Senjata pusaka dari Tanah Borneo bukan lagi alat untuk berperang, melainkan barang koleksi yang memiliki nilai historis. Keberadaannya tetap perlu diketahui, dicintai, dan diwarisi sebagai sebuah seni pusaka.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Seorang penjaga stan memperlihatkan sebilah mandau, senjata etnik Dayak Kalimantan, yang dipajang dalam kegiatan Pameran Temporer di Museum Wasaka, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (14/10/2022). Berbagai senjata pusaka dan rajah (wafak) khas Kalimantan dipamerkan dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022.
Senjata tajam jenis mandau, parang lais, dan parang bungkul merupakan warisan besi pusaka asli Kalimantan. Di masa lalu, senjata tajam itu digunakan untuk berperang ataupun berburu. Kini, senjata pusaka asli Tanah Borneo dijadikan koleksi ataupun pajangan. Keberadaannya tetap perlu diketahui, dicintai, dan diwarisi.
Beragam jenis senjata tajam memenuhi ruang pameran di halaman Museum Wasaka (Waja Sampai Ka Puting), Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Senjata-senjata pusaka itu dipajang dalam kegiatan Pameran Temporer di Museum Wasaka, 12-15 Oktober 2022. Pameran digelar dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022.
Pada Jumat (14/10/2022) pagi, rombongan siswa-siswi berseragam Pramuka memasuki ruang pameran di halaman Museum Wasaka. Setelah mengisi buku tamu, mereka berkeliling untuk mengamati benda-benda pusaka yang dipajang di lemari kaca, etalase kaca, ataupun yang digantung di dinding.
Siswa-siswi kelas XI SMA Korpri Banjarmasin itu memperhatikan dengan serius ketika petugas menjelaskan tentang benda-benda pusaka yang dipajang di sana. Beberapa siswa tak lupa mencatat penjelasan dari petugas dan juga memotret benda-benda pusaka. Sebagian benda pusaka memang sudah diberi keterangan singkat.
”Kami berinisiatif datang ke sini agar siswa-siswi mengetahui keberadaan benda-benda bersejarah yang belum banyak diketahui orang. Kebetulan yang dipamerkan kali ini adalah besi atau wasi pusaka asli Kalimantan,” kata guru sejarah SMA Korpri Banjarmasin, Resti Meliyani.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Rombongan siswa SMA Korpri Banjarmasin berkunjung ke lokasi Pameran Temporer di Museum Wasaka, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (14/10/2022). Berbagai senjata pusaka dan rajah (wafak) khas Kalimantan dipamerkan di sana dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022.
Menurut Resti, ada 14 siswa kelas XI Ilmu Pengetahuan Sosial yang dibawa ke Museum Wasaka untuk belajar mengenai sejarah perjuangan rakyat Kalimantan Selatan, termasuk mengenal berbagai senjata yang digunakan dalam perjuangan itu. ”Kami berharap agar siswa-siswi kami lebih mengenal sejarah, kearifan lokal, dan selalu hidup berbudaya,” ujarnya.
Faisal Embron selaku Pengurus Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Wasi Pusaka Banua (Wasaka) Kalsel Bidang Seni dan Budaya mengatakan, Pameran Temporer dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022 melibatkan tiga museum di Kalsel, yaitu Museum Wasaka di Banjarmasin, Museum Lambung Mangkurat di Banjarbaru, dan Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan.
Kegiatan pameran museum tersebut berkolaborasi dengan dua komunitas atau ormas di Kalsel, yaitu Ormas Wasaka Kalsel dan Persatuan Sumpitan Kalsel. ”Kebetulan tema pameran tahun ini adalah mandau dan wafak (rajah) Kalimantan, maka sebagian anggota ormas dan komunitas ikut memajang koleksi besi (wasi) pusaka,” katanya.
Faisal menjelaskan, mandau adalah senjata tradisional khas Kalimantan, khususnya suku Dayak, yang sering digunakan untuk berburu dan berperang. Ornamen yang ada pada bilah dan sarung mandau memiliki makna serta identitas pemiliknya. Setiap daerah di Kalimantan memiliki ciri khas mandau masing-masing dan penyebutan yang berbeda-beda.
Zaman dulu, suku Dayak dijuluki ’pasukan hantu’ oleh tentara penjajah Belanda. Itu karena dengan senjata sumpit, mereka bisa membunuh musuh dalam senyap.
Adapun, wafak atau rajah adalah suratan dengan gambar, simbol, dan tulisan Arab pada kain ataupun kertas yang dipakai sebagai azimat. Wafak diyakini memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi pemiliknya dari segala marabahaya. ”Mandau dan wafak digunakan dalam perjuangan rakyat Kalimantan di masa lalu,” ujarnya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Penjaga stan memperlihatkan berbagai macam mandau, senjata etnik Dayak Kalimantan, yang dipajang dalam kegiatan Pameran Temporer di Museum Wasaka, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (14/10/2022).
