Kemiskinan dan Ketimpangan di DIY Masih Jadi Tantangan bagi Sultan HB X
Sultan HB X dan KGPAA Paku Alam X kembali dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Masalah kemiskinan dan ketimpangan dinilai masih menjadi tantangan besar bagi keduanya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sultan Hamengku Buwono X dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam X kembali dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2022-2027. Masalah kemiskinan dan ketimpangan dinilai masih menjadi tantangan besar bagi Sultan dan Paku Alam. Untuk menyelesaikan dua masalah itu, harus ada kebijakan yang berpihak pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Sultan HB X dan Paku Alam X dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/10/2022). Pelantikan dilakukan setelah Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY oleh DPRD DIY pada 9 Agustus 2022. Sultan HB X telah menjabat sebagai Gubernur DIY sejak 1998.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Gubernur DIY harus dijabat oleh Raja Keraton Yogyakarta yang bergelar Sultan Hamengku Buwono, sementara Wakil Gubernur DIY dijabat oleh Adipati Kadipaten Pakualaman yang bergelar Adipati Paku Alam. Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga tidak dibatasi maksimal dua periode.
Meski begitu, masa jabatan keduanya tetap lima tahun. Oleh karena itu, setiap lima tahun sekali, Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertakhta harus ditetapkan lagi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Penetapan tersebut dilakukan oleh DPRD DIY.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias, mengatakan, persoalan yang dihadapi DIY masih sama dari tahun ke tahun, yakni kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Meski jumlah penduduk dan wilayah DIY tak terlalu besar, dua masalah tersebut ternyata tak kunjung bisa dituntaskan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di DIY pada Maret 2022 sebesar 11,34 persen. Angka itu lebih besar dari persentase penduduk miskin secara nasional yang mencapai 9,54 persen. DIY juga menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Jawa.
Selain kemiskinan, ketimpangan ekonomi juga masih menjadi persoalan di DIY. Hal ini tampak dari tingginya angka rasio gini di DIY. Data BPS menyebut, pada Maret 2022, DIY memiliki rasio gini 0,439. Angka itu membuat rasio gini di DIY menjadi yang tertinggi di Indonesia.
”Tingkat kemiskinan DIY masih di atas nasional. Selain itu, tingkat ketimpangan DIY juga lebih tinggi dari nasional. Kedua hal itu masih menjadi persoalan yang perlu disoroti,” kata Bayu saat dihubungi, Senin siang.
Bayu memaparkan, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY sebenarnya mempunyai anggaran yang cukup besar dengan adanya penyaluran dana keistimewaan (danais) dari pemerintah pusat. Apalagi, selama beberapa tahun terakhir, besaran danais mengalami peningkatan signifikan, yakni dari Rp 231 miliar pada 2013 menjadi Rp 1,32 triliun pada 2021 atau meningkat sekitar lima kali lipat.
Masalahnya, danais hanya bisa dipakai untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY yang mencakup lima bidang, yakni tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan pemerintah daerah, kebudayaan, pertanahan, serta tata ruang. Oleh karena itu, danais dinilai sulit jika digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan.
Data BPS menyebut, pada Maret 2022, DIY memiliki rasio gini 0,439. Angka itu membuat rasio gini di DIY menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Program-program penanggulangan kemiskinan, kata Bayu, lebih memungkinkan dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, pertumbuhan besaran APBD DIY tidak bergerak secepat danais. Menurut Bayu, pada 2013, nilai APBD DIY sebesar Rp 2,5 triliun, sementara pada 2021 sebesar Rp 6,09 triliun. Artinya, peningkatannya tak sampai tiga kali lipat.
”Pertumbuhan APBD DIY jauh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan danais. Pekerjaan rumah pemda adalah meningkatkan APBD, terutama memaksimalkan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraaan karena penanggulangan kemiskinan tidak bisa diambil dari danais,” kata Bayu.
Bayu mengungkapkan, Pemda DIY juga harus mengubah paradigma terkait investasi dengan berupaya menarik investasi di sektor padat karya. Sebab, investasi di bidang padat karya akan lebih berdampak bagi perekonomian masyarakat karena muncul potensi serapan tenaga kerja.
Selain itu, sebut Bayu, penanggulangan kemiskinan juga bisa dilakukan lewat optimalisasi desa wisata. Upaya optimalisasi perlu dilakukan karena rata-rata lama inap wisatawan di DIY hanya 1,5 hari. Kondisi itu dinilai terjadi karena kurangnya kolaborasi dari sesama pengelola desa wisata.
