”Smart City” Sebesar-besarnya untuk Kemanfaatan Warga
Setidaknya 10 tahun terakhir, istilah ”smart city” banyak menjadi perbincangan para kepala daerah. Namun, implementasinya kerap kali kurang tepat karena tak sesuai kebutuhan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Setidaknya 10 tahun terakhir, istilah smart city banyak menjadi perbincangan para kepala daerah. Namun, implementasinya kerap kali terasa kurang tepat karena tak sesuai kebutuhan. Pemerintah daerah didorong untuk memahami kebutuhan daerahnya. Penerapan ”kota pintar” semestinya bermanfaat sepenuhnya bagi segenap warga.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pengarah Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya, saat membuka Indo Smart City 2022, di Solo Technopark, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (12/10/2022). Turut hadir mendampinginya Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka serta wali kota lain peserta organisasi tersebut dalam gelaran itu.
”Awal-awal kita semangat banget. Sekarang kita sudah tahu polanya. Kalau ada pertanyaan, ’kotanya sudah smart apa belum?’, kemungkinan besar mereka (vendor) akan menawarkan CCTV (kamera pengawas) atau aplikasi,” kata Bima, yang sekaligus menjabat sebagai Wali Kota Bogor tersebut.
Sering kali, jelas Bima, kota pintar hanya dimaknai sebatas pemasangan alat-alat berteknologi tinggi. Itu dicontohkannya dalam fenomena maraknya pemasangan kamera pemantau dan pembuatan pusat komando, atau command center oleh jajaran pemerintah daerah. Pada masa tersebut, kota-kota dengan pusat komando berkamera pengawas banyak sudah dianggap paling unggul dan canggih.
Yang jadi pertanyaan, lanjut Bima, sudahkah alat-alat canggih tersebut sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah? Menurut dia, belum tentu kebutuhan daerah dapat terpenuhi seluruhnya lewat kehadiran alat-alat tersebut. Sebab, tak semua sumber daya manusia pemerintahan yang ada sudah memanfaatkannya secara optimal.
”Kadang yang dibeli memang dibutuhkan. Tetapi, sering juga terlalu canggih dan kita enggak butuh sebetulnya. Kita beli mahal-mahal habis itu enggak nyambung juga dengan kebutuhan,” kata Bima.
Kita beli mahal-mahal habis itu enggak nyambung juga dengan kebutuhan. (Bima Arya)
Padahal, tandas Bima, yang paling penting justru adalah besarnya manfaat yang bisa diberikan kepada warga lewat berbagai teknologi canggih tersebut. Hendaknya alat-alat tersebut memudahkan masyarakat dalam mengakses bermacam-macam layanan pemerintahan. Secara khusus akses pada layanan dasar seperti administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan, hingga persampahan. Jika layanan dasar saja tak bisa dipenuhi, instalasi alat-alat canggih tersebut akan terasa sia-sia.
”Kami kira ini waktu yang tepat untuk melakukan refleksi. Sejauh mana smart city ini langsung berkaitan dengan pelayanan minimum atau basic service yang dibutuhkan oleh warga,” kata Bima.
Untuk itu, kata Bima, konsep smart city harus memenuhi beberapa hal utama, yaitu efisiensi, transparansi, kolaborasi, dan kontinuitas. Efisiensi menunjukkan seberapa mampu layanan teknologi mempercepat warga mengakses layanan pemerintah daerah. Aspek transparansi diperlukan untuk menjawab keingintahuan warga akan kredibilitas dari berbagai program pemerintah yang dijalankan.
Selain itu, lanjut Bima, kolaborasi juga jangan dilupakan. Pemerintah daerah tidak bisa bergerak sendiri mengembangkan daerahnya. Kerja sama dengan komunitas-komunitas kreatif dibutuhkan guna mempercepat kemajuan kota. Setelahnya, aspek kontinuitas mesti dijamin agar sistem yang sudah dibangun tetap dijalankan oleh pemangku pemerintahan periode berikutnya.
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menyepakati pentingnya kolaborasi bagi pengembangan kota pintar. Pihaknya menyediakan area pengembangan teknologi bernama Solo Technopark. Di sana, pemerintah daerah membuka kesempatan kolaborasi sebesarnya bagi berbagai elemen untuk menciptakan banyak inovasi. Adapun pihak-pihak yang saling bekerja sama terentang dari perguruan tinggi hingga perusahaan swasta.
Sejumlah perusahaan swasta yang sudah menjalin kerja sama, di tempat tersebut adalah Shopee, GoTo, dan Garena. Sementara, jenis pelatihan yang paling banyak diminati adalah keamanan siber dan pengelasan bawah air (underwater welding). Menurut rencana, pelatihan-pelatihan lainnya juga akan dikembangkan di sana guna menciptakan sumber daya manusia unggulan.
”Kami ada rencana membuat pelatihan oil and gas. Surakarta kan memang tidak punya apa-apa (sumber daya alam). Jadi tempat pelatihannya di sini. Misalnya, nanti kami juga akan membuat tempat pelatihan pembuatan baterai mobil listrik. Industrinya, kan, sudah masuk semua di Batang dan Kendal,” kata Gibran.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal ZA mengaku, begitu banyak daerah ingin membangun konsep kota pintar. Menurut dia, keinginan tersebut perlu disertai pemahaman agar segala teknologi yang diimplementasikan dalam layanan pemerintahan sepenuhnya demi kemanfaatan warga. Sebab, itulah yang menjadi tujuan utama dari penerapan konsep tersebut.
Sejauh ini, Safrizal mengungkapkan, sebagian besar kota baru pada tahapan inisiasi. Belum semuanya benar-benar matang mengimplementasikan konsep tersebut. Tingkat perkembangannya berbeda-beda bergantung dari keseriusan pemerintah daerah.
Pihaknya mengharapkan kelak semakin banyak kota yang ingin mematangkan konsep tersebut. Oleh karena itu, tahun depan, pemerintah akan mulai mengukur seberapa matang penerapan konsep pintar dari setiap kota.
”Dengan majunya smart city, ada dua hal yang bisa dicapai. Masyarakat tambah sejahtera. Kedua, pemerintah tambah dipercaya. Karena, semuanya terjamin. Akses sekarang juga semakin mudah,” kata Safrizal.