Edamame, Titian Baru Jalan Sejahtera Petani Jember
Ceruk pasar luar negeri yang terbuka lebar menjadikan komoditas hortikultura ini andalan diversifikasi ekspor pendulang devisa. Bagi petani, kedelai hijau ini jadi titian baru menuju jalan kesejahteraan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Budidaya edamame berkembang pesat di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dua dekade belakangan. Ceruk pasar luar negeri yang terbuka lebar menjadikan komoditas hortikultura ini andalan diversifikasi ekspor pendulang devisa. Bagi petani, kedelai hijau ini jadi titian baru menuju jalan kesejahteraan.
Mualim (41) mencabut sebatang pohon edamame yang tumbuh subur di tengah hamparan sawah di Desa Ajung, Kecamatan Ajung, Sabtu (15/10/2022). Dia memamerkan polong buah yang berwarna hijau segar. Kulit polong tampak mulus tanpa bercak hitam. Hal itu menandakan kualitas buah bagus.
Apabila Mualim berhasil mempertahankan kualitas buah tersebut hingga masa panen dan mencapai produktivitas 9-10 ton per hektar, dia bisa meraup untung besar. Setidaknya, bapak dengan tiga anak ini akan menerima keuntungan minimal Rp 8 juta per ha. Dengan mengelola lahan seluas 3,9 ha, pendapatan bersih yang diperoleh bisa mencapai Rp 24 juta hingga Rp 36 juta sekali panen.
Tanaman edamame dipanen dalam waktu 60-70 hari dan petani bisa memanen tiga kali dalam setahun. Jika dirata-rata, penghasilan bersih Mualim bisa Rp 6 juta setiap bulan. Nilai penghasilan itu jauh mengalahkan upah minimum Kabupaten Jember tahun ini, Rp 2,3 juta per bulan per pekerja.
Dengan penghasilan yang lumayan besar, Mualim mengaku tidak lagi khawatir terkait biaya pendidikan bagi ketiga anaknya. Dia bahkan optimistis mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Situasi tersebut jauh berbeda saat dia masih menjadi buruh tani dengan upah pas-pasan.
”Sekarang tidak khawatir lagi soal biaya pendidikan anak-anak karena hasil budidaya edamame bisa diandalkan,” ujar Mualim.
Mualim adalah salah satu petani yang menjadi mitra binaan PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT). Salah satu anak perusahaan PT Austindo Nusantara Jaya ini bergerak di bidang sayuran beku dengan produk unggulan edamame yang dipasarkan di luar negeri dan dalam negeri.
Direktur Estate PT GMIT Margo Waluyo mengatakan, pihaknya menyeleksi ketat para petani yang menjadi mitra binaan. Salah satu kriterianya mau bekerja keras atau berkomitmen tinggi, mampu menyediakan lahan, dan memiliki akses yang baik terhadap pekerja atau buruh tani di lingkungannya.
Petani binaan tidak harus memiliki lahan karena mereka akan mendapatkan fasilitas modal usaha budidaya, termasuk biaya sewa lahan. Mereka juga menerima benih, pupuk, serta obat-obatan untuk menangani organisme pengganggu tanaman (OPT). Petani mendapat pendampingan secara intens selama proses budidaya.
”Pendampingan ini diperlukan agar edamame yang dihasilkan bisa memenuhi standar mutu dan keamanan pangan yang disyaratkan oleh negara-negara tujuan ekspor. Hal itu karena mayoritas produknya untuk pasar luar negeri,” kata Margo.
Dalam upaya pemenuhan standar mutu dan keamanan pangan, banyak terobosan ramah lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan dari sisi on farm. Salah satunya, menggunakan jerami padi sebagai mulsa tanam pengganti plastik. Selain itu, pemanfaatan agensia hayati untuk mengatasi serangan OPT.
