Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Batalkan Persetujuan Otopsi
Dicabutnya persetujuan otopsi membuat proses pengusutan kasus Tragedi Kanjuruhan terancam tak tuntas. Otopsi dinilai penting untuk menambah fakta dan bukti penyebab kematian.
Oleh
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mencabut persetujuan otopsi yang sempat mereka sepakati sebelumnya. Pencabutan persetujuan ini membuat proses penuntasan kasus tragedi terganjal.
Sekretaris Jenderal Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Andy Irfan mengatakan, DA sebelumnya menyepakati otopsi jenazah anaknya, N, yang menjadi korban dalam tragedi Kanjuruhan. Namun, setelah ia menyatakan bersedia, banyak petugas dari satu institusi penegak hukum yang terus mendatangi rumah DA.
Mereka yang datang berasal dari kabupaten hingga tingkat pusat. ”Akhirnya DA membuat surat pencabutan izin. Surat itu diketahui oleh petugas Kelurahan setempat,” kata Andy yang juga tim pendamping hukum Keluarga Aremania, Selasa (18/10/2022).
Pencabutan surat persetujuan otopsi itu diduga dilakukan karena adanya tekanan. Kehadiran petugas setiap hari dan bergantian membuat DA tertekan apalagi saat itu tidak ada lembaga bantuan hukum yang turut mendampingi DA. ”Saat ini keluarga DA sudah kami dampingi, tetapi DA sudah telanjur tak mau jenazah anaknya diotopsi,” kata Andy Irfan.
Dicabutnya persetujuan otopsi tambah Andy membuat proses pengusutan kasus Tragedi Kanjuruhan terancam tak tuntas. Otopsi dinilai penting untuk menambah fakta dan bukti penyebab kematian.
Otopsi, tambah Andy, sempat dijadwalkan Kamis (20/10) mendatang, tetapi sampai saat ini belum ada pemberitahuan resmi apakah otopsi dibatalkan atau tetap diteruskan dengan jenazah lain. Andy juga tak mengetahui siapa yang akan menjadi saksi otopsi. Seharusnya ada perwakilan dari lembaga independen dan keluarga yang mendampingi agar sesuai dengan asas transparansi.
”Saya hanya diberi tahu oleh polisi bahwa akan ada jadwal otopsi, tetapi sampai saat ini belum ada kelanjutannya lagi,” katanya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi ketika dihubungi dari Malang menyayangkan pencabutan persetujuan otopsi itu. Mengenai kemungkinan adanya intimidasi, pihaknya masih memverifikasi ada atau tidaknya tekanan yang mengakibatkan izin otopsi dicabut. ”Jika benar ada tekanan ini sudah dalam taraf menghalang-halangi penyelidikan. Seperti kasus upaya penghapusan rekaman CCTV yang diungkapkan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta,” kata Edwin.
Edwin juga menyarankan agar korban dan keluarga korban meminta pendampingan dari sejumlah lembaga bantuan hukum. LPSK juga telah membuka posko di Kantor KNPI, Jalan Kawi No 24 kota Malang, untuk mengakomodasi kebutuhan pendampingan dari korban.
”Selama dua pekan itu, ada 20 permintaan perlindungan saksi yang kami terima, kami juga masih membukanya bagi para korban dan keluarga korban yang membutuhkan bantuan,” kata Edwin.
Jika benar ada, tekanan ini sudah dalam taraf menghalang-halangi penyelidikan.
Saat ini ada tujuh warga yang dalam perlindungan LPSK terkait Tragedi Kanjuruhan. Dua di antaranya sudah menjadi saksi dan lima orang sisanya kemungkinan segera dimintai kesaksiannya.
LPSK juga menawari beberapa keluarga korban untuk menyetujui otopsi jenazah keluarga mereka yang meninggal. Tawaran itu pun ada yang bersambut. Edwin menambahkan, pihaknya akan memberikan pengawalan bagi mereka jika mereka merasa terancam.