Pembangunan Kota Berkelanjutan Masuki Babak Baru Setelah Pandemi
Pembangunan kota dan permukiman penduduk di Asia memasuki babak baru setelah pandemi Covid-19. Kolaborasi dibutuhkan mengatasi masalah ini.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pembangunan kota dan permukiman secara berkelanjutan di negara-negara di Asia memasuki babak baru setelah pandemi Covid-19. Tantangan yang dihadapi para pengelola kota semakin beragam seiring meningkatnya urbanisasi dan terjadinya perubahan iklim global.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, urbanisasi dan perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi kota-kota di Indonesia. Arus urbanisasi yang terus meningkat berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendorong kemajuan sektor industri.
”Akan tetapi, banyak pengelola kota tidak mengantisipasi dampak multidimensi dari peningkatan urbanisasi. Salah satunya menuntut penyediaan infrastruktur layanan dasar,” ujar Basuki saat memberikan sambutan secara virtual pada Eastern Regional Organization for Planning and Human Settlement (EAROPH) World Congress yang ke-28 di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (6/10/2022).
Basuki menambahkan, Kementerian PUPR bertanggung jawab mengembangkan kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Hal itu dilakukan dengan menyediakan kebutuhan air bersih dan sanitasi dasar hingga mengentaskan kawasan kumuh.
EAROPH merupakan organisasi lintas institusi yang sudah berusia 66 tahun. Organisasi ini awalnya berada di New Delhi dan sejak 1970-an sekretariat dipindahkan ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Tahun ini, kongres EAROPH mengusung beberapa tema seperti kota masa depan dan program perencanaan setelah Covid-19 dan mitigasi risiko bencana secara terintegrasi dalam kota dan perencanaan regional. Selain itu, inisiatif percepatan pemulihan ekonomi setelah Covid-19 dan aspek keberlanjutan dalam urbanisasi dan permukiman manusia.
Presiden EAROPH periode 2022-2024 Emil Elestianto Dardak mengatakan, pola hidup masyarakat berubah drastis di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Pola perubahan itu semakin cepat karena pandemi Covid-19. Situasi itu menciptakan tantangan baru bagi pengelola kawasan perkotaan.
Pada saat bersamaan dunia tengah menghadapi perubahan iklim global yang berpotensi memicu terjadinya cuaca ekstrem. Cuaca ekstrem tersebut berpotensi memicu bencana seperti banjir dan tanah longsor yang menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
”Menyikapi kondisi tersebut, perlu membangun sebuah strategi baru (pengelolaan kawasan perkotaan dan permukiman). Strategi ini tidak bisa dipikirkan secara sepotong-sepotong. Perlu kolaborasi para pakar dari berbagai negara di dunia untuk mencari solusi yang tepat dan dapat menyelamatkan bumi,” ujar Emil.
Sementara itu, dalam diskusi panel peserta kongres yang mulai bergulir, muncul dorongan yang kuat agar kota-kota di dunia mulai memikirkan keberlanjutannya. Di Indonesia, misalnya, pemerintah pusat bekerja sama dengan sebuah lembaga dari Jerman mengembangkan inisiatif infrastruktur hijau di Jatim.
”(Pengembangan infrastruktur hijau) Ini adalah suatu lompatan yang dibutuhkan untuk membangun kota yang lebih ramah lingkungan,” kata Wakil Gubernur Jatim itu.
Contoh lainnya, menurut dia, adalah isu jalan tol yang disampaikan oleh peserta kongres dari sektor swasta. Jalan tol mengandalkan mobilitas kendaraan pribadi sehingga ada kekhawatiran bersinggungan dengan upaya pengembangan transportasi umum. Namun, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Pengembangan kendaraan umum berbasis bus masih bisa disinergikan dengan jalan bebas hambatan.
Wali Kota Kuala Lumpur Datuk Seri Haji Mahadi menambahkan, sebagai sebuah kota yang sangat dinamis dan maju di wilayah Asia Tenggara, Kuala Lumpur menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Salah satunya di bidang lingkungan hidup, yakni pembuangan sampah plastik yang berdampak buruk pada pelestarian alam. Plastik yang dibuang ke sungai, selokan, dan laut juga mengancam kelestarian ekosistem biota yang ada di dalamnya.
”Apalagim plastik merupakan material yang sulit hancur, bahkan bisa bertahan hingga 50 tahun,” ujar Datuk Seri Haji.
Dia menambahkan, dalam mencari solusi problematika perkotaan, termasuk penanganan sampah plastik, pihaknya membuat kajian yang dibantu oleh beberapa pihak, termasuk lembaga di luar pemerintah. Berdasarkan kajian itu, Kuala Lumpur menargetkan bebas dari sampah plastik yang mencemari sungai ataupun laut pada tahun 2030.
Datuk Seri Haji mengatakan, sumbangan pemikiran para pakar sangat penting dalam kongres EAROPH ini. Selain itu, tukar pengalaman dari para pengelola kota-kota di sejumlah negara dalam mengatasi persoalan di wilayah masing-masing juga memberikan inspirasi yang sangat berharga.
Selain sampah plastik, menurut Datuk Seri Haji, persoalan yang dihadapi kota-kota di negara-negara di dunia saat ini adalah kemacetan lalu lintas. Masalah kemacetan lalu lintas ini setidaknya dihadapi Jakarta, Kuala Lumpur, Manila, dan Bangkok. Kondisi kemacetan itu semakin lama semakin parah.
”Di sinilah perlunya dilakukan berbagi pengalaman bagaimana kota-kota tersebut mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di wilayah masing-masing,” ucapnya.
Terkait isu perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan cuaca ekstrem sehingga memicu bencana yang akan merugikan masyarakat, salah satu solusi adalah membangun komitmen yang kuat untuk tidak menyumbang kenaikan suhu dunia sebesar 1,5 derajat celsius.
Datuk Seri Haji berpendapat, EAROPH bisa dijadikan wadah bertukar pemikiran dan pengalaman tentang beragam permasalahan yang mendera kota dan permukiman masa kini agar bisa mencari solusi yang tepat guna menjaga kelangsungan kota itu sendiri.