Tradisi membersihkan gamelan sekaten yang berusia ratusan tahun masih lestari di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Ritual ”nyiram” gong sekaten ini pun menjadi ajang memanen berkah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Tradisi nyiram gong sekaten di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya membersihkan gamelan berusia ratusan tahun, tetapi juga jadi ajang memanen berkah. Mulai dari harapan tubuh sehat hingga sawah subur. Warga pun berebut bekas cucian gamelan sekaten.
Miaulfa (51) beranjak dari rumahnya di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Cirebon, Selasa (4/10/2022), sekitar pukul 07.00. Bersama tetangganya, ia menumpang angkot menuju Keraton Kanoman yang berjarak 12 kilometer. Mereka membawa nasi tumpeng yang dibuat saat subuh.
Sesampainya di lokasi setengah jam kemudian, Miaulfa langsung menuju Langgar Alit. Di sana, sekitar 100 warga dan abdi dalem keraton sudah berdiri. Sejumlah mahasiswa serta awak media dengan kamera juga datang. Saking padatnya, petugas sampai menutup dua pintu masuk.
Sekitar pukul 08.30, rombongan keluarga keraton dan nayaga masuk ke Langgar Alit. Mengenakan pakaian adat, mereka berjalan kaki membawa gamelan berupa saron, gong, dan bonang. Seorang di depan barisan membawa kemenyan yang terbakar. Selawat ikut mengiringi.
Selanjutnya, nayaga menata gamelan sekaten di atas balok. Keluarga keraton kemudian memanjatkan doa dan berselawat sebagai tanda mulainya pencucian pusaka. Nayaga pun membasuh gamelan menggunakan air kembang dan air kelapa hijau yang difermentasi semalam.
Para nayaga lalu mengusap gamelan dengan tepes (kulit kelapa kering) dan bubuk bata merah. Bahan itu diyakini memperlambat gamelan dan gong berkarat. Mereka mencuci dengan pelan 3 gong besar, 20 bonang, dan 6 rangkaian saron. Apalagi, salah satu gong sudah retak dan pecah.
Suasana yang tenang menjelma riuh saat ritual pembersihan pusaka atau nyiram gong sekatenselesai. Anak muda, orang tua, hingga nenek-nenek berdesak-desakan, berebut bahan bekas pencucian pusaka. Namun, semuanya aman. Tidak ada yang terinjak atau tertembak gas air mata.
Miaulfa, misalnya, sambil tersenyum memasukkan air kembang bekas pembersihan ke botol plastik. Ia juga memungut bubuk bata merah di lantai dan menaruhnya dalam daun mangga. ”(Bubuk) ini buat apa aja. Bisa digosok di jimat atau ditaruh di warung supaya laris,” katanya.
Namun, Miaulfa tidak punya jimat, apalagi warung. ”Saya mau kasih (air dan bubuk bata merah bekas pencucian gamelan sekaten) untuk siapa saja, enggak dijual. Ada yang butuh untuk bangun rumah atau simpan di warungnya. Jadi, enggak usah jauh-jauh ke sini (keraton),” ujarnya.
Bagi ibu satu anak dan nenek satu cucu ini, saat membagi air dan bubuk bata merah, hubungannya dengan tetangga kian guyub. Katanya, inilah berkah dari tradisi nyiram gong sekaten. ”Ada juga yang ngasih (uang) untuk beli es. Ha-ha-ha,” ujar ibu rumah tangga ini.
Apalagi, sejak kecil, Miaulfa bersama sang ayah sudah mengikuti tradisi ini. ”Saya ke acara ini dari dulu, waktu ongkos angkutan Rp 50 per orang. Sekarang, kalau sewa mobil ke sini, sudah Rp 20.000 per orang. Bapak sudah meninggal. Saya nerusin (kegiatan) bapak ke sini,” ujarnya.
Seperti Miaulfa, Watini (60) juga memburu air bekas pencucian pusaka. Nenek delapan cucu ini menyerap air dalam ember itu menggunakan kain. Tangan keriputnya lalu memeras kain hingga tetes demi tetes air masuk ke jeriken kecil. Seperti pengunjung lainnya, bajunya juga basah.
