Rangkaian Kasus Harus Jadi Momentum Reformasi Total Polri
Terkait rentetan kasus menjerat Polri, pakar hukum Universitas Brawijaya, Malang, menyatakan agar hal ini menjadi momentum reformasi birokrasi. Bila publik tidak percaya lagi kepada polisi, hukum akan sulit ditegakkan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Rentetan kasus yang menjerat personel polisi diharapkan menjadi momentum reformasi birokrasi secara utuh. Dibutuhkan keterlibatan pihak di luar lembaga kepolisian untuk terlibat dalam reformasi birokrasi itu.
Dalam beberapa waktu terakhir, terjadi berbagai kasus besar yang diduga melibatkan anggota kepolisian. Beberapa, di antaranya, adalah kasus Ferdy Sambo hingga dugaan keterlibatan dalam Tragedi Kanjuruhan. Pada Jumat (14/10/2022), muncul sangkaan keterlibatan Inspektur Jenderal Teddy Minahasa dalam kasus narkoba.
Pakar Hukum Universitas Brawijaya (UB), Malang, Muchamad Ali Safa’at, mengatakan, berbagai kejadian itu seharusnya menjadi momentum perubahan mendasar di tubuh Polri. ”Itu bukan persoalan kecil, tapi besar, karena melibatkan perwira tinggi dan dimungkinkan melibatkan bawahannya. Tentu dengan sendirinya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada institusi Polri,” katanya.
Oleh karena itu, pemerintah dan negara harus melakukan tindakan fundamental dengan cara mengungkap semua yang terjadi dan melibatkan pihak luar institusi Polri. ”Sebab, masyarakat rentan tidak percaya dengan institusi Polri. Jadi, terhadap hal itu harus ada perubahan mendasar, semuanya dibuka, dan yang membuka institusi dari luar,” kata Ali.
Menurut dia, Presiden atau pemerintah juga perlu membuat tim reformasi yang lebih besar. ”Jadi, tidak hanya terkait dengan kasus besar saja, tetapi juga tim terkait dengan reformasi Polri secara keseluruhan. Itu harus dilakukan secara penuh, untuk mengembalikan kepercayaan dan melakukan perbaikan. Itu yang paling penting untuk dilakukan dalam kondisi sekarang ini,” kata Dekan Fakultas Hukum UB tersebut.
Dari sisi komunikasi massa, penangkapan Teddy tersebut harus jadi momentum reformasi gaya komunikasi Polri kepada masyarakat. ”Selama ini, Polri cenderung berkomunikasi dengan defensif dan tertutup. Dengan krisis seperti saat ini, polisi memasuki krisis babak baru. Kepercayaan masyarakat sudah benar-benar rusak,” kata dosen Manajemen Komunikasi UB Maulina Pia Wulandari.
Menurut Pia, sekarang Polri harus memberikan informasi dengan akurat dan transparan atas setiap perkembangan kasus. Semakin transparan, kepercayaan publik akan kembali lagi. ”Berbahaya apabila publik tidak percaya lagi. Hukum akan sulit ditegakkan. Di sinilah pentingnya strategi komunikasi krisis secara transparan dan terbuka bagi Polri,” katanya.
Selain itu, Pia menyebutkan, polisi butuh reformasi tata cara komunikasi publik, terutama strategi komunikasi di masa krisis, seperti sekarang. ”Pemilihan strateginya tidak boleh asal-asalan, harus dapat info sangat akurat, tidak boleh hanya dari satu narasumber, tetapi harus banyak referensi sebelum disampaikan ke publik. Bila defensif dan asal-asalan, hanya akan memicu kontorversi dan blunder,” katanya.
Dalam teori komunikasi, menurut Pia, semakin defensif seseorang, dan cenderung menyalahkan orang lain, tidak terbuka, dan mengakui kesalahan, ia akan semakin jatuh ke lubang yang dibuat sendiri. Kondisi itu akan memicu buruknya reputasi seseorang di mata publik. ”Dia tidak bisa memenuhi keinginan publik akan informasi transparan di masa krisis seperti sekarang ini,” katanya.