Kreativitas Muda Mudi Manado Bersemi di Rumah Kopi
Di tengah kurangnya ruang publik yang memadai, kafe menjadi ruang berkembangnya kreativitas anak muda di Manado. Di rumah-rumah kopilah bibit-bibit industri kreatif ibu kota Sulawesi Utara ditebar dan tumbuh.
Gedung pertokoan tiga lantai di bilangan Pinaesaan, Wenang, Manado, itu sudah lima tahun telantar ketika Ronald Kurniawan (41) dan beberapa saudaranya berkumpul di sana pada 2019. Lantai dasarnya kacau balau setelah diterjang banjir bandang 2014, yang melanda ibu kota Sulawesi Utara itu, dan atapnya bocor di mana-mana.
Pohon beringin bahkan bertumbuh di dalam hingga merangsek ke ruko tetangga. Kondisi itu sama sekali tak mencerminkan nama Studio Wenang yang menjadi identitas gedung itu selama setengah abad lamanya.
“Dulu ini studio foto dan tempat tukang gigi. Buyut dan akong (kakek) yang buka tahun 1950-an, pertama dengan nama Kiau Eek. Tapi tahun 1960-an, ada peraturan yang melarang penggunaan nama Tionghoa untuk usaha, sehingga ganti nama jadi Studio Wenang,” kata Ronchy, panggilan akrab Ronald, Kamis (13/10/2022).
Ketika mereka membersihkan dan menata ulang tempat itu, Ronchy pikir, sayang jika bangunan tidak dipakai, hawanya tidak bagus. Terlintaslah ide untuk membuat rumah kopi. “Kami ingin bangun rumah kopi yang sesederhana mungkin, yang bisa didatangi siapa saja untuk sekadar bercerita. Kami enggak mau disebut kafe, karena terkesan untuk kelas menengah atas,” kata dia.
Maka, lahirlah Kedai Sedjak 2019, mula-mula di lantai dasar saja. Ronchy mendesain ruangan itu sehingga suasananya seperti kios tempo dulu yang sarat romansa dan nostalgia, dilengkapi perabotan kayu dan diterangi lampu neon kuning.
Barang-barang antik peninggalan akongnya dipajang sebagai dekorasi, misalnya kamera lawas Nikon FM2 dan Seagull, radio Sanyo 4 Band M-S350K, perekam video Sankyo Dualux, dan jam dinding Junghans. Foto-foto monokrom dari masa kejayaan Studio Wenang juga dipajang pada dinding plaster berdampingan dengan beberapa lukisan akong.
Kudapan khas kedai itu, roti gandum beroleskan aneka selai, meises, dan nougat, disajikan di atas piring seng bergambar bunga. Adapun es kopi andalannya dihidangkan dengan gelas loreng hijau dari aluminium. Semua dapat dinikmati sedini pukul 06.00 Wita setiap hari.
“Awal-awal buka sempat sepi. Saya kira salah strategi karena jualan kami enggak seperti kafe lain. Tetapi lama kelamaan, ternyata justru melebihi ekspektasi. Sehari ratusan orang yang datang, paling banyak anak-anak (muda) komunitas seni,” ujar dia.
Seiring waktu, Ronchy membangun kedekatan dengan banyak pemuda kreatif yang singgah hampir setiap pagi, baik penyair, pelukis, musisi, maupun yang hobi mengadakan pentas dan festival. Kedai itu pun menjelma dari sekadar tempat makan dan ngopi menjadi ruang ekspresi artistik muda-mudi Manado.
September 2021, misalnya, komunitas Kawanua Creative mementaskan puisi dan musik di sana dengan tajuk Senandoeng Mentari, disusul pentas kecil puisi dan komedi tunggal bertema Pengabdi Sedjak pada Juni 2022. Terakhir, Ronchy dan beberapa pemuda merayakan 77 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengenakan rupa-rupa wastra Nusantara dalam ajang Berkain bersama Kedai.
Baca juga: Urban Coffee Festival di Manado
“Saya mau tempat ini jadi ruang anak-anak muda berekspresi, karena itu sangat kurang di Manado. Mau nyanyi-nyanyi, baca puisi, menggambar, silakan. Anak-anak fashion juga, saya mau mereka enggak sungkan untuk tampil dengan gaya mereka di sini, misalnya dengan berkain,” kata Ronchy.
Kedai Sedjak 2019 semakin digandrungi anak muda setelah lantai 2 dan 3 dioperasionalkan pada Juni 2022. Balkon lantai 2 kerap digunakan para pelukis muda menyelesaikan proyeknya, sementara ide-ide kreatif muncul dan dipertukarkan sembari mereka menikmati roti, kopi, dan suasana kedai itu.
