Desa adat mencerminkan kelokalan dan kearifan Bali. Dalam webinar Lemlit Warmadewa, Sabtu (15/10/2022), diperlukan langkah nyata penguatan desa adat di Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Desa adat di Bali bertahan karena adat menjadi kohesi sosial dan mampu mengakomodasi kepentingan warganya. Desa adat di Bali masih kuat karena kehidupan adat di Bali berbasis religi. Desa adat mencerminkan kelokalan dan juga kearifan budaya Bali.
Demikianlah benang merah dari acara seminar bertemakan ”Pergolakan Penguatan Desa Adat Bali: Silang Pandang Aneka Perspektif”, yang bertaut dengan bedah buku berjudul “Kontestasi Penguatan Desa Adat”, secara daring, Sabtu (15/10/2022).
Webinar dan bedah buku diselenggarakan Lembaga Penelitian Universitas Warmadewa, Kota Denpasar, dengan menghadirkan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama I Nengah Duija memberikan pidato kunci.
Menurut Duija, adat berkaitan dengan ide, norma, hukum, dan aturan khusus. Duija menyebut desa adat menjadi kohesi sosial dan desa adat memiliki otonomi.
Duija menyatakan, adat di Bali memiliki perbedaan dengan adat Nusantara karena Bali berbasis religi. ”Adat menjadi bagian ideal dari kebudayaan,” ujar Duija dalam pidato kunci di webinar bertemakan ”Pergolakan Penguatan Desa Adat Bali: Silang Pandang Aneka Perspektif”, Sabtu (16/10/2022).
Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Warmadewa I Made Suwitra mengatakan, desa adat di Bali menjadi hal seksi, yang sudah diperhatikan sedari masa pemerintahan Belanda sampai saat ini.
Adat menjadi bagian ideal dari kebudayaan. (Duija)
Suwitra menyatakan, sejumlah peraturan dan konsep penguatan desa adat sudah dibuat, bahkan sudah pula dibentuk lembaga pemerintah untuk menangani desa adat, tetapi langkah nyata dan bentuk penguatan desa adat dirasakan masih minim.
”Kami dari akademisi mencoba mendekatkan agar konsep penguatan desa adat menjadi langkah nyata,” kata Suwitra dalam webinar tersebut.
Desa adat di Bali adalah bentuk kesatuan masyarakat hukum adat, yang bersifat teritorial. Desa adat di Bali diyakini sudah ada sejak berabad-abad lampau.
Mengacu pendapat Majelis Desa Adat Provinsi Bali, desa adat pada zaman Bali kuna disebut banua atau banwa. Dalam lampiran Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, jumlah desa adat di Bali mencapai 1.493 desa adat.
Sistem religi
Akademisi dari Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, I Made Pageh, menyatakan, desa adat mencerminkan hibridasi sistem religi dan sistem budaya yang diperkirakan berkembang sedari zaman megalitikum.
Pageh berpandangan, desa adat di Bali adalah bentuk local genius Bali yang mendapat pengaruh religi dari luar, termasuk pengaruh Hindu dari India.
Menurut Pageh, desa adat di Bali menempatkan kesetaraan dan demokrasi, tetapi kondisi itu tergerus akibat intervensi, mulai dari masa pemerintahan Belanda dengan membuat kelompok-kelompok elite di Bali.
”Konsep dalam desa adat awalnya adalah manusapada, semua manusia adalah sama,” kata Pageh dalam webinar, yang dipandu akademisi Universitas Warmadewa I Ngurah Suryawan, Sabtu (16/10/2022). ”Belanda mengintervensi sehingga memunculkan pengelompokan,” ujar Pageh lebih lanjut.
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana, Ni Made Ras Amanda Gelgel, menyatakan, penggerogotan kearifan dan kelokalan desa adat di Bali juga akibat intervensi kepentingan politik.
Amanda juga berpendapat, desa adat memiliki nilai demokratis, tetapi intervensi dari kekuatan politik mengurangi nilai demokratis, yang hidup di desa adat.
Menurut Amanda, desa adat sebagai cermin masyarakat Bali mengalami permasalahan dan tantangan yang semakin kompleks. Dengan demikian, menurut Amanda, diperlukan usaha dan upaya bersama-sama untuk menguatkan desa adat.
Adapun I Putu Sastra Wibawa berpandangan, keberadaan desa adat atau kesatuan masyarakat hukum adat diakui haknya dan diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan terkhusus di Bali, desa adat diposisikan dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Akademisi dari Prodi Hukum Adat Universitas Hindu Indonesia itu berpendapat pengakuan hukum terhadap desa adat, termasuk perda tentang desa adat di Bali, juga memberikan ruang simbiosis mutualisme hukum bagi desa adat, di samping menjadi alat kontrol negara dan pemerintah terhadap desa adat.
Sastra menyatakan, desa adat perlu penguatan, baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal, agar memberikan manfaat dan keuntungan sehingga desa adat kokoh.
Sastra menyebutkan, penguatan desa adat dilakukan dan dikerjakan secara sinergi antara pemerintah, badan usaha atau swasta, perguruan tinggi dan akademisi, dan media massa serta pihak desa adat.