. Selama beberapa hari terakhir, hujan deras turun merata di Cirebon. Hal itu ikut memicu banjir di sejumlah titik.
Akan tetapi, belum usai membicarakan nasib warga terdampak banjir, Anda, sapaan Suwanda, ikut jadi korban. Bruukkk. Tiba-tiba atap rumah ambruk menimpanya. Lampu ikut mati. Tangisan anaknya memecah keheningan.
Mendengar tangisan anak, Anda refleks bangun dari reruntuhan asbes dan kayu. Warga Blok Surapandan, Kelurahan Argasunya, Kota Cirebon, ini lalu berlari ke depan rumah demi menyelamatkan anaknya, Gibran (5). Beruntung, istri, anak, dan tiga adiknya selamat.
Baca juga: Minta Maaf Terkait Banjir, Wali Kota Cirebon Janji Lakukan Penanganan
Setelahnya, ia kemudian duduk, mencoba menenangkan diri. Namun, bukannya mendapat ketenangan, ia malah pingsan.
”Pas ngelap muka, ternyata penuh darah. Saya enggak kuat lihat darah dan langsung pingsan. Saya dibawa warga ke rumah sakit,” ucap Anda saat menceritakan insiden itu, Rabu (26/10). Atap rumah ambruk itu melukai pelipis mata, pipi kiri, hidung, kepala kanan, dan lengan kirinya.
Hujan deras sekitar tiga jam telah merobohkan semua atap dan sebagian tembok rumahnya. Televisi cembung hingga lemari berisi perabotan makan tertimpa tembok bata yang belum diplester. Gorden bergambar Doraemon, tokoh kartun yang punya pintu ke mana saja, rusak.
Peristiwa itu tidak hanya melukainya, tetapi juga merobohkan impiannya memiliki hunian yang layak. Rumah seluas sekitar 6 x 9 meter itu ia bangun 10 bulan terakhir, di antaranya dari hasil jualan es sekitar Rp 100.000 per hari.
”Sebagian uangnya dari hasil jualan tanah orangtua,” ucapnya.
Anda menjual lahan keluarganya seluas 60 meter persegi di Sitopeng, Argasunya, untuk membeli lahan sekitar 100 meter persegi di Surapandan, tempat tinggalnya kini. Di bagian belakang dan samping rumahnya masih berupa semak-semak dan kebun. Tak ketinggalan sampah plastik berserakan.
Hingga kini ia terus banting tulang membikin rumah yang tanpa plafon itu. Ia memperkirakan sudah sekitar Rp 50 juta habis demi mendirikan bangunan itu. Namun, hujan deras dengan cepat meruntuhkan harapannya. Ia kini mengungsi ke kediaman keluarga di Sitopeng.
Lurah Argasunya Mardiansyah turut berempati atas kejadian yang menimpa Anda dan keluarga. Selain memberikan bantuan bahan pokok, pihaknya juga berjanji membantu korban membereskan rumahnya. Rumah ambruk, katanya, juga pernah terjadi tahun lalu di Argasunya.
”Kami berharap para warga hati-hati. Apalagi, bagi warga yang konstruksi rumahnya kurang bagus,” katanya. Sebagian warga memang terbatas membangun rumah sebagus di kota kediaman mereka, berjarak 10 kilometer dari kota, ada yang tidak memakai plester dan plafon.
Kantong kemiskinan
Kelurahan dengan penduduk 24.660 jiwa itu termasuk kantong kemiskinan di Kota Cirebon. Lahan di sana tandus. Argasunya bahkan menjadi tempat pembuangan akhir sampah dari sekitar 340.000 warga kota. Truk sampah hilir mudik. Saat kemarau, warga kesulitan air bersih.
Argasunya juga berakhir menjadi lokasi galian pasir atau C. Selain menyebabkan 48,3 hektar lahan kritis, penambangan sejak 1980-an itu juga pernah menelan korban jiwa. Akhir 2021, misalnya, Rohim (50), warga setempat, tewas tertimbun pasir bersama sebuah truk di galian C ilegal.
Baca juga: Rumah ”Compact” yang Semakin Berkembang
Menariknya, Argasunya seluas 6,7 kilometer persegi, seperenam luas kota, diserbu perumahan. Ketersediaan lahan di sana masih lapang.