Margo menambahkan, pengamatan tanaman dan kondisi sawah di sekitarnya dilakukan secara rutin untuk mengetahui residu kimia yang berpotensi mengontaminasi tanaman edamame. Standar mutu dan keamanan pangan yang tinggi tidak menoleransi adanya residu kimia pada bahan makanan.
Ramah lingkungan
Pola budidaya edamame yang berkonsep ramah lingkungan diharapkan bisa membantu memperbaiki lahan pertanian di Jember yang sebelumnya terkontaminasi oleh bahan kimia pupuk maupun pestisida. Selain itu, komoditas edamame memberikan pilihan alternatif bagi petani dalam mengembangkan usaha taninya di luar komoditas tradisional, seperti padi, jagung, kedelai, dan tembakau.
”Pola kemitraan yang ditawarkan oleh perusahaan juga sangat menguntungkan petani. Mereka mendapatkan insentif Rp 800 per kg. Dengan asumsi produktivitas hasil panen 9 ton per ha, petani menerima Rp 7,2 juta atau lebih dari Rp 21 juta setahun,” ucap Margo.
Direktur Utama PT Gading Mas Indonesia Teguh (GMIT) Imam Wahyudi mengatakan, perusahaan memerlukan lahan seluas 700-800 ha untuk memenuhi target produksi edamame 2.500-3.000 ton per tahun. Target produksi itu sejatinya masih jauh dari kapasitas terpasang pabrik yang mencapai 6.000-7.000 ton per tahun sehingga memerlukan lahan tanam seluas 1.500-2.000 ha.
”PT GMIT merupakan salah satu perusahaan yang telah lama memberdayakan petani di Jember melalui program kemitraan budidaya edamame. Proses produksi perusahaan ini menyerap 539 karyawan dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 5.000 karyawan di seluruh rantai pasok, termasuk petani,” papar Imam.
Dengan asumsi setiap petani mengelola 3-4 ha lahan edamame, perusahaan memerlukan lebih dari 200 petani sebagai mitra kerjanya. Jika kapasitas produksi terpasang mencapai maksimal, jumlah petani yang terlibat lebih dari 500 orang. Setiap petani memerlukan dukungan sekitar 100 buruh tani selama proses budidaya, mulai dari menanam hingga memanen atau pemetikan kedelai.
Bupati Jember Hendy Siswanto mengatakan, edamame memperkaya komoditas primadona di wilayahnya, bahkan di Indonesia. Namun, produksi edamame saat ini masih jauh dari kebutuhan pasar. Total produksi edamame di Jember diperkirakan baru sekitar 6.000 ton per tahun, padahal kebutuhan di pasar Jepang saja mencapai 75.000 ton per tahun.
”Masih ada peluang ekspor yang sangat besar. Oleh karena itulah, produksinya perlu ditingkatkan lagi. Pemkab Jember membuka ruang kerja sama selebar-lebarnya kepada perusahaan yang bergerak di bidang budidaya edamame dan siap membantu hal-hal yang diperlukan, seperti penyediaan lahan,” kata Hendy.
Dia menambahkan, untuk menggarap pasar ekspor edamame, diperlukan penguatan sinergi antar-pihak, terutama pemda dengan perusahaan swasta. Banyak manfaat yang diterima oleh daerah seiring berkembangnya usaha budidaya edamame, antara lain, penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan peningkatan kesejahteraan petani.
Selain itu, penguatan branding atau pencitraan Jember sebagai daerah produsen edamame terbesar di Indonesia. Edamame juga menjadi diversifikasi komoditas ekspor sehingga menambah penerimaan devisa negara. Hadirnya pabrikan edamame juga berpotensi meningkatkan penerimaan pajak daerah.
Komoditas pertanian berorientasi ekspor telah membuktikan resiliensinya menghadapi pandemi Covid-19. Kini, komoditas seperti edamame kembali diuji menghadapi dampak krisis global. Dibutuhkan sinergi lebih kuat lagi dari berbagai lini agar edamame tetap menjadi alternatif andalan ekspor yang menyangga ekonomi petani.