Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali Berdalih Belum Tunjuk Pelaksana Ekskavasi
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali berdalih belum menunjuk pihak tertentu guna mengekskavasi dugaan temuan obyek diduga berstruktur candi di Kecamatan Sawit. Di lapangan, ekskavasi sempat berlangsung.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Sejumlah peneliti mengecek dugaan temuan cagar budaya di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (4/10/2022). Aktivitas penggalian sempat dihentikan sementara karena belum ada koordinasi dengan BPCB Jateng selaku yang berwewenang dalam pengelolaan cagar budaya di wilayah tersebut.
BOYOLALI, KOMPAS — Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali berdalih belum menunjuk pihak tertentu guna mengekskavasi dugaan temuan obyek yang diduga berstruktur candi di Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Instansi tersebut menyatakan telah memahami prosedur penyelamatan dan pelestarian cagar budaya serupa. Hal itu berbeda dengan temuan lapangan yang menunjukkan seolah ekskavasi telah berlangsung lebih dahulu.
Ekskavasi tersebut dilakukan pada obyek yang diduga cagar budaya berstruktur menyerupai candi di Desa Tlawong, Kecamatan Sawit. Pelaksanaannya ditandai dengan kegiatan bedah bumi, Kamis (29/9/2022). Kegiatan itu diketahui komunitas Boyolali Heritage Society. Lantas, mereka melaporkannya kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (BPCB Jateng).
Setelahnya baru diketahui, kegiatan itu berlangsung tanpa koordinasi dengan lembaga tersebut. BPCB Jateng meminta agar kegiatan tersebut dihentikan sejak Minggu (2/10/2022). Penghentian aktivitas untuk mengetahui kejelasan dan kapabilitas dari pihak-pihak yang melakukan ekskavasi.
Salah satu batuan yang diduga cagar budaya di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (4/10/2022). Aktivitas penggalian yang sempat dilakukan dihentikan sementara. Sebab, belum ada koordinasi dengan BPCB Jateng, selaku yang punya wewenang dalam pengelolaan cagar budaya di wilayah tersebut.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boyolali Biyanto mengaku terkejut atas berlangsungnya kegiatan ekskavasi. Sebab, ia belum menunjuk ahli atau pihak tertentu guna melakukan ekskavasi. Aktivitas yang dilakukan hanya sebatas diskusi grup terarah mengenai pengelolaan cagar budaya di wilayah setempat. Belum ada rencana untuk meneliti lebih jauh dengan metode penggalian semacam itu.
”Saya juga ingin memastikan dulu apakah itu benar-benar ekskavasi atau bukan. Awalnya memang ada FGD mengenai cagar budaya di wilayah sana. Itu untuk mengedukasi warga agar tidak merusak dan ikut melestarikan potensi-potensi cagar budaya yang ada di lingkungan mereka,” kata Biyanto saat dihubungi pada Rabu (5/10/2022).
Biyanto tak memungkiri, di sela-sela diskusi terarah ada perbincangan soal pembersihan lokasi situs diduga cagar budaya. Itu disebabkan kondisinya yang dipenuhi tumpukan jerami dan tak terawat. Rencana pembersihan juga sudah dikomunikasikan dengan perangkat desa setempat. Namun, ia tak mengira aktivitas pembersihan diikuti kegiatan lain serupa ekskavasi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga menonton hasil ekskavasi Candi Sirih di Desa Karanganyar, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah, Mei 2019. Ekskavasi dilakukan untuk mengungkap struktur yang mengelilingi candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi tersebut.
Selain itu, Biyanto juga mengaku sudah memahami mekanisme pelaksanaan ekskavasi. Kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan sepihak. Perlu ada laporan terlebih dahulu pada instansi yang berwenang mengurus cagar budaya, yakni BPCB Jateng, mengingat lokasi temuan berada di wilayah kerja lembaga tersebut.
Dihubungi terpisah, dosen arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, Fahmi Prihantoro, mengatakan, pelaksanaan ekskavasi harus disertai izin dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Tak terkecuali BPCB selaku pemangku wilayah tempat ditemukannya benda diduga cagar budaya. Ia menilai, keikutsertaan institusi tersebut cukup penting guna memastikan langkah-langkah yang dilakukan dalam ekskavasi tersebut sesuai dengan aturan dan memenuhi kaidah arkeologis.
Lebih lanjut, Fahmi menyampaikan, kekhawatiran yang muncul jika ekskavasi tak sesuai prosedur ialah aspek penyelamatan benda cagar budaya. Temuan-temuan cagar budaya semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Dengan adanya pemantauan dari BPCB, hendaknya bisa dipastikan tidak ada penyelewengan atas hasil temuan yang diperoleh.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Garis polisi dibentangkan di sekitar Candi Srigading di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Maret 2022 , guna menjaga agar orang yang tidak berkentingan masuk dan menimbulkan kerusakan pada situs yang tengah dalam proses ekskavasi oleh Tim arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur itu.
”Jadi, keterlibatan BPCB untuk mengantisipasi saja. Biar tidak ada hal-hal yang diselewengkan. Sebab, ini sebenarnya yang utama adalah penyelamatannya. Pascapenelitian nanti seperti apa penanganannya harus sesuai dengan prosedur. Itu instansi yang membawahi adalah BPCB,” kata Fahmi.
Sementara itu, Ketua Boyolali Heritage Society Kusworo Rahadyan mengatakan, langkah pemerintah daerah untuk berinisiatif melakukan penyelamatan obyek diduga cagar budaya sebenarnya patut diapresiasi. Namun, inisiatif tersebut hendaknya memenuhi mekanisme yang berlaku. Diharapkan, upaya-upaya penyelamatan tak berujung pada penyelewengan akibat prosedur penelitian yang kurang tepat.
”Semoga temuan ini bisa segera ditangani dengan baik. Langkahnya sudah benar, tetapi prosedurnya mungkin agak kurang pas. Ada hal-hal yang terlewatkan,” kata Kusworo.