Pengganti ruang publik
Sekitar 4 kilometer di arah selatan, tepatnya di daerah Sario, pasangan arsitek Ronald Budiman (34) dan Christine Imelda Messakh (28) memiliki misi serupa dengan Ronchy. Mereka ingin M Coffee, kafe yang mereka rintis sejak 2019, tak sekadar jadi tempat ngopi dan makan, tetapi juga pusat tumbuhnya industri kreatif Manado yang dimotori pemuda.
Secara fisik, M Coffee sangat kontras dari Kedai Sedjak 2019. Gaya arsitektur dan interiornya industrial minimalis. Alih-alih memenuhi ruangan dengan beragam ornamen unik, interiornya cenderung “bersih” karena didominasi tembok putih. Dua lukisan abstrak karya perupa muda Manado dipajang di sana, salah satunya bertuliskan “Make Art, Not Bullshit,” yang berarti “Ciptakan Seni, Bukan Omong Kosong.”
Kafe itu juga memiliki ruang di luar gedung (outdoor)yang diteduhi kanopi dan pohon, serta dilingkupi beragam jenis tanaman. M Coffee pun menjadi salah satu tempat favorit anak-anak muda untuk nongkrong dan bekerja.
Lebih dari itu, M Coffee menjadi titik temu beragam komunitas untuk memanggungkan seni. Sekali sebulan, komunitas bioskop mikro Bakumpul Bauni untuk menggelar pemutaran dan diskusi film di sana. Pada Juni 2022, Kawanua Creative bahkan memilih atap (rooftop) kafe itu sebagai venue konser artis hiphop asal Papua Barat, Gunz.
Tak ayal, M Coffee telah menjadi ruang alternatif pilihan anak-anak Manado untuk berkesenian. “Pemerintah memang menyediakan fasilitas publik, tetapi sering kali pengelolaannya kurang memadai, sehingga anak-anak (muda) kurang nyaman beraktivitas di situ,” kata dia.
November 2021, misalnya para penghobi skateboard (papan luncur) Manado memprotes penerangan yang sangat minimal di Taman Berkat. Di tempat yang sama setahun sebelumnya, komunitas Malam Puisi Manado merasa tak nyaman dengan kehadiran intelijen aparat keamanan ketika mereka bersajak untuk menyuarakan mosi tidak percaya kepada pemerintah setelah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Karena itu, kata Ronald, peran kafe semakin penting dalam mendukung pertumbuhan industri kreatif di Manado sekaligus menghargai para pegiatnya. “Apalagi, kita semua ini kan berteman, jadi harus saling bantu. Makanya kami mau jadi venue untuk acara-acara mereka,” kata dia.
Ia menambahkan, M Coffee selalu terbuka untuk berbagai kegiatan anak muda. Kalau pun tidak ada acara, ia yakin suasana kafenya dapat menstimulasi ide-ide segar para pemuda yang kemudian dapat diekspresikan lewat seni, tentunya dengan ditemani beragam minuman berbasis espresso yang dapat dinikmati di sana.
Gaya hidup
Hari ini, ada puluhan rumah kopi tersebar di Kota Manado. Kafe-kafe tersebut selalu ramai hingga jelang tengah malam. Beberapa pemuda anggota komunitas kreatif di Manado mengatakan, kafe sudah menjadi gaya hidup anak-anak muda lokal,
Namun, bukan berarti mereka hanya buang-buang uang sebagaimana stigma yang dilekatkan oleh generasi terdahulu pada mereka. Netty Rahajaan, pendiri Malam Puisi Manado, mengatakan, inspirasi dan ide-ide brilian untuk pementasan puisi justru lebih sering muncul saat ia bersua kawan-kawannya di kafe.
Baca juga: Jam Malam yang Mencekik Rumah Kopi di Manado
Di kafe pula jejaring pertemanan baru mudah terbentuk. Karena itulah, Malam Puisi Manado berpindah dari kafe ke kafe untuk menggelar acara mereka. Antara 2020-2022, komunitas itu telah singgah di lebih dari 12 kafe.
“Dengan begitu, kami bisa memperkenalkan puisi sekaligus kasih hiburan kepada pengunjung kafe. Kami juga sedikit banyak membantu teman-teman pemilik dan barista yang kekurangan pelanggan saat pandemi,” ujar Netty.
Hendro Septian Lende (32) alias Endru, komedian tunggal anggota Standup Indo Manado, menyebut kafe sebagai ruang publik dan ruang berkesenian alternatif. Sebab, Manado tak punya ruang teater serba guna dengan fasilitas pendukung seperti pelantang (speaker)yang bebas digunakan kapan saja untuk latihan maupun pentas.
“Kafe justru menyediakan itu semua, bahkan ada penontonnya (pengunjung kafe). Wajar kalau kafe sekarang jadi bagian hidup anak-anak muda kreatif di Manado, karena ruang publik yang bisa dipakai untuk ekspresi seni anak muda memang sangat kurang,” kata dia.