Kisah Mantan Mahasiswa Yogyakarta Membuat Warung Burjo ”Naik Kelas”
Berawal dari hobi nongkrong, beberapa mantan mahasiswa perantau di Yogyakarta merintis usaha warung burjo. Mereka juga berupaya menaikkan kelas warung burjo menjadi mirip dengan kafe agar pengunjung makin betah.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Gerombolan anak muda silih berganti memasuki Warung Burjo Andeska di kawasan Mrican, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (23/10/2022) malam. Suasananya begitu ramai. Ada pengunjung yang sibuk menyantap makanan, ada pula yang asyik mengobrol. Kebisingan obrolan diiringi alunan musik lagu-lagu terkini, baik dari musisi dalam maupun luar negeri.
Tak seperti warung burjo yang umumnya berukuran kecil dan berwujud bangunan semipermanen, Warung Burjo Andeska lebih mirip kafe. Terdapat kursi-kursi panjang yang nyaman untuk duduk bersama-sama. Tembok warung itu juga dihiasi mural kekinian bertuliskan ”Burjo Andeska” dan ”Save Burjo”.
Tampak pula panggung bertingkat pendek yang biasa digunakan untuk pertunjukan musik. Namun, malam itu tak ada musisi yang tampil di sana. Meski begitu, iringan lagu yang keluar dari pengeras suara rasanya sudah cukup menambah meriah atmosfer warung tersebut.
Pemilik Warung Burjo Andeska adalah Doni Matipa Rinti (42). Pria yang berasal dari Balikpapan, Kalimantan Timur, itu sudah bertahun-tahun tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Beberapa tahun lalu, Doni juga menempuh kuliah di DIY.
Semasa kuliah, Doni merupakan penggemar fanatik warung burjo. Waktu itu, hampir setiap hari dia makan atau sekadar nongkrong di warung-warung tersebut. Kebiasaan itulah yang membuatnya mengenal dekat seorang penjaga warung burjo asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
”Suatu saat, akang penjaga warung burjo dekat kos cerita kalau dia ingin punya warung sendiri. Dia mau ajak saya kerja sama. Dia sudah kerja bertahun-tahun, tetapi penghasilannya begitu-begitu saja. Awalnya, saya anggap sambil lalu saja karena waktu itu juga belum punya banyak uang,” tutur Doni yang dulu kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Namun, pada 2003, Doni akhirnya mencoba merintis bisnis warung burjo. Dengan modal Rp 1,5 juta, dia mengambil alih warung burjo milik kenalannya yang hampir bangkrut. Warung burjo milik Doni itu dijaga oleh orang dari Kuningan yang dikenalnya dari jejaring pertemanan dengan penjaga warung burjo dekat indekosnya.
Dalam kurun setahun, bisnis warung burjo yang dirintis Doni ternyata berkembang. Bahkan, pada 2004, dia sudah bisa membuka 10 warung burjo. Warung-warung itu dikelola melalui kerja sama dengan orang-orang yang berasal dari Kuningan yang merupakan ”daerah asal” warung burjo.
Doni berperan menyediakan modal, sementara beberapa orang dari Kuningan itu bertanggung jawab sebagai pengelola. ”Ternyata bisa berjalan baik meski modal awal dulu tidak seberapa,” kata Doni.
Pada masa-masa awal, Doni tak terlalu memikirkan masalah nama untuk warung burjonya. Bahkan, sejumlah warung burjo yang dibukanya punya nama berbeda-beda. Namun, suatu waktu, salah seorang penjaga warung burjo senior memberi usul agar warung-warung itu diberi nama yang mewakili identitas asal mereka.
Lalu, dipilihlah nama ”Andeska” yang kepanjangannya adalah Anak Desa Kapandayan. Kapandayan adalah nama sebuah desa di Kuningan yang merupakan tempat asal para penjaga burjo yang dikelola Doni.
”Ciri khasnya burjo itu adalah orang-orang Kuningan. Keduanya sangat identik. Jadi, kami berusaha mempertahankan itu. Selain itu, memang orang-orang Kuningan ini kuat tahan kerja lama sampai 12 jam,” kata Doni.
