Jauh dari perhatian orang banyak, segelintir warga bekerja siang malam menanam bibit bakau di Pulau Batam. Hidup di pesisir pulau kecil membuat mereka lebih peka terhadap dampak krisis iklim yang mengancam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Matahari sudah tua saat Ruslaeni Nainggolan (47) dan Rehmalem Ginting (61) datang ke sebuah pondokan di tepi hutan mangrove di Tanjung Piayu, Batam, Kepulauan Riau, Ruslaeni baru menyelesaikan pekerjaan menjaga kolam pancing, sedangkan Rehmalem baru rampung mengurus kebun di dekat rumah.
Pondokan itu berfungsi untuk tempat pembibitan mangrove. Di sekitarnya membentang hutan lindung bakau seluas 600 hektar yang dijaga lembaga non-pemerintah, Akar Bhumi Indonesia.
Pada 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggandeng Akar Bhumi Indonesia untuk merehabilitasi hutan lindung bakau di Tanjung Piayu. Ada 50 hektar lahan yang harus ditanami 165.000 bibit bakau.
Ketua Akar Bhumi Indonesia Soni Riyanto, Sabtu (8/10/2022), mengatakan, mereka melibatkan 40 warga dari kampung sekitar untuk merehabilitasi kawasan tersebut. Namun, kini yang masih bertahan tinggal lima orang.
Dari lima orang yang tersisa, dua di antaranya adalah Ruslaeni dan Rehmalem. Ribuan bakau dapat ditumbuhkan berkat tangan-tangan perempuan yang tak berhenti menanam itu.
Jika waktu menanam bakau tiba, mereka akan turun ke laut dengan sampan saat air beranjak surut pada pagi hari. Mereka akan terus bekerja sampai matahari tenggelam.
Ruslaeni menuturkan, pekerjaan itu sangat berat karena untuk menanam bakau mereka harus berjalan di lumpur dan genangan air. Hewan buas, seperti ular dan buaya, juga jadi ancaman.
”Enggak banyak orang yang sanggup bertahan (menanam bakau). Satu per satu yang lain pada mundur, sekarang kami tinggal berlima,” kata Ruslaeni.
Menanam bakau juga tak hanya sebatas menancapkan bibit. Sebelumnya, para perempuan itu juga turun ke laut untuk mengumpulkan propagul (bibit bakau) dan menyiapkan media tanam berupa polybag yang diisi dengan tanah.
”Kami sering ketemu ular waktu ambil propagul. Tahu-tahu ada ular muncul di atas kepala atau di bawah kaki,” ucap Rehmalem menimpali.
Selain itu, mereka juga sering terjebak air pasang yang datang tiba-tiba. ”Kadang kami terlalu asyik waktu nanam bakau atau ambil propagul, sampai lupa kalau air sudah pasang. Jadi, kami harus berenang waktu pulang,” ucapnya lagi.
Ruslaeni dan Rehmalem menerima upah berdasarkan jumlah pekerjaan yang diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Untuk menyiapkan media tanam, mereka diupah Rp 200 per polybag. Adapun propagul yang mereka kumpulkan dibeli Rp 300 per buah. Sementara untuk menanam bakau, mereka dibayar Rp 600 per pohon.
Meskipun pekerjaan merehabilitasi hutan bakau itu sangat berat, mereka berdua mengaku gembira menjalaninya. Bahkan, Ruslaeni sempat berniat keluar dari pekerjaan utamanya sebagai penjaga kolam pancing untuk terlibat penuh menanam bakau.
”Yang bikin senang itu kalau lihat bakau yang ditanam bisa bertahan hidup. Tapi, lebih seringnya kami sedih lihat mati ketimbun lumpur dari reklamasi dan ditabrak perahu nelayan,” ujar Ruslaeni.
Lewat program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dari KLHK, Akar Bhumi telah menanam 165.000 bibit bakau di Tanjung Piayu. Selain itu, mereka juga dua kali melakukan penyulaman untuk mengganti bibit yang gagal tumbuh.
