Merawat Memori Mitigasi Gempa di Atas Patahan di Tapanuli Utara
Baru setahun Roy Manalu (44) menempati rumah barunya di Tapanuli Utara. Gempa M 5,8 merobohkannya dan hampir membunuh mereka. Kesadaran membangun rumah tahan gempa mulai ditinggalkan di atas Patahan Sumatera itu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Baru satu tahun Roy Manalu (44) menempati rumah barunya di Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Gempa bumi berkekuatan M 5,8 merobohkan rumahnya dan hampir menelan jiwa mereka sekeluarga. Sedikitnya 352 rumah rusak berat akibat gempa dan sebagian besar adalah rumah yang dibangun beberapa tahun terakhir.
Roy dan tiga anaknya hanya duduk termenung di dalam tenda darurat di depan rumahnya yang roboh di Desa Sisordak, Rabu (5/10/2022). Bekas luka di kepala Roy dan anak-anaknya belum sembuh. Roy pun belum berani pergi ke ladangnya. Mereka masih sangat trauma pada guncangan gempa yang hampir menewaskan mereka.
Roy dan tiga anaknya tidur di ruang tamu, Sabtu (1/10/2022) dini hari. Pukul 02.28, gempa yang mengguncang kuat membangunkan mereka. Dinding beton di hadapan mereka langsung roboh. Beruntung, dinding di belakang mereka roboh ke arah luar dan menyisahkan sedikit dinding beton.
Dinding yang menimpa mereka pun tertahan di dinding yang tersisa itu dan memberi sedikit ruang bagi mereka. Setelah sekitar 20 menit mereka bertahan di bawah dinding beton yang roboh, beberapa orang warga datang menolong.
Rumah Roy merupakan salah satu rumah yang rusak paling parah terdampak gempa Tapanuli Utara. Rumah satu lantai berukuran 6 meter x 12 meter itu rusak lebih dari 90 persen. Setelah melihat reruntuhannya, Roy menyadari rumahnya dibangun sama sekali tidak mempertimbangkan ketahanan pada gempa.
”Padahal, sudah turun-temurun kami selalu membangun rumah tahan gempa. Namun, saat membangun rumah ini saya sama sekali tidak ingat pada bahaya gempa,” kata Roy.
Merawat memori kesadaran pada mitigasi bencana, sekalipun di daerah yang sangat rawan bencana, memang bukan perkara mudah. Padahal, Roy yang lahir besar di daerah patahan itu sudah mengalami beberapa kali gempa besar. Ia pun belum lupa guncangan gempa berkekuatan M 6,0 pada 1987.
”Gempa itu membuat rumah panggung kayu yang kami tempati terbelah tiga, tetapi kami selamat. Karena sudah rusak berat, kami pun langsung membangun rumah baru,” kata Roy.
Rumah itu dibangun dengan prinsip tahan gempa karena bahaya gempa masih melekat di kepala. Fondasinya dibuat dari beton bertulang dengan kedalaman lebih dari 1 meter. Lantainya juga dibuat dari beton. Tiang dan dindingnya menggunakan kayu dengan sambungan yang kuat. Bangunan itu pun berdiri kokoh dan telah menghadapi beberapa kali guncangan gempa.
Berbeda dengan rumah baru Roy yang dibangun pada 2021. Kedalaman fondasinya hanya sekitar 30 sentimeter. Beberapa rangka besinya pun hanya tiga batang dari seharusnya empat. ”Saya sama sekali tidak ingat gempa saat membangun rumah ini,” kata Roy.
Di Tarutung, ibu kota Tapanuli Utara, gempa juga mengguncang rumah toko tiga lantai milik Nengsih Suryani Siregar (37) yang baru tiga bulan ditempati. Rumah tiga lantai termasuk langka di sana. ”Kami sempat terjebak karena pintu rumah tertahan keramik yang terjungkit ke atas,” kata Nengsih.
Nengsih dan semua keluarganya pun akhirnya bisa keluar dari rumah berukuran 6 meter x 21 meter itu. Namun, beberapa bagian rumah retak dan sebagian kecil dindingnya roboh. Saat membangun rumahnya, ia mengingatkan tukang agar struktur bangunan dibuat kokoh dan tahan gempa. Rumah toko sebelumnya adalah rumah kayu yang berdiri kokoh meskipun sudah diguncang gempa beberapa kali.
Kearifan lokal
Kearifan lokal mitigasi bencana di Tapanuli Utara sebenarnya sudah terbangun sejak dulu. Di beberapa daerah rawan gempa hingga kini masih dipertahankan banyak rumah kayu, termasuk di kota Tarutung. Rumah-rumah tapak kayu atau rumah panggung kayu di Tapanuli Utara bukan rumah adat Batak, melainkan rumah kayu yang lebih modern.