Apabila kolaborasi pengelolaan desa-desa wisata yang ada bisa dilakukan, lama menginap wisatawan di DIY diyakini bisa meningkat. Dengan begitu, perputaran uang di desa juga akan meningkat sehingga upaya mengatasi masalah kemiskinan bisa dilakukan dengan lebih baik.
”Tentu, kolaborasi ini dengan tawaran wisata yang berbeda-beda. Kita punya semua potensi, baik dari gunung, sungai, maupun laut. Ini adalah sektor yang riil dan bisa dilakukan. Ini tentunya akan berdampak langsung dari desa-desa wisata tersebut,” kata Bayu.
Upah rendah
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Kirnadi mengatakan, kemiskinan memang masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan di DIY. Selain itu, rendahnya Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY juga masih menjadi persoalan.
Pada tahun ini, besaran UMP DIY adalah Rp 1.840.915,53. Dari 34 provinsi di Indonesia, UMP DIY merupakan yang terendah nomor dua setelah Jawa Tengah.
Kirnadi mengatakan, apabila tak ada terobosan yang diambil oleh Pemda DIY untuk mendorong pemerataan kesejahteraan, bakal makin banyak pekerja di provinsi itu yang mengalami kesulitan ekonomi. Apalagi, kenaikan harga berbagai barang kebutuhan terus terjadi.
Di masa mendatang, Kirnadi menyatakan, para pekerja muda di DIY juga bakal kesulitan memiliki rumah. Hal ini karena kenaikan upah tahunan cenderung tidak signifikan, sementara harga properti di DIY naik sangat cepat.
Kirnadi memaparkan, Sultan HB X yang merupakan Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta semestinya mampu menghadirkan solusi terkait kesulitan masyarakat memiliki rumah. Dia menyebut, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah membuat perumahan khusus pekerja dari tanah-tanah milik Keraton Yogyakarta atau biasa disebut Sultan Ground.
Selain itu, lanjut Kirnadi, akses pendidikan tinggi juga bakal semakin sulit didapat oleh kaum pekerja yang penghasilan bulanannya tak seberapa. Padahal, DIY dikenal sebagai ”Kota Pelajar” atau ”Kota Pendidikan” sehingga akses terhadap pendidikan tinggi seharusnya bisa didapatkan oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk para pekerja dengan upah rendah.
”Muaranya sama bagi saya. Akses buruh ke properti sangat kecil. Akses pendidikan juga sama kecilnya. Ini sangat miris jika pemerintah tidak bisa intervensi. Sebab, hanya akan menjadi lingkaran setan kemiskinan. Anak buruh tidak bisa berkembang dan menjadi miskin lagi di kemudian hari. Pengentasan rakyat miskin tergantung dari kemauan pemerintahnya,” kata Kirnadi.
Sementara itu, Sultan HB X mengatakan, ada empat hal prioritas yang akan dikerjakan dalam periode teranyar kepemimpinannya. Keempat hal tersebut berkait dengan masalah kemiskinan, ketimpangan wilayah, ketahanan pangan, dan lingkungan.
Perihal ketahanan pangan, Sultan memaparkan, Pemda DIY telah menjalin kontrak dengan para petani guna memastikan kecukupan pangan bagi masyarakat di DIY. Kontrak kerja sama berlangsung selama 10 tahun dan selalu bisa diperpanjang. Adapun total lahan di DIY yang ditanami tanaman pangan seluas 35.000 hektar.
”Lahan sebesar 35.000 hektar itu tidak boleh berkurang. Sekiranya ada petani yang mau menjual tanahnya, sebenarnya diperbolehkan. Tetapi, bupati harus bisa mencari petani lain yang punya lahan lain yang luasnya sama dengan yang akan dijual. Itu mesti dilakukan sebelum transaksi jual beli terjadi,” kata Sultan seusai pelantikan.
Sultan menambahkan, program ketahanan pangan tersebut sebenarnya telah berlangsung selama tujuh tahun terakhir. Dengan model kerja sama itu, dia mengklaim kebutuhan pangan masyarakat DIY bisa tercukupi. Sultan menyebut, produksi tanaman pangan di DIY mencapai 980.000 per tahun, sementara kebutuhan pangan hanya 670.000 per tahun.
”Kami harap dengan kondisi seperti itu tidak ada masalah. Ini kami sedang melakukan verifikasi desa-desa mana yang kecukupan pangan dan mana yang tidak karena kondisi geografisnya tidak memungkinkan untuk surplus (produksi pangan),” kata Sultan.