Penelusur Sejarah di Kota Tarakan: Jiwa Muda, Berbeda, dan Pengingat Bahaya
Mereka seolah memberi peringatan kepada pengambil kebijakan. Dari temuan dan penelusuran mereka, ada tempat yang belum diisolasi atau dipasang papan peringatan padahal berpotensi bahaya.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Anak muda di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, berinisiatif menelusuri jejak-jejak sisa perang dunia II secara mandiri di kotanya. Mereka seolah memberi peringatan kepada pemerintah bahwa masih banyak tempat berbahaya yang belum diisolasi atau diberi papan peringatan lantaran ada kemungkinan terdapat bom aktif sisa perang.
Beberapa tahun silam, Che Ageng begitu antusias setelah mendapatkan buku berbahasa Jepang dari seorang kawan di Negeri Tirai Bambu. Meski tak mengerti bahasa Jepang, pria 39 tahun itu tak kehilangan antusiasme untuk mengetahui apa makna di balik huruf katakana, hiragana, dan berbagai kanji di dalamnya.
Sebagai mantan wartawan radio, buku itu ia dapatkan lantaran memanfaatkan pertemanan jaringan radio internasional, yakni jaringan radio NHK di Jepang. Buku bertajuk “Kekalahan Jepang di Tarakan” itu berisi ilustrasi dan cerita bagaimana kisah tentara Jepang menaklukkan Tarakan dan berperang dengan tentara Australia saat Perang Dunia II di Tarakan.
Sebagai orang yang bermukim di Pulau Tarakan yang secara administratif merupakan Kota Tarakan, ia penasaran dengan kisah-kisah peperangan yang ada di tempat tinggalnya. Kota Tarakan memang dikenal sebagai “Pearl Harbor-nya Indonesia” seperti judul buku Iwan Santosa “Tarakan Pearl Harbor Indonesia 1942-1945”.
Sebab, kota ini pernah dikuasai Jepang pada 1942 sekaligus menjadi tempat pertempuran antara tentara Jepang dan Australia dalam Perang Dunia II di Asia Pasifik. Minimnya literatur tentang sejarah besar di Tarakan itu membuat Che penasaran untuk mengulik apa yang terjadi dengan Kota Tarakan di masa silam.
Sekitar tahun 2018, ia bersama dengan sejumlah kawan di Oi, organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh penggemar musisi Iwan Fals, melaksanakan kegiatan Jelajah Khatulistiwa. Kegiatan itu berupa penjelajahan berbagai tempat untuk mengenal lingkungan sekitar. Saat itu, mereka berencana menelusuri sebuah tempat di Tarkan berdasarkan peta kuno yang ada di buku “Kekalahan Jepang di Tarakan”.
Dari sana, mereka memasuki sebuah hutan lindung yang terjal dan sulit dijangkau. Bahkan, mereka sampai bermalam. Di sana, mereka menemukan sebuah meriam yang sudah nyaris terkubur tanah. Mereka kemudian mengambil gambar dan video untuk mendokumentasikan temuan-temuan itu.
Mereka memprediksi, itu adalah bukit yang disebut Fukukaku, kawasan hutan yang jadi benteng pertahanan terakhir Jepang saat bertempur dengan Australia di Tarakan. Dari sana, mereka sadar bahwa seharusnya hutan itu perlu diisolasi dari jangkauan manusia.
“Seharusnya tempat ini diberi peringatan agar tak sembarang orang masuk. Bisa saja ada bom sisa perang yang masih aktif di sekitarnya dan membahayakan warga. Setidaknya, ada papan peringatan,” ujar Che yang juga Ketua Oi Tarakan, saat ditemui akhir September 2022.
Baca juga:
Di hari kemudian, mereka menyerahkan sejumlah temuan-temuan perang dunia II kepada pemerintah untuk didata atau menambah koleksi museum. Dari pengalaman itu, mereka semakin penasaran untuk menggali naskah-naskah lama yang bisa mereka jangkau. Che tak sendiri. Ia punya teman di Oi yang juga senang mengulik sejarah, yakni Yusuf Sofian (31).
