Menjaga Kehidupan Pesisir Batam
Di tengah menurunnya daya dukung pesisir akibat krisis iklim, warga perkampungan tua di Batam bergerak menyelamatkan hutan bakau yang tersisa di pesisir pulau itu.
Di tengah menurunnya daya dukung pesisir akibat krisis iklim, warga perkampungan tua di Batam, Kepulauan Riau, bergerak bahu-membahu menyelamatkan hutan bakau yang tersisa di pesisir pulau itu. Mereka bahkan mendapat penghargaan anugerah desa wisata.
Gari Dafit Semet (41) berjalan di atas jembatan papan yang meliuk-liuk di antara rimbun hutan mangrove. Rhizophora apiculata menjulang di kiri dan kanan. Akar-akarnya saling memeluk di genangan air laut yang dangkal.
Sore itu, Minggu (25/9/2022), hujan baru saja reda. Sinar matahari malu-malu menerobos daun-daun bakau dan memantul saat jatuh di permukaan air. Bau tanah setelah hujan bercampur dengan aroma laut. Sejuk dan sunyi.
Baca juga: Ekosistem Pesisir Masih Tertekan
Laki-laki itu terus berjalan cepat ke dalam hutan. Gemuruh laut terdengar di kejauhan. Tak berapa lama, ia sampai di ujung jembatan. Di sana, ia menghentikan langkah. Sebuah Sonneratia alba berdiri tegak, meskipun batangnya telah koyak ditembus ombak.
"Pohon ini mungkin sudah lebih dari 100 tahun. Orang Melayu menyebut pohon jenis ini perpat. Dia ajaib karena bisa tumbuh di pesisir yang tanahnya berpasir dan ombaknya kuat," kata Gari.
Gari dan keluarganya tinggal di Kampung Tua Bakau Serip, Kota Batam, Kepulauan Riau. Wilayah itu adalah perkampungan adat orang Melayu yang merupakan warga asli Pulau Batam.
"Dulu, orang tua di kampung ini meyakini hutan mangrove adalah pelindung kampung. Pohon bakau menjaga rumah para nelayan dari angin kencang dan ombak kuat," ujar ayah tiga anak itu.
Namun, belakangan kearifan itu mulai pudar. Banyak warga menebang hutan bakau dengan membabi buta. Kayu bakau diambil untuk bahan bangunan dan dibuat arang. Dampaknya, hutan bakau di sekitar Kampung Tua Bakau Serip menyusut dengan cepat.
"Padahal, bakau itu tumbuhnya lambat sekali. Setelah lima tahun ditanam dia baru tumbuh setinggi orang dewasa. Saya sengsara setengah mati waktu melihat bakau yang usianya sudah ratusan tahun ditebangi," ucapnya.
Di saat yang sama, dampak krisis iklim semakin terasa di perkampungan tua orang Melayu itu. Pasang air laut semakin tinggi, badai semakin sering terjadi, dan cuaca semakin sulit diprediksi.
Baca juga: Kota Pesisir Melawan Banjir
Oleh karena itu, pada 2017, Gari mulai bergerak melindungi hutan mengrove yang tersisa di kampungnya. Saat itu, ia memetakan ada sekitar 7 hektar hutan yang kondisinya masih terjaga dengan pohon-pohon bakau yang berukuran besar.
Gari memulai perjuangannya dengan membersihkan sampah-sampah yang menumpuk di hutan bakau itu. Hal itu ia lakukan sendirian selama satu tahun. Banyak orang meragukan dan tak sedikit yang mencibir.
Seiring waktu berjalan, Gari menyadari upaya melindungi ekosistem pesisir tak bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu, pada 2018, ia mulai membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Pandang Tak Jemu.
Salah satu warga yang pertama kali terlibat adalah Ninda (48). Ia yang membantu Gari meyakinkan 10 warga lain untuk ikut terlibat mengurus ekowisata di Kampung Bakau Tua Serip.
Mereka kemudian mulai membantu Gari untuk membersihkan hutan bakau. Selain itu, jembatan kayu serta pondokan juga dibangun agar wisatawan dapat berkeliling hutan dengan nyaman. Lokasi yang mereka namai Pandang Tak Jemu itu dijadikan destinasi wisata utama di Kampung Tua Bakau Serip.
Menurut Ninda, banyak kerikil tajam yang harus dilalui Pokdarwis Pandang Tak Jemu. Rintangan yang terberat adalah pandemi Covid-19. Baru satu tahun dibuka, wisata Kampung Tua Bakau Serip harus ditutup karena pembatasan sosial.
Beruntung, pada akhir 2020, Kampung Tua Bakau Serip dipilih pemerintah menjadi lokasi penanaman mangrove lewat Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Total ada 25 warga yang terlibat dalam program tersebut.
