Cuaca Ekstrem Berpotensi Landa Aceh hingga 25 Oktober, Perkuat Mitigasi
Setiap anggota keluarga harus tahu apa yang dilakukan jika terjadi bencana alam.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Cuaca ekstrem berpotensi melanda sebagian besar wilayah di Provinsi Aceh hingga 25 Oktober 2022. Para pihak diimbau untuk memperkuat mitigasi agar risiko bencana dapat ditekan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas Selasa (18/10/2022) mengatakan cuaca buruk yang berpotensi melanda adalah hujan lebat, angin kencang, petir, banjir, dan longsor. Terkait hal itu, BPBA telah menyebarkan informasi mitigasi bencana kepada publik melalui jaringan media sosial, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hingga ke perangkat desa.
Ilyas mengingatkan warga Aceh untuk lebih siap menghadapi kemungkinan terjadi bencana yang dipicu aktivitas cuaca itu. Dia juga mengingat warga yang tinggal kawasan rawan banjir untuk memiliki rencana mitigasi, seperti menyimpan barang pada tempat yang aman dan mengikuti arahan petugas saat harus mengungsi.
Koordinator Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Iskandar Muda Aceh Besar, Zakaria Ahmad, mengatakan hingga 24 Oktober 2022 terdapat 14 kabupaten/kota yang berpotensi dilanda hujan dalam intensitas sedang hingga lebat. ”Waspadai bencana banjir, longsor, dan angin kencang karena hujan dalam durasi lama,” kata Zakaria.
Pada Senin (17/10) kemarin, misalnya, sebagian besar wilayah Aceh dilanda hujan dan angin kencang nyaris terjadi sepanjang hari. Namun, belum ada laporan bencana banjir.
Zakaria mengatakan cuaca ekstrem dipicu belokan angin yang terdapat pada lapisan udara di ketinggian 3.000 kaki di sekitar Aceh. Di sisi lain kondisi suhu muka laut yang menghangat memicu peningkatan suplai uap air sehingga mendorong pembentukan awan konveksi yang membawa hujan.
Kepala BPBD Aceh Jaya Fajri menuturkan, menindaklanjuti imbauan BPBA dan BMKG, pihaknya telah meminta para perangkat desa untuk selalu bersiaga. Selain itu sebanyak 73 personel gerak cepat disiagakan. Tim ini disiapkan untuk melakukan evakuasi jika terjadi bencana alam.
Aceh Jaya termasuk daerah rawan banjir. Terdapat sembilan kecamatan yang kerap dilanda banjir, di antaranya Teunom, Krueng Sabee, Darul Hikmah, Panga, dan Sampoiniet.
Peralatan evakuasi seperti perahu karet, baju pelampung juga disiapkan. ”Tim reaksi cepat kami persiapkan untuk penanggulangan bencana di tahap pertama,” kata Fajri.
Pendangkalan Sungai
Fajri mengatakan banjir di Aceh Jaya terjadi bukan hanya karena faktor cuaca ekstrem, tetapi juga karena kondisi sungai yang sedang tidak sehat. Sungai mengalami pendangkalan karena sedimentasi akibatnya kenaikan debit air tidak mampu ditampung sehingga cepat meluap ke permukiman.
Fajri mengatakan kerusakan hutan di daerah hulu mempercepat limpahan air hujan mengalir ke sungai. Air yang mengalir ke sungai membawa tanah dan bebatuan menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal. ”Kami memiliki beberapa sungai statusnya kewenangan provinsi, kami berharap sungai-sungai ini dapat dipulihkan,” kata Fajri.
Karena banjir bukan hanya karena faktor cuaca, tetapi juga karena ketahanan alam yang kian melemah. (Hasan Dibangka)
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh Hasan Dibangka mengatakan mitigasi bencana harus diperkuat dengan berbagai pendekatan seperti pendidikan kebencanaan, penguatan sosial budaya, kebijakan yang berpihak, dan alokasi anggaran yang memadai.
Belakangan bencana yang paling sering terjadi adalah banjir dan longsor. Dia mengingatkan warga harus memiliki rencana mitigasi sejak dari keluarga. Setiap anggota keluarga harus tahu apa yang dilakukan jika terjadi bencana alam. ”Karena itu perlu pendidikan kebencanaan kepada warga agar mitigasi dapat dilakukan secara mandiri,” kata Hasan.
Hasan mengatakan banjir luapan menjadi bencana paling sering terjadi di Aceh. Pada awal Oktober 2022, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Aceh Timur dilanda banjir. Aceh Utara adalah kawasan paling parah dilanda banjir.
Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mencatat, selama 2018-2020, terjadi 423 kali bencana banjir, longsor, dan bandang di Aceh. Taksiran kerugian akibat bencana tersebut Rp 874,1 miliar.
Hasan mengatakan selain pendidikan kebencanaan, pemerintah harus membangun infrastruktur mitigasi yang memadai seperti menormalisasi sungai, pembangunan tanggul, dan saluran pembuangan air yang layak. ”Gerakan melindungi merawat alam juga perlu digalakkan karena banjir bukan hanya karena faktor cuaca, tetapi juga karena ketahanan alam yang kian melemah,” kata Hasan.
Sebelumnya, Direktur Yayasan Ekosistem Lestari Yakob Ishadami menuturkan, bencana termasuk salah satu pemicu kemiskinan. Warga korban bencana kehilangan harta benda dan kehilangan potensi pendapatan karena lahan pertanian hancur. Warga di kawasan rentan bencana sukar bangkit karena biasanya menjadi korban yang berulang. Petani di Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara, misalnya, nyaris setiap tahun sawah mereka terendam banjir. Saat berbenah untuk bangkit, bencana selanjutnya telah menanti.