Yusuf mengakses dan mencari data intelejen Australia yang sudah dibuka ke publik melalui situs resmi. Dari sana, ia menemukan sejumlah laporan intelejen yang baginya amat menarik. Salah satunya mengenai Amat, seseorang yang direkrut menjadi pembantu prajurit Jepang atau Heiho.
Dari sana, ia mendapat sedikit gambaran mengenai Heiho, yakni para penduduk lokal yang direkrut untuk membantu tentara Jepang dalam berbagai hal, seperti menyiapkan makan, mengangkut senjata, dan sebagainya. Heiho seperti Amat dalam keadaan mendesak diperbantukan untuk berperang membantu tentara Jepang.
Bahkan, nama Amat dijadikan sebuah lagu di masa silam, yakni “Amat Heiho Jantan Indonesia”. Salah satu liriknya berbunyi, “Amat Heiho jantan Indonesia/Nun di Tarakan membela negara”. Kendati demikian, laporan intelejen itu sangat sedikit mencatat Amat.
“Dia dari mana, siapa keluarganya, belum ada penjelasan. Ini juga yang saya masih penasaran dan ingin mencari sumber lain,” ujar Yusuf.
Tak hanya itu, mereka juga mencari arsip-arsip lama mengenai Tarakan dari perpustakaan. Dari sejumlah koran lama, Yusuf menemukan bahwa Tarakan sudah dilanda banjir dan krisis air sejak lama, beberapa tahun setelah kemerdekaan. Arsip-arsip itu menurutnya amat penting bagi kehidupan saat ini.
Dan, mereka semakin sadar bahwa masa lalu selalu aktual untuk dijadikan refleksi dan pijakan. Dari arsip-arsip itu, ia berpendapat, tempat-tempat yang rawan banjir seharusnya tak dibangun pemukiman sebelum diberikan perlakuan khusus dan mitigasi. Nyatanya, sampai saat ini Kota Tarakan masih mengalami banjir saat hujan deras.
Meski tak memiliki latar belakang pendidikan arkeologi atau sejarah, mereka punya ambisi untuk menulis tentang sejarah Kota Tarakan. Dari sejumlah penelusuran tempat dan catatan yang sudah dilakukan, mereka ingin pula menarasikan tempat mereka tinggal.
“Semoga itu bisa terwujud,” ujar Che.
Sejarah lokal
Sejumlah pemuda di Oi Kota Tarakan, meskipun organisasinya tak fokus dalam isu sejarah, secara langsung atau tak langsung berkontribusi menggaungkan wacana sejarah lokal bagi pemuda. Mereka membuat konten di media sosial hingga menginisiasi diskusi di lingkaran-lingkaran kecil di luar komunitas sejarah yang sudah eksis, yakni Tarakan Tempo Doeloe.
Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Tarakan menyadari betapa energi para pemuda ini perlu disalurkan dan dikelola. Kepala Bidang Kebudayaan Disporapar Kota Tarakan Abdul Salam mengatakan, sejumlah temuan dan penelusuran literatur para pemuda itu bukan hal baru.
Pemerintah, kata Abdul, sudah pernah menelusurinya. Kendati demikian, ia menghargai semangat para pemuda tersebut. Pihaknya berencana membuat lokakarya penulisan sejarah dan sosialisasi mengenai penanganan temuan benda yang diduga cagar budaya atau peninggalan penting dari masa silam. Dalam peraturan, setiap orang yang menemukan benda yang diduga benda bersejarah tak boleh langsung mengangkatnya atau memindahkan. Itu bertujuan agar benda tersebut tetap di tempat aslinya untuk diteliti lebih lanjut.
“Rencananya dalam waktu dekat kami akan mengadakan kemah budaya. Di sana, kami sekaligus akan melakukan sosialisasi mengenai tata cara memperlakukan benda yang diduga benda cagar budaya. Pelatihan menulis sejarah juga sedang kami rencanakan,” katanya.
Meskipun Oi Kota Tarakan tak sepenuhnya diisi oleh orang-orang berusia muda, tetapi semangat mereka menunjukkan jiwa muda yang terus menggali asal-usul kotanya. Mereka seolah menjadi energi alternatif untuk mewacanakan kota mereka.