Revolusi fisik
Rendra selaku kurator Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan mengatakan, beberapa koleksi mandau dan wafak di Museum Rakyat sudah berusia lebih dari 100 tahun. Bahkan, ada sebilah mandau yang bisa dibengkokkan tanpa membuat ketajamannya berkurang. Senjata pusaka itu merupakan peninggalan Revolusi Fisik (1945-1949) di Kalimantan Selatan.
”Mungkin banyak orang beranggapan mandau yang bisa dibengkokkan itu hanya legenda. Padahal, mandau tua yang bisa seperti itu memang ada. Datang saja ke Museum Rakyat kalau mau melihat dan mengetahui sejarahnya,” kata Tim Ahli Cagar Budaya Hulu Sungai Selatan itu.
Selain mandau, senjata yang digunakan rakyat Kalsel di masa perjuangan kemerdekaan dan revolusi fisik adalah parang lais, parang bungkul, dan sumpit. Parang lais memiliki bilah berbentuk ikan lais dengan gagang bermotif ekor ayam jantan. Parang lais digunakan untuk pertahanan diri pada masa peperangan.
Adapun, parang bungkul adalah senjata tajam khas masyarakat Kalsel, khususnya orang Dayak Bukit dan Banjar Hulu. Parang bungkul bisa digunakan sebagai alat pertanian, berburu binatang di hutan, dan juga sebagai alat perang. ”Parang bungkul adalah senjata yang dulu dipakai Pangeran Antasari dan Demang Lehman untuk melawan penjajahan Belanda,” kata Faisal.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Benda pusaka koleksi Museum Rakyat Hulu Sungai Selatan turut dipajang dalam kegiatan Pameran Temporer di Museum Wasaka, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (14/10/2022). Berbagai senjata pusaka dan rajah (wafak) khas Kalimantan dipamerkan dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022.
Ketua Ormas Wasaka Koordinator Wilayah Banjarmasin H Rahmadi menuturkan, sumpit merupakan senjata andalan suku Dayak untuk berburu dan melumpuhkan musuh di zaman penjajahan. Senjata ini sangat ditakuti tentara penjajah. Jika terkena anak sumpit yang beracun, musuh akan merasa sangat tersiksa sebelum akhirnya tewas.
”Zaman dulu, suku Dayak dijuluki ’pasukan hantu’ oleh tentara penjajah Belanda. Itu karena dengan senjata sumpit, mereka bisa membunuh musuh dalam senyap,” ujarnya.
Di masa lalu, lanjut Rahmadi, sumpit juga sekaligus berfungsi sebagai tombak. Karena itu, pada ujung sumpit terdapat mata tombak dari besi atau baja. ”Kalau musuh atau buruan tidak mati terkena anak sumpit, akan dikejar dan ditikam dengan tombak,” katanya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Pengunjung melihat berbagai macam jenis senjata tajam khas Kalimantan yang dipajang dalam kegiatan Pameran Temporer di Museum Wasaka, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (14/10/2022). Pameran tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia 2022.
Seni pusaka
Menurut Faisal, sebagian orang masih menganggap orang-orang yang hobi mengoleksi senjata pusaka adalah para preman. Padahal, sejatinya tidaklah demikian. Sekitar 500 orang dari berbagai latar belakang profesi dan pekerjaan yang tergabung dalam Ormas Wasaka justru berupaya menjaga warisan budaya nenek moyang.
”Orang yang hobi mengoleksi senjata pusaka tidaklah identik dengan orang yang suka berkelahi, tetapi orang-orang yang menyukai seni dan budaya, khususnya seni pusaka. Senjata pusaka itu berkaitan dengan sejarah, perjuangan, dan juga hal-hal mistik,” tuturnya.
Melalui Pameran Temporer, lanjut Faisal, pihaknya ingin memperkenalkan seni pusaka kepada masyarakat luas, bahwasanya berbagai jenis senjata pusaka itu tidak hanya untuk berperang, tetapi juga untuk dicintai budayanya, seninya, dan sejarahnya. Masyarakat juga perlu mengetahui bagaimana merawat benda-benda pusaka yang sudah tua itu dengan cara yang benar.
”Besi pusaka memerlukan perawatan khusus. Di samping untuk menjaga fisiknya, juga untuk menjaga daya magisnya,” ujarnya.
Untuk itu, Ormas Wasaka rutin menggelar ritual adat Maturi Dahar di Makam Sultan Suriansyah setiap bulan Maulid. Tujuannya untuk membersihkan dan memandikan besi-besi pusaka dengan air kembang. Setelah dimandikan, benda-benda pusaka itu dikeringkan, diberi wewangian, dan dibacakan doa untuk keselamatan.
”Kalau bukan kita yang mengenalkan dan melestarikan seni pusaka serta budaya asli Kalimantan, siapa lagi?” kata Faisal.