”(Air) ini buat sawah, buat dagang, buat wong sakit,” ucap warga Pegagan Kidul, sekitar 20 kilometer dari keraton, ini. Rencananya, Watini bakal menyiram air itu ke sawah seluas 3,5 hektar yang ia sewa Rp 60 juta per tahun. Sawah itu menjadi tumpuan hidup ibu enam anak ini.
Ia berharap, air itu mampu menyuburkan sawahnya yang kerap kekeringan saat musim kemarau. ”Apalagi, harga pupuk sekarang naik. Semoga modal saya kembali dan untung. Saya juga sudah daftar haji. Mudah-mudahan bisa berangkat,” ucap Watini yang selalu ikut nyiram gong sekaten.
Erna (35), warga Pegagan Lor, menyimpan kulit kelapa kering bekas pencucian pusaka. ”Saya ambil ini untuk ditaruh di pojok sawah biar tikusnya pada takut. Jadi, sawahnya subur. Sabuk kelapa ini juga bisa dibakar kalau habis panen. Alhamdulillah, hasilnya lumayan,” katanya.
Gamelan sekaten
Juru Bicara Kesultanan Kanoman Ratu Raja Arimbi mengatakan, warga kerap mengambil bahan bekas tradisi nyiram gong sekaten untuk mendapatkan berkahnya. Berkah yang dimaksud bermacam-macam, seperti silaturahmi, hasil panen yang bagus, dan kesehatan.
”Makna sebenarnya adalah mensyukuri nikmat Tuhan dan mengharap berkah. Bahan yang digunakan, seperti air dan kelapa, semuanya dari alam. Ciptaan Tuhan juga. Ini mengingatkan, kita. Bagaimanapun kita akan kembali kepada Yang Maha Kuasa,” ujar Ratu Arimbi.
Menurut Arimbi, nayaga dan keluarga keraton juga telah bermunajat dan berselawat saat membersihkan pusaka itu dengan air dan bahan lainnya. Itu sebabnya, ada warga yang meminum air itu. Meski demikian, belum ada penelitian ilmiah terkait dampak bahan itu bagi kesehatan.
Ratu Arimbi menjelaskan, tradisi nyiram gong sekaten merupakan momentum membersihkan diri menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Keraton pun baru mengeluarkan dan mencuci gamelan yang berusia sekitar 500 tahun itu setahun sekali, menjelang maulid.
Sebelum tersimpan di Keraton Kanoman, gamelan sekaten merupakan pemberian Sultan Trenggono, Raja Demak Bintoro III, kepada Ratu Wulung Ayu, pada 1520. Ratu Wulung Ayu adalah putri Sunan Gunung Jati dengan istri Nyimas Tepasari dari Majapahit.
Sunan Gunung Jati merupakan pemimpin Cirebon pada 1479-1569. Dia adalah salah satu Wali Sanga, tokoh besar penyebar agama Islam di tanah Jawa. Gamelan itu jadi hadiah bagi Ratu Wulung Ayu yang baru saja ditinggal wafat suaminya, Adipati Unus Raja Demak Bintoro II.
Ratu Wulung Ayu lalu membunyikan gamelan sekaten pada bulan maulud. Dalam perjalanannya, tabuhan gamelan dan tembangnya jadi media penyebaran ajaran Islam. Kala itu, imbalan atau ”tiket” untuk menyaksikan gamelan sekaten adalah syahadat.
Sekaten berasal dari kata syahadatain atau bersyahadat. Sekaten juga bermakna sekati atau sesuka hati, serela hati. Artinya, pembunyian gamelan sekaten harus atas kerelaan hati. ”Bagi yang belum memeluk Islam juga tetap bisa sukarela menikmati gamelan sekaten,” ucapnya.
Kerelaan hati itu juga merujuk pada keikhlasan siapa pun berbagi rezeki saat gamelan sekaten dibunyikan. Tidak heran, warga memberikan uang kepada nayaga, pemain gamelan. Warga bisa menikmati bunyi gamelan itu pada waktu tertentu sejak Selasa malam hingga pekan depan.
Siapa pun boleh mendengar bunyinya. Sebab, tradisi nyiram gong sekaten tidak hanya menjaga suara pusaka itu tetap utuh, tetapi juga menjadi momentum memanen berkah, mensyukuri nikmat Sang Pencipta, menyucikan diri, dan saling memberi.