Pembudidaya rumput laut di Kota Tarakan butuh dukungan pemerintah supaya harga stabil di tingkat bawah. Mereka juga perlu pendampingan agar hasil panen semakin bagus dan bisa terserap pasar ekspor.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Pada medio September 2022, untuk pertama kalinya Kota Tarakan, Kalimantan Utara, mengekspor rumput laut ke Vietnam. Kendati demikian, para pembudidaya rumput laut di kota itu masih butuh dukungan agar harga stabil di tingkat bawah. Mereka juga perlu pendampingan agar hasil panen semakin bagus dan bisa terserap pasar ekspor.
Pelepasan ekspor perdana rumput laut itu dilakukan pada 16 Oktober 2022 silam. Kegiatan tersebut dibuatkan acara khusus yang dihadiri berbagai pihak, termasuk Wali Kota Tarakan Khairul. Sedikitnya 52,4 ton rumput laut diekspor saat itu dengan nilai 152.200 Dollar AS atau Rp 2,3 miliar (kurs Rp 15.300 per dollar AS).
Rumput laut yang diekspor sebagian besar berasal dari Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan. Sebelumnya, rumput laut dari Kota Tarakan dikirim ke Makassar, Sulawesi Selatan atau Surabaya, Jawa Timur. Dari sana, rumput laut dipilah dan diolah, baru kemudian sebagian diekspor.
Kendati demikian, ekspor rumput laut ini masih belum menyelesaikan persoalan di akar rumput. Sejumlah petani rumput laut gelisah dengan harga yang tak menentu. Tusnawati (33), pembudidaya rumput laut di Pantai Amal, misalnya. Ia berharap harga rumput laut bagus dan stabil. Belum lama ini, harga rumput laut mencapai Rp 18.000 per kilogram.
“Sekarang harga turun Rp 13.000-Rp 14.000 per kilogram,” keluh Tusnawati sambil memasang bibit rumput laut di sebuah tali, Sabtu (24/9/2022).
Harga itu amat terasa bagi pembudidaya sepertinya. Harga yang bagus bisa membuatnya menabung saat kondisi cuaca buruk. Saat curah hujan tinggi, rumput laut yang sudah dipanen tak bisa dijemur. Para pengepul tak ingin membeli rumput laut basah. Para pembeli rumput laut biasanya mencari rumput laut kering untuk diolah menjadi berbagai produk.
Adapun para pembudidaya rumput laut di Pantai Amal hanya mengandalkan matahari untuk mengeringkan rumput laut. Mereka menebar rumput laut yang sudah dipanen di halaman rumah atau di bilik kayu tanpa atap di tepi pantai. Saat curah hujan tinggi, rumput laut tak bisa dijemur dan hanya ditumpuk di bilik-bilik.
Akibatnya, para pembudidaya rumput laut sulit memutar uang. Padahal, di tahap awal para pembudidaya rumput laut harus mengeluarkan modal untuk mengikat bibit. Sejumlah orang akan bekerja mengikat bibit rumput laut pada sebuah tali yang dikaitkan pada botol plastik. Pembudidaya rumput laut perlu membayar Rp 11.000 untuk jasa ikat bibit per helai tali.
Untuk satu petak lokasi pengapungan bibit, setidaknya ia harus butuh 50 helai tali yang sudah diikatkan bibit. Modal untuk jasa pekerjanya berarti Rp 550.000. Saat cuaca buruk, modal itu tak bisa kembali. Jika demikian, para pembudidaya harus berutang kepada pengepul.
“Kalau harga bagus, kami juga kerja nyaman. Bos tidak perlu pusing cari pinjaman untuk bayar kami,” ujar Marlina (55) yang sehari-hari bekerja sebagai pengikat bibit rumput laut.
Peluang ekspor merata
Selain di tingkat pembudidaya, pengepul rumput laut juga mengalami kendala lantaran hasil panen dari para pembudidaya hasilnya tak stabil. Misalnya, dalam waktu-waktu tertentu, saat curah hujan tinggi, rumput laut yang dipanen terkena penyakit jamuran atau ais-ais.
“Kami berharap pemerintah memberi bantuan berupa pelatihan bagi para pembudidaya rumput laut. Harapannya petani atau pembudidaya bisa mengelola rumput laut dengan baik agar hasil panennya bagus,” kata Asraf (35), pengepul rumput laut.
Selain itu, ia berharap pemerintah membuka pintu seluas-luasnya peluang ekspor bagi seluruh komponen di sektor rumput laut. Asraf selama ini hanya bermitra dengan para pembeli di dalam negeri. Rata-rata, mitranya menggunakan rumput laut kering sebagai bahan kosmetik. Ia belum mengetahui bagaimana mengekspor rumput laut.
“Birokrasinya belum terlalu mengerti. Tolong kami juga disosialisasikan agar bisa paham dan bisa dapat pembeli dari luar negeri langsung,” katanya.
Ditemui terpisah, Wali Kota Tarakan Khairul menjelaskan, kesempatan ekspor ke Vietnam di medio September 2022 karena ada pembeli yang datang ke Tarakan. Kesempatan itu disambut baik oleh perusahaan di Tarakan dan didukung oleh pemerintah setempat. Kendati demikian, ia menyadari masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki agar seluruh komponen di rantai bisnis rumput laut ini mendapat keuntungan.
Ada kalanya, pembeli rumput laut butuh pasokan barang banyak di saat curah hujan tinggi. Dalam kondisi tersebut, pembudidaya belum sanggup menyediakan rumput laut kering yang layak jual. Sejumlah persoalan lain, kata Khairul, juga akan dianalisis guna mengoptimalkan kuantitas dan kualitas rumput laut di Kota Tarakan.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020, Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan adalah penghasil rumput laut terbesar di Kalimantan Utara. Di tahun itu, Kabupaten Nunukan bisa menghasilkan 337.766 ton rumput laut. Adapun Kota Tarakan menghasilkan 185.492 ton. Potensi besar ini masih belum tergarap optimal jika mendengar keluhan di tingkat pembudidaya dan pengepul di atas.
“Kita akan coba cari akar masalahnya agar para petani bisa menghasilkan kualitas yang baik,” kata Khairul