Kendalikan Bisnis Ganja dari Penjara, Iwan Lolos dari Hukuman Mati
Terdakwa kasus peredaran ganja seberat 75 kilogram di Lampung lolos dari hukuman mati. Terdakwa mengatur bisnis narkoba itu dari dalam penjara.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider hukuman tiga bulan kurungan pada Iwan Kurniawan (27), terdakwa kasus peredaran 75 kilogram ganja. Iwan yang mengendalikan bisnis ganja dari dalam penjara itu lolos dari hukuman yang dituntut jaksa, yakni hukuman mati.
Sebelumnya, Iwan divonis hukuman 18 tahun penjara atas kasus peredaran narkoba oleh PN Kalianda pada 14 Februari 2018. Hukuman Iwan diperberat menjadi 20 tahun penjara setelah jaksa mengajukan banding. Saat itu, terdakwa berupaya mengajukan kasasi, tetapi ditolak.
Sidang pembacaan vonis terhadap Iwan digelar pada Senin (17/10/2022) di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung. Dalam sidang yang sama, majelis hakim yang diketuai Efiyanto juga menjatuhkan hukuman penjara terhadap dua kurir yang membantu Iwan, yakni Femby Alfember (27) dan Agung Diki Lestari (22).
Femby dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan. Sementara Agung dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan.
Vonis untuk ketiga terdakwa itu lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta Iwan dihukum mati. Sementara Femby dan Agung dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai hal-hal yang memberatkan Iwan, antara lain terdakwa tidak mengindahkan program pemerintah dalam pemberantasan narkotika, meresahkan masyarakat, dan sedang menjalani hukuman atas kasus yang sama.
Sementara itu, hal-hal yang meringankan terdakwa, antara lain, karena Iwan berterus mengakui perbuatannya, bersikap sopan, dan masih muda sehingga diharapkan dapat mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Pertimbangan lainnya, terdakwa bukan pelaku utama selaku pemilik barang dan masih mempunyai hak untuk hidup.
Adapun hal-hal yang meringankan hukuman terhadap Femby dan Agung adalah karena kedua terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan di persidangan, dan belum pernah dihukum. Mereka juga menyesali perbuatannya dan berjanji tidak ada mengulangi perbuatan itu.
Sementara hal-hal yang memberatkan mereka adalah tidak mengindahkan program pemerintah dalam pemberantasan narkotika dan meresahkan masyarakat.
Atas putusan itu, Iwan dan jaksa penuntut umum Eka Aftarini menyatakan pikir-pikir terhadap vonis tersebut. Sementara Femby dan Agung menyatakan menerima putusan itu.
Dari penjara
Kasus ini terungkap saat Femby dan Agung ditangkap aparat Polda Lampung saat hendak mengirimkan 75 kilogram ganja pada 23 Maret 2022. Dari hasil penyelidikan polisi, diketahui Iwan ikut mengatur bisnis narkoba itu dari dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Rajabasa, Bandar Lampung.
Hasil penyelidikan lebih lanjut, pengiriman ganja oleh dua kurir yang dikendalikan oleh Iwan itu bukan kali itu saja. Pada 17 Maret 2022, Iwan meminta Femby dan Agung mengendarkan 179 paket ganja. Sebagai kurir, Femby mendapatkan upah berupa 15 paket ganja.
Terkait putusan itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Lampung Heni Siswanto menilai hakim ingin menunjukkan bahwa hukuman pidana tetap berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Hukuman yang lebih ringan itu untuk membedakan hukuman bagi peran pelaku utama dan pelaku pembantu. Dalam kasus tersebut, ketiga terdakwa dinilai bukan pelaku utama atau pemilik narkoba.
Wajar jika ada hakim yang ingin mempertahankan hak hidup terpidana sehingga yang bersangkutan mempunyai kesempatan mengubah pribadinya menjadi lebih baik. (Heni Siswanto)
Selama ini, kata Heni, hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati juga masih menjadi perdebatan di kalangan penegak hukum. Dari sisi kemanusiaan, pidana penjara seumur hidup sudah sangat berat. Sementara hukuman mati juga dinilai merampas hak hidup seseorang dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
”Wajar jika ada hakim yang ingin mempertahankan hak hidup terpidana sehingga yang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk mengubah pribadinya menjadi lebih baik,” katanya.