Selama tiga bulan, mereka berhasil menanam bakau seluas lebih dari 15 hektar. Insentif yang didapat dari penanaman mangrove itu sedikit meringankan beban ekonomi para pegiat wisata yang terpuruk selama pandemi.
Setelah pandemi mulai melandai pada akhir 2021, Pokdarwis Pandang Tak Jemu mencoba bangkit kembali menggerakkan ekowisata di Kampung Tua Bakau Serip. Angin segar bertiup saat kampung itu diumumkan masuk 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022.
"Masuk daftar 50 besar ADWI itu sungguh-sungguh jadi peneguhan buat kami, ternyata yang kami lakukan selama ini betul-betul ada manfaatnya bagi orang banyak," kata Ninda.
Saat berkunjung ke Batam pada akhir Mei 2022, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, konsep ekowisata Kampung Tua Bakau Serip sejalan dengan pengembangan pariwisata nasional yang berkelanjutan dan berbasis komunitas. Pemerintah mengapresiasi upaya warga untuk mengembangkan wisata sekaligus menjaga kelestarian alam.
Baca juga: Menjaga Asa Geliat Pariwisata Batam
Wisatawan bisa menikmati ekowisata itu dengan memberi kontribusi Rp 10.000 untuk tamu lokal, Rp 15.000 untuk tamu dari luar Batam, dan Rp 25.000 untuk wisatawan asing. Jumlah pengunjung di akhir pekan sekitar 50-200 orang. Jika ada pertunjukan seni Melayu yang diselenggarakan, jumlah pengujung bisa ratusan.
Buah upaya pelestarian bakau yang digarap oleh Pokdarwis Pandang Tak Jemu tak hanya dinikmati oleh pegiat wisata di Kampung Tua Bakau Serip. Para nelayan tradisional di sekitarnya juga merasakan manfaat dari lestarinya ekosistem pesisir.
Salah satu nelayan, Baharudin (65), mengatakan, bakau menjadi tempat berbagai hewan laut untuk berkembang biak. Tutupan hutan bakau yang terjaga menyimpan sumber daya perikanan yang melimpah.
"Banyak nelayan dari kecamatan lain cari ikan di ini, karena di tempat mereka hutan bakaunya sudah ditimbun (reklamasi). Tak ada lagi ikan di tempat mereka," ujar Baharudin.
Potensi terpendam
Sejak 2021, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian ekosistem mangrove di tujuh kelurahan di Batam. Penelitian itu dilakukan bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk mendorong geliat ekonomi warga pesisir dengan skema ekowisata.
Staf peneliti PSEK, Khusnul Bayu Aji, mengatakan, Batam memiliki pangsa pasar wisata yang besar mengingat kota ini merupakan wilayah nomor tiga dengan kunjungan turis asing terbanyak di Indonesia. Ekowisata mangrove dinilai bisa jadi salah satu nilai jual unik bagi pariwisata Batam.
"Wisatawan yang datang tak hanya disuguhi hiburan, tetapi juga diberi akses kepada pendidikan lingkungan. Harapannya ini akan membentuk sikap untuk lebih menghargai alam, terutama pemahaman mengenai ekosistem pesisir," kata Khusnul.
Baca juga: Hutan Bakau Batam di Titik Nadir
Meski demikian, Khusnul mengakui tak mudah untuk mendorong geliat ekonomi warga pesisir dengan skema ekowisata mangrove. Sering kali keberhasilan ekowisata ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia setempat.
Contohnya, ekowisata di Kampung Tua Bakau Serip mampu berkembang karena sudah ada upaya dari Gari yang memulainya dengan mengkoordinir warga. Hal ini menjadi tantangan untuk direplikasi di wilayah pesisir lain di Batam.
Selain itu, menurut Khusnul, para peneliti PSEK juga mendengar banyak keluhan dari warga mengenai masifnya aktivitas reklamasi yang merusak hutan mangrove. Lahan reklamasi ini sangat sulit direhabilitasi kembali.
Kekhawatiran serupa juga dirasakan oleh Gari dan Pokdarwis Pandang Tak Jemu. Beberapa titik hutan bakau di Kecamatan Bengkong, yang terletak di seberang Kampung Tua Bakau Serip, telah ditimbun.
Dampak reklamasi itu terasa sampai ke Kampung Tua Bakau Serip. Laut menjadi keruh dan dangkal akibat sedimentasi. Tangkapan nelayan menyusut karena ikan pergi menjauh dari kawasan itu.
Meskipun beragam tantangan merintang, warga Kampung Tua Bakau Serip tetap berniat meneruskan usaha menjaga kelestarian hutan mangrove. Sebagai masyarakat pesisir, hidup mereka banyak bergantung kepada alam sekitar.
"Hutan bakau yang melindungi kampung kami dari lautan. Nama kampung ini pun diambil dari situ. Kalau tak ada lagi hutan bakau, maka kampung ini juga akan ikut lenyap," ucap Gari.