Ubah konsep
Jumlah warung burjo yang dimiliki Doni sempat mencapai 18 unit. Namun, beberapa warung terpaksa tutup karena terdampak pandemi Covid-19. Saat ini, ada 15 warung burjo yang masih bertahan.
Doni juga memutuskan mengubah konsep warung burjo yang dikelolanya sehingga menyerupai kafe. Bangunan warung itu juga diperluas hingga mampu menampung 60-100 orang bersamaan. Padahal, sebelumnya, warung-warung itu hanya mampu memuat 15-20 orang dalam sekali waktu.
Meski begitu, harga makanan di Warung Burjo Andeska tetap ramah di kantong. Harga menu makanan di warung makanan itu berkisar Rp 7.000 hingga Rp 14.000 per porsi. Makanan paling murah adalah mi goreng tanpa telur, sedangkan yang termahal adalah nasi ayam goreng.
”Pertimbangan memperbesar luas warung ini karena kami melihat burjo bukan sekadar tempat makan, tetapi juga tempat nongkrong. Selain itu, kami juga memikirkan peningkatan omzet. Tidak mungkin omzet naik jika masih bertahan dengan tempat-tempat kecil,” tutur Doni.
Warung burjo dengan konsep modern juga diusung oleh Warung Burjo Borneo. Pemilik warung burjo ini adalah Ridho Al Rahman (40) yang juga merupakan mantan mahasiswa perantau di DIY.
Ridho mengaku sebagai pionir yang membuat warung burjo dengan konsep lebih modern. Konsep modern itu ditandai dengan adanya hiburan dan fasilitas yang biasa diberikan oleh kafe, seperti live music dan Wi-Fi gratis. Warung Burjo Borneo juga kadang menyelenggarakan acara nonton bareng pertandingan sepak bola internasional.
”Sempat ada penentangan dari sejumlah kalangan, tetapi saya tetap pada pendirian. Kita harus mengikuti kemauan pelanggan untuk memberikan suasana yang cozy tanpa menghapus value burjo sebagai warung yang murah,” kata Ridho yang sempat mengenyam pendidikan di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta.
Menurut Ridho, bisnis warung burjo yang dikelolanya berjalan cukup baik meski ada beberapa cabang yang terpaksa ditutup. Pada akhir tahun ini, Warung Burjo Borneo ditargetkan memiliki 13 cabang.
Ridho menambahkan, warung burjo miliknya itu sengaja diberi nama ”Borneo” karena dirinya berasal dari Balikpapan. Untuk menambah keunikan, Warung Burjo Borneo juga menyajikan beberapa hidangan khas Kalimantan.
”Ada perpaduan antara Borneo dan Sunda. Kami sajikan juga makanan-makanan khas Kalimantan, seperti pisang gapit, soto banjar, dan nasi kuning. Namun, menu tersebut hanya dijual di warung-warung yang lama,” ujar Ridho.
Berbeda dengan banyak warung burjo lain, Warung Burjo Borneo tidak secara khusus mempekerjakan orang-orang yang berasal dari Kuningan. Seluruh calon pekerja harus mengikuti proses perekrutan resmi. Selain itu, para pekerja di warung burjo tersebut juga mesti mengikuti pelatihan rutin untuk menjaga kualitas masakan dan pelayanan.
Sempat ada penentangan dari sejumlah kalangan, tetapi saya tetap pada pendirian.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, R Derajad Sulistyo Widhyharto, mengatakan, konsep warung burjo kekinian itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang para pemiliknya yang berasal dari kelas menengah. Hal ini berbeda dengan warung burjo milik orang-orang Kuningan yang merantau agar bisa lepas dari jerat kemiskinan.
”Warung-warung burjo kekinian itu berusaha menaikkan kelasnya. Ini tidak bisa dilepaskan dari selera para pengelolanya yang merupakan mantan mahasiswa dan tergolong sebagai kelas menengah,” kata Derajad.