Pada penyulaman pertama ditanam lagi 33.000 bibit bakau dan 16.500 bibit bakau ditanam pada penyulaman kedua. Namun, hanya sekitar 40 persen bibit bakau yang masih bertahan hidup hingga tahun ini.
Soni mengatakan, kematian bibit-bibit bakau terutama disebabkan pencemaran dan sedimentasi. Pencemaran berasal dari sampah warga dan limbah industri yang mengalir ke sungai, lalu bermuara di hutan lindung bakau Tanjung Piayu.
Adapun sedimentasi disebabkan oleh reklamasi di sekitar hutan lindung bakau Tanjung Piayu. Dampaknya, lumpur dari lokasi reklamasi mengalir dan menutupi bibit-bibit bakau yang ditanam Akar Bhumi. Apabila lumpur menutupi hingga daun bakau yang masih kecil, pohon itu tak akan mampu bertahan.
Saat dia masih kecil kita yang harus lindungi, nanti kalau sudah besar dia yang ganti lindungi kita.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mengatakan, krisis iklim membuat Pulau Batam dan pulau-pulau kecil di sekitarnya semakin terancam oleh kenaikan muka air laut. Ironisnya, hutan bakau yang menjadi benteng alami bagi pulau-pulau kecil itu justru banyak dialihfungsikan.
”Pulau Batam ini sangat kecil, luasnya hanya 715 kilometer persegi. Oleh karena itu, kehilangan tutupan mangrove seluas 5-10 hektar pun dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat pesisir,” kata Hendrik.
Data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menunjukkan, pada 2021, luas mangrove di Kepri 68.351 hektar. Dari jumlah itu, 18.524 hektar di antaranya terdapat di Kota Batam.
Data yang sama juga menunjukkan, kerusakan mangrove di Kepri mencapai 37.364 hektar. Dari jumlah itu, 24.624 hektar lahan mangrove yang rusak terletak di kawasan hutan.
Perawatan
Menurut Soni, dari setiap 100 batang bakau yang ditanam, hanya 30-40 batang yang akan bertahan hidup jika dibiarkan begitu saja. Data ini akhirnya mengubah pendekatan Akar Bhumi Indonesia untuk menggarap konservasi mangrove di Batam.
Selama ini, Akar Bhumi Indonesia banyak bekerja dengan pihak swasta di Batam untuk konservasi mangrove dengan skema dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan institusi pendidikan dan lembaga-lembaga pemerintah.
”Sekarang kami mengarahkan mereka untuk tidak menanam dalam jumlah yang terlalu banyak. Lebih baik dananya nanti dipakai untuk melakukan perawatan bibit yang akan mereka tanam itu,” kata Soni.
Akar Bhumi Indonesia biasanya mematok biaya membeli bibit Rp 5.000-Rp 10.000 per batang dan biaya penanaman Rp 2.000 per batang. Kini, mereka juga menambahkan opsi biaya perawatan Rp 4.000 per batang selama satu tahun.
Biaya perawatan itu meliputi biaya penggantian tanaman yang mati dan pembersihan sampah yang menempel di bakau. Perawatan itu idealnya dilakukan selama lima tahun. Dengan perawatan, peluang bibit yang ditanam untuk hidup mencapai lebih dari 90 persen.
Menurut Rehmalem, tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat bibit yang susah payah mereka tanam akhirnya mati. Selain mudah mati, pertumbuhan bakau juga sangat lambat. Butuh waktu lima tahun agar batang bakau tumbuh mencapai diameter seukuran jempol kaki orang dewasa.
”Bakau itu kalau masih kecil lemah dan mudah mati. Tapi kalau sudah besar dia kuat sekali, kena ombak sebesar apa pun tak roboh. Saat dia masih kecil kita yang harus lindungi, nanti kalau sudah besar dia yang ganti lindungi kita,” ucapnya.