”Mungkin ada 40 perumahan di sini. Di Surapandan saja ada tiga perumahan. Semua berizin,” kata Mardiansyah yang belum setahun menjabat.
Sejumlah perumahan itu punya gerbang dan tembok di sekelilingnya. Pelanggan bisa mendapatkan kunci rumah bersubsidi dengan biaya Rp 5 juta. Ada juga rumah komersial dengan harga setengah miliar rupiah per unit. Bangunannya jauh lebih bagus dari rumah Suwanda.
Tidak layak huni
Kesulitan meraih rumah impian juga dialami Dadang (33), warga Kriyan Barat, Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk. Rumahnya hanya seluas 3 meter x 8 meter. Di ruangan tengahnya tanpa plafon. Kedua sisi rumahnya terimpit tembok tetangga, tak ada jendela.
Kondisi kian suram saat atap rumahnya ambruk, Rabu pagi. Dadang menduga hujan sehari sebelumnya pemicunya. Apalagi, beberapa bagian rumah sudah lapuk. Ruang tamunya yang jadi tempat jualan perkakas terkena dampaknya. ”Tidak ada korban jiwa. Kakak yang di rumah aman,” ucapnya.
Selain kediamannya, dua rumah di sampingnya juga mengalami kerusakan di bagian atap. Sambil mengernyit, Dadang bersama warga coba menurunkan genteng yang masih tersisa di atas. Yang tersenyum siang itu hanya foto politisi dalam stiker yang menempel di jendela rumahnya.
”Sekitar belasan tahun saya tinggal di sini, baru kayak gini (atapnya ambruk). Memang rumah ini sudah mulai rusak. Harapannya, kira-kira ada yang bisa bantu,” ucapnya. Ambruknya atap tempat tinggal Dadang bakal menambah jumlah rumah yang tidak layak huni atau rutilahu di Cirebon.
Sejumlah indikator rutilahu adalah bagian dinding dan atap yang lapuk, lantainya tanah atau semen, minim pencahayaan, akses terhadap air bersih terbatas, konnstruksi tidak memadai, dan sanitasi buruk. Kondisi ini dapat mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat kota.
Baca juga: Pembangunan Rumah Warga Miskin dari Dana Zakat di Aceh Diduga Dikorupsi
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Kota Cirebon mencatat, hingga pertengahan 2022, jumlah rutilahu di Cirebon mencapai 5.181 unit atau bertambah dibandingkan dengan tahun lalu, yakni 3.862 rumah. Adapun rumah layak huni pada semester pertama 76.207 unit.
”Memang tidak mudah menyelesaikan ini karena seiring waktu kondisi (rumah) berubah. Aspek ekonomi juga memengaruhi masyarakat. Apalagi, ada pandemi Covid-19,” ujar Kepala DPRKP Kota Cirebon Wandi Sofyan. Selain bencana, usia bangunan juga dapat merusak rumah.
Pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, lanjutnya, juga menghambat pemkot membenahi rutilahu. Pihaknya pun berkolaborasi dengan pemerintah provinsi, pusat, dan swasta, awal Oktober lalu, misalnya, pemkot bekerja sama dengan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).
Badan usaha milik negara di bidang pembiayaan perumahan itu menyalurkan bantuan Rp 1,5 miliar untuk perbaikan 27 rutilahu di Kelurahan Panjunan. Pemprov Jabar juga membenahi 170 rutilahu di Cirebon tahun ini. ”Tahun depan kami upayakan ada anggaran dari pemkot,” ucapnya.
Wandi masih menghitung kebutuhan rumah di kota yang jadi pusat perekonomian di Jabar bagian timur itu. Namun, pengembang membangun ratusan rumah setiap tahun. Bahkan, saat pandemi tahun 2020 dan 2021 terdapat lebih dari 1.000 izin mendirikan tempat tinggal.
Berkaca dari peristiwa Suwanda, rumah ambruk lebih dari sekadar cuaca buruk. Ada masalah kemiskinan dan kesenjangan akses rumah ideal yang rawan memicu masalah. Bila tidak dirampungkan, ironi warga yang kesulitan memiliki rumah di tengah perang harga perumahan mewah bakal terus terjadi.
Baca juga: Tantangan Berat Pengentasan Kemiskinan Dunia