Deklarasi Toleransi dalam peringatan Hari Santri Nasional dan 77 Tahun Resolusi Jihad di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, agar mendorong warga bangsa terus memerangi ideologi terorisme.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
JOMBANG, KOMPAS — Ulama, santri, aparat negara, akademisi, dunia usaha, dan media menandatangani Deklarasi Toleransi di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (22/10/2022) malam.
Penandatanganan Deklarasi Toleransi ini untuk memelihara sikap dan semangat berbangsa dan bernegara dalam melawan ideologi terorisme. Penandatanganan juga bertepatan dengan peringatan Hari Santri dan 77 Tahun Resolusi Jihad.
Untuk peringatan itu, Ponpes Tebuireng mengadakan acara Deklarasi Meneguhkan Toleransi bertema ”Santri Bermanfaat untuk Negeri”. Selain Deklarasi Toleransi juga diadakan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara Yayasan Badan Wakaf Pesantren (BWP) Tebuireng dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Di Tebuireng, 77 tahun lalu, KH Hasyim Asyari serta ulama dan santri mempelopori Resolusi Jihad untuk melawan keinginan Belanda menjajah kembali Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Resolusi Jihad mendorong tekad dan semangat mempertahankan kemerdekaan, terutama dalam Pertempuran Surabaya dengan puncaknya pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Deklarasi menyebutkan, ulama, santri, aparat negara, akademisi, dunia usaha, dan media menyatakan keteguhan untuk berpegang kuat pada nilai-nilai persatuan dan keutuhan berbangsa, bernegara, dan roh toleransi bagi Indonesia. ”Kami mengundang warga bangsa untuk bergabung menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dari ancaman perpecahan dan disintegrasi warga bangsa. Dengan memohon rida dan perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa, kami bersatu menyatukan rasa dan langkah menghadapi tantangan keutuhan dan disintegrasi warga bangsa”.
Dalam sambutannya, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, perkembangan ideologi terorisme ibarat virus dan seperti serangan virus korona galur baru yang mengakibatkan pandemi Covid-19. Dunia melawan pandemi dengan vaksinasi. ”Seperti itu juga BNPT berikhtiar membantu warga bangsa memerangi ideologi terorisme dengan lima vaksin kebangsaan terinspirasi Pancasila,” katanya.
Pertama, transformasi wawasan kebangsaan berbasis empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, revitalisasi nilai-nilai Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan kesatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai pedoman hidup keseharian berbangsa dan bernegara.
Ketiga, transformasi moderasi dalam beragama dengan terus mendorong kemunculan relawan moderasi yang secara kreatif melahirkan berbagai konten atau narasi damai, moderat, dan toleran. Keempat, transformasi akar kebudayaan bangsa dengan terus mendorong masyarakat mencintai, memelihara, bangga, dan menghidupkan ragam budaya sebagai bagian hidup.
Budaya bangsa diharapkan kukuh dan tidak tergusur, apalagi tergantikan oleh budaya luar yang tidak cocok, bahkan memecah keutuhan kehidupan. Kelima, transformasi pembangunan kesejahteraan masyarakat, termasuk korban atau penyintas kejahatan terorisme dan bekas pelaku.
”Kami juga mengedepankan pentahelix (pancapihak) dalam penanggulangan terorisme,” kata Boy. Lima pihak dimaksud ialah pemerintah atau aparat negara, akademisi, komunitas atau masyarakat, dunia usaha, dan media sebagai saluran publikasi.
Boy melanjutkan, Resolusi Jihad masih relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam menghadapi ideologi terorisme. Saat ini, masih ada kelompok-kelompok yang menghasut kalangan warga untuk memusuhi dan menyakiti bangsa sendiri.
Selama menjadi manusia, bertanggung jawab membangun dan memelihara peradaban dalam kemanusiaan.
Terorisme dengan prinsip kekerasan atau kejahatan ekstrem menjadi antitesis terhadap Resolusi Jihad. Terkait itulah peran ulama dan santri tetap penting untuk turut menjaga bangsa dan negara.
Boy melanjutkan, santri bisa menjadi apa saja, termasuk pemimpin negara. Buktinya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang juga cucu KH Hasyim Ashari, pendiri Tebuireng 1899 dan Nahdlatul Ulama 1926, adalah santri. ”Santri tak melupakan hakikatnya menjaga agama sebagai mata air yang melahirkan inspirasi dan menjunjung martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
Ketua Yayasan BWP Tebuireng KH Abdul Halim Mahfudz mengatakan, Resolusi Jihad perlu terus disadari untuk menjaga dan menumbuhkan sikap moderat demi keutuhan bangsa dan negara. Resolusi Jihad lahir ketika itu untuk menjaga keutuhan Indonesia sehingga melampaui suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
”Saat ini agar memberi perhatian amat serius dengan makin merebaknya radikalisme dan intoleransi,” kata Abdul Halim. Menjaga keutuhan bangsa dan negara tidak lain untuk Indonesia dan generasi mendatang.
Pengasuh Ponpes Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin mengatakan, dengan persatuan dan kesatuan, bisa mendapatkan kekuatan dan hasil luar biasa. Lihatlah kemerdekaan Indonesia yang dilandasi persatuan dan kesatuan.
Dalam konteks itulah, kehidupan berbangsa dan bernegara jangan melupakan aspek persatuan dan kesatuan. Pesantren, lanjut Gus Kikin, perlu terus merawat ikhtiar membangun peradaban, merawat jagat atau dunia (alam), untuk keluhuran umat manusia. ”Selama menjadi manusia, bertanggung jawab membangun dan memelihara peradaban dalam kemanusiaan,” katanya.