Di Desa Pansur Napitu, Kecamatan Siatas Barita, rumah panggung milik Misdi Manik (40) sudah ditempati paling tidak empat generasi. Ia memperkirakan umur rumah berukuran sekitar 8 meter x 10 meter itu berkisar 80-100 tahun. Tiang rumah panggung itu berdiri di atas batu yang membuatnya bisa meredam guncangan gempa.
Tiang rumah juga dibuat besar, kokoh, dan jarak antar tiang hanya 1 meter. Bahkan, di antara tiang vertikal itu masih dibuat tiang diagonal untuk memperkokoh bangunan. ”Saya sudah mengalami beberapa kali gempa dengan guncangan yang kuat,” kata Misdi.
Beberapa daerah di Tapanuli Utara memang berada persis di atas Patahan Sumatera mulai dari Pahae Jae, Siatas Barita, Tarutung, Sipoholon, sampai Parmonangan.
Daerah rawan
Ahli geologi, Indiyo Pratomo, mengatakan, jika dilihat dari atas Bukit Salib Kasih, tampak daerah itu berada dalam satu garis di bawah tebing yang merupakan Patahan Sumatera. Kawasan itu pun menjadi daerah yang sangat rawan bencana gempa.
”Kearifan lokal warga Tapanuli Utara pun sudah tumbuh turun-temurun. Ini yang harus dipertahankan,” kata Indiyo.
Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah I Medan Hendro Nugroho mengatakan, sebagai kawasan yang berada di daerah rawan gempa, bangunan tahan gempa sudah seharusnya menjadi standar di Tapanuli Utara. ”Sosialisasi dan edukasi harus terus dilakukan agar masyarakat selalu sadar kalau mereka tinggal di atas Patahan Sumatera,” kata Hendro.
Hendro mengatakan, gempa kerak dangkal terjadi di Tapanuli Utara dengan jarak waktu yang relatif singkat. Tapanuli Utara berada di Patahan atau Sesar Besar Sumatera tepatnya pada pertemuan Segmen Renun sejauh 220 kilometer dengan potensi kekuatan gempa maksimum M 7,8 dan Segmen Toru yang membujur ke selatan sejauh 95 kilometer dengan potensi kekuatan maksimum M 7,4.
BMKG pun mencatat beberapa histori gempa di Tapanuli Utara yakni pada 1916 dengan kekuatan M 6,8, tahun 1921 berkekuatan M 7,0, tahun1984 bermagnitudo 6,4, dan pada 1987 bermagnitudo 6,6. Pada 14 Juli 2011, juga terjadi gempa M 5,5 di sekitar Sarulla.
Hendro pun menyarankan agar pemerintah daerah mengevaluasi semua bangunan-bangunan di zona rawan gempa Tapanuli Utara. Bangunan yang sudah berdiri tanpa memperhatikan ketahanan pada guncangan gempa tidak harus dirobohkan, tetapi strukturnya diperkuat. ”Gempa tidak mematikan, tetapi struktur bangunan yang rapuh dapat mengancam jiwa,” kata Hendro.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tapanuli Utara Bonggas Pasaribu mengatakan, warga yang tinggal di daerah rawan gempa Tapanuli Utara sebenarnya sudah punya kearifan lokal. Struktur rumah beton yang ada saat ini, menurut Bonggas, dibangun lebih kuat dari rumah pada umumnya.
”Kesadaran masyarakat untuk memangun rumah tahan gempa sudah sejak dari dulu dimiliki masyarakat Tarutung. Namun, memang perlu terus diingatkan dan diedukasi agar melekat dalam ingatan masyarakat,” kata Bonggas.
Di beberapa kecamatan rawan gempa, lemari dan rak piring ditambatkan ke tembok dengan kawat. Bingkai-bingkai foto juga tidak hanya digantung di paku, tetapi diikat juga dengan tali ke pakunya. Banyak juga masyarakat yang tetap mempertahankan rumah kayu hingga saat ini.
Menurut Bonggas, hampir tidak ada korban yang terluka atau meninggal ditimpa struktur bangunan. Satu korban meninggal karena terjatuh dari tangga dan mengalami serangan jantung setelah gempa. Korban luka hampir semuanya tertimpa plafon atau lemari.
Di kota Tarutung yang sudah maju sejak dulu, umumnya bangunan hanya satu atau dua lantai. Sangat sedikit orang yang berani membangun rumah tiga lantai. Fondasi dan kekuatan gedung pun dibuat lebih baik oleh tukang-tukang yang juga punya kesadaran pada gempa. Memori publik pada mitigas bencana gempa di Tapanuli Utara pun harus terus dirawat.