Korban Terus Berjatuhan di Sumur Minyak Ilegal Aceh Timur
Kebakaran di tambang minyak ilegal di Aceh Timur kembali memakan korban. Satu tewas dan dua luka bakar. Sepuluh tahun terakhir sudah 24 tewas akibat kebakaran di tambang itu.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Sejak 2013 hingga 2022, sedikitnya 24 orang tewas akibat terbakar di lokasi pengeboran minyak ilegal di Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Perputaran uang di bisnis ilegal itu besar, tetapi pengeboran tanpa aturan justru membuat nyawa manusia terus berjatuhan.
Peristiwa terbaru terjadi pada Rabu (12/10/2022) malam. Sebuah lokasi pengeboran minyak ilegal di Desa Seuneubok Lapang, Kecamatan Peureulak Timur. Saat itu salah seorang pekerja sedang masak menyiapkan makanan. Sementara pekerja lain sedang memasang peralatan untuk pengeboran.
Tiba-tiba gas menyembur hingga menyambar api dari kompor di dalam gubuk pekerja. Para pekerja yang sedang berada di gubuk itu tidak sempat menyelamatkan diri. Lidah api menyulut pakaian hingga membakar tubuh mereka. David (35), salah satu pekerja, tewas dengan kondisi luka bakar sekujur tubuh, sedangkan Jaini (40) dan Amin (19) kritis dengan luka bakar 70 persen.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh Mahdinur dihubungi pada Jumat (14/10/2022) mengatakan, kasus kebakaran sumur minyak di Aceh Timur merupakan peristiwa yang terus berulang. Sumur itu seharusnya ditutup sementara hingga ada regulasi mengatur tata kelola tambang rakyat.
Hingga kini, tambang minyak milik warga di Aceh Timur statusnya ilegal atau tidak berizin. Aktivitas pengeboran telah berlangsung belasan hingga puluhan tahun. Akhir-akhir ini aktivitas pengeboran semakin masif.
Sumur-sumur itu dibor menggunakan alat yang tidak memenuhi standar keselamatan kerja di sektor minyak dan gas. Warga mengebor sumur minyak layaknya mengebor sumur untuk mencari air bersih. Sumur minyak ilegal itu dominan terdapat di Kecamatan Peureulak Timur dan Ranto Peureulak.
Lokasi atau titik pengeboran berada di dalam area permukiman warga, seperti di pekarangan rumah, kebun, atau bahkan di dalam rumah. Jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan, sejauh ini tidak ada data konkret. Lokasi beberapa sumur minyak itu bahkan tidak jauh dari kantor polisi sektor atau kecamatan.
Kebakaran terus terjadi, tidak terhitung berapa nyawa sudah melayang.
Mahdinur mengatakan, karena ilegal, penanganannya menjadi ranah aparat penegak hukum. Sementara pemerintah hanya mengimbau agar warga berhenti mengebor sebab pengeboran sangat berisiko pada keselamatan pekerja, bahkan warga di sekitar.
”Kebakaran terus terjadi, tidak terhitung berapa nyawa sudah melayang. Saya berharap warga untuk berhenti hingga ada aturan,” kata Mahdinur.
Data yang dihimpun Kompas sejak 2013-2022 menunjukkan sedikitnya 9 kali kebakaran sumur minyak ilegal terjadi di Aceh Timur. Sebanyak 24 orang tewas dan 65 orang mengalami luka bakar. Beberapa di antaranya mengalami cacat akibat kebakaran.
Peristiwa kebakaran paling besar terjadi pada Maret 2018. Sebanyak 20 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak yang bukan pekerja di sumur ilegal itu. Pascakebakaran itu, aktivitas tambang minyak ilegal itu sempat berhenti, tetapi kini kembali marak.
Mahdinur mengatakan, ada wacana tambang minyak milik warga di Aceh Timur akan dilegalkan dengan cara membuat perda/qanun pertambangan rakyat. Saat ini, qanun sedang disusun, tetapi masih butuh waktu lama, baru qanun itu rampung. Menurut Mahdinur, selama qanun belum lahir, aktivitas tambang di sana masih ilegal.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Aceh Timur Ajun Komisaris Polisi Miftahuda Dizha Fezuono mengatakan, kasus kebakaran sumur di Desa Seuneubok Lapang sedang dalam proses hukum. Penyidik telah memasang garis polisi dan melakukan olah tempat kejadian perkara.
Sebelumnya Camat Rantau Peureulak Mukhtaruddin menuturkan, meski berbahaya, ratusan warga bertahan hidup dari aktivitas tersebut. Dia berharap ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk memberi izin dan mengatur tata cara pengeboran yang tepat.
”Kami dilematis, sumur minyak ini ilegal, tapi jadi pekerjaan warga. Sulit mencari lapangan kerja yang lain. Kalau ini ditutup, entah ke mana warga harus mencari kerja,” kata Mukhtaruddin.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Khairil Safrizal, mengatakan, selama ini pengelolaan sumur minyak rakyat dilakukan tanpa standar keselamatan. Akibatnya, kecelakaan tidak terhindarkan. Dia khawatir, jika tidak diatur, potensi kecelakaan terus menghantui.
Namun, bukan hal mudah menghentikan aktivitas pertambangan sumur minyak milik warga. ”Ada ribuan orang hidup dari sumur minyak itu. Lebih baik dibuat regulasi sehingga bisa dikelola dengan baik,” katanya.Khairil mengatakan, dalam qanun yang sedang disusun itu diatur tata kelola tambang rakyat, pendapatan daerah, dan kewenangan pemerintah. ”Ke depan, harus diatur dengan ketat tata cara penambangan sehingga menekan risiko kecelakaan,” kata Khairil.