Proses Penarikan Obat Berbahaya di Palembang Butuh Waktu Dua Minggu
Pemkot Palembang mendesak agar lima jenis obat sirop yang memiliki kandungan pencemar etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi ambang batas segera ditarik dari peredaran. Kasus gagal ginjal sudah mengkhawatirkan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS-Proses penarikan kembali lima obat sirop yang memiliki kandungan pencemar etilen glikol dan dietilen glikol melebihi ambang batas di Palembang membutuhkan waktu paling lambat dua minggu. Tidak hanya menjadi tanggung jawab distributor, proses ini juga membutuhkan perhatian pemerintah daerah.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Sumatera Selatan Saryono mengatakan, sudah berkoordinasi dengan perusahaan besar farmasi, distributor dan sub distributor untuk menarik lima produk yang dianggap tidak aman karena mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Proses penarikan obat bisa dilakukan paling lambat dua minggu. Alasannya, banyak distributor yang wilayah operasinya jauh, bahkan sampai ke luar kota.
"Namun, kami akan berupaya untuk menarik produk obat yang dianggap berbahaya secepat mungkin," ucap Saryono di Palembang, Senin (24/10/2022).
Akan tetapi, proses penarikan itu hanya bisa dilakukan pada perusahaan yang sudah bermitra dengan distributor atau sub distributor yakni dari apotek, klinik, dan rumah sakit. Bagi bidan desa dan obat yang dijual secara bebas tidak bisa dilakukan penarikan barang begitu saja.
"Di sini dibutuhkan peran pemerintah dan pihak terkait untuk menarik barang tersebut," ucapnya.
Sejauh ini, tujuh kasus gagal ginjal akut terdeteksi di Sumsel. Dua di antaranya bahkan berujung meninggal. Satu dari Sumsel dan seorang lagi dari Jambi.
Terkait ini, Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda mendesak obat sirop mengandung EG dan DEG segera ditarik dari peredaran. Dia meminta tenaga kesehatan, polisi, pengelola apotek, dan bidan mengedukasi warga terkait hal ini.
Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang Zulkifli mengutarakan, meski sejauh ini hanya lima yang diminta ditarik dari peredaran, secara keseluruhan obat sirop untuk sementara tidak diperjualbelikan.
Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pabrikan dan distributor serta subdistributor hingga apotek, klinik, dan rumah sakit untuk menerapkan aturan tersebut.
Ketua Ikatan Apoteker Kota Palembang Erjon telah menginstruksikan seluruh apoteker untuk sementara waktu tidak memberikan resep obat sirop. Dia meminta resep diganti dengan obat puyer.
Hal ini dilakukan untuk menjalani aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan BPOM. Namun, dia berharap agar proses penarikan atau pengawasan tidak merugikan pelaku usaha apoteker.
Erjon menilai aparat penegak hukum terlalu berlebihan mengawasi apotek. Dia menyebut ada pelaku usaha trauma karena apoteknya disegel setelah dianggap tetap memajang obat sirop. Padahal, proses penarikan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan besar farmasi dan distributor
”Kondisi ini memperparah kondisi pelaku usaha apotek yang saat ini mengalami penurunan omzet hingga 50 persen. Itu karena obat sirop merupakan yang paling sering dibeli dan dikenal masyarakat,” ucapnya.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Sumsel Julius Anzar menyebut sejumlah gejala yang ditemui pada anak yang mengalami gagal ginjal akut, yakni volume urine yang menurun. Bahkan dalam 12 jam tidak mengeluarkan urine.
”Gejala itu patut dicurigai,” ucapnya.
Jika melihat dari dua anak yang meninggal, ujar Julius, gagal ginjal akut tersebut dimulai dengan gejala batuk, pilek, dan panas. Kemudian penderita minum obat dan dalam waktu lama berselang meninggal.
”Biasanya gagal ginjal akut seperti ini sulit terdeteksi karena penderita tidak menunjukkan gejala apa-apa pada awalnya,” ungkap Julius.
Kini dia meminta setiap tenaga kesehatan tidak mengeluarkan resep dengan obat batuk sirup untuk sementara waktu sampai proses pemeriksaan tuntas.