Pemulihan Psikologis Dilakukan, Masyarakat Diminta Menahan Diri
Penyelidikan dalam tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang hingga saat ini masih berjalan. Namun jangan dilupakan, pentingnya pemulihan trauma terhadap para korban dan keluarganya. Aremania diminta menahan diri.
MALANG, KOMPAS — Penyelidikan dalam tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang hingga saat ini masih berjalan. Sanksi atas sejumlah pelanggaran juga telah diberikan. Namun jangan dilupakan, pentingnya pemulihan trauma terhadap para korban. Aremania pun diminta menahan diri agar tidak terjadi tragedi susulan.
Korban meninggal tragedi Kanjuruhan akan meninggalkan beban psikologis. Psikolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hudaniah, mengatakan, setiap keluarga korban meninggal pasti merasakan kehilangan. Tingkat kehilangan itu akan berbeda-beda.
”Ada korban yang menjadi tulang punggung, anak pertama, anak tunggal, suami, anak, dan lainnya. Semakin kuat peran korban di keluarganya, maka semakin tinggi pula tingkat kehilangannya. Jika korban seorang ayah yang menjadi tulang punggung, kehilangan akan terasa sangat sakit bagi istri dan anak-anak. Pun dengan peran korban lainnya,” kata Hudaniah, Selasa (4/10/2022).
Baca juga: Tragedi Sepak Bola di Malang, Penonton Tewas Capai 127 Orang
Oleh karena itu, menurut Hudaniah, salah satu cara untuk mengurangi rasa kehilangan tersebut adalah dengan memberikan dukungan sosial.
”Yaitu bagaimana keluarga, tetangga, atau lembaga pemerintahan terdekat seperti rukun tetangga (RT) maupun rukun warga (RW) bisa menemani dan menenangkan. Kemudian, jika sudah membaik, keluarga yang ditinggalkan bisa beranjak dan melakukan langkah lain untuk melanjutkan hidup. Para kerabat juga bisa membantu baik dari segi material maupun non-material,” paparnya.
Adapun terkait hal itu, UMM menurunkan tim trauma healing untuk tragedi Kanjuruhan. Tim psikolog dari Fakultas Psikologi pun diterjunkan untuk mendampingi keluarga korban.
”Kami berupaya hadir, menemani, dan mendengarkan keluh kesah keluarga yang ditinggalkan. Itu saya rasa bisa membantu. Kami juga berpesan agar jangan sampai para tetangga menanyakan kronologi dan kejadiannya. Karena hal itu malah akan memperburuk keadaan,” kata Hudaniah.
Namun, memang tidak semua korban tragedi Kanjuruhan mau mendapatkan penanganan medis. Fajar Hari (41), salah satu korban pemukulan aparat dalam tragedi tersebut, disebut enggan mendapatkan perawatan dari pemerintah karena malu.
”Adik saya itu terkena pukulan helm petugas. Saya sudah menyuruhnya datang ke posko untuk periksa, minimal biar mendapatkan obat kalau dibutuhkan. Namun dia bilang dia malu. Malu sama korban meninggal,” kata Fongki, kakak Fajar. Akhirnya, Fajar pun berusaha mengobati dirinya sendiri.
Baca juga: Dampak “Tragedi Kanjuruhan”, Kompetisi Dihentikan Sepekan dan Hukuman Berat Menanti Arema
Jadi, masalah-masalah kemanusiaan kita utamakan. Saya yakin, manajemen Arema juga melakukan itu. (Marzuki Mustamar)
Hingga saat ini, korban luka-luka masih dirawat di sejumlah rumah sakit. Di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang, tim medis telah mengidentifikasi 21 jenazah. Saat ini, mereka menangani 56 korban luka di instalasi gawat darurat (IGD).
”Kami tangani 21 jenazah untuk diidentifikasi, dan itu sudah kami lakukan. Saat ini ada 56 korban masuk IGD, 26 bisa pulang dan 30 dirawat. Sebanyak 7 di antaranya di ruangan ICU,” kata Direktur RSSA Malang Kohar Hari Santoso.
Kohar menjelaskan, rata-rata korban meninggal yang ditangani RSSA disebabkan karena trauma.
”Penyebabnya bukan luka bakar, tetapi karena benturan, jatuh karena berdesak-desakan, jadi terbentur kepalanya, dadanya, kesadaran menurun, bikin sesak, patah tulang, seperti itu. Penyebab kematian terbanyak jadi karena trauma itu. Misal benturan keras di kepala, pendarahan di otak, maka bisa meninggal. Atau dada tertekan, tidak bisa bernapas, ya, meninggal,” katanya.
Menahan diri
Adapun terkait tragedi Kanjuruhan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta Aremania (pendukung kesebelasan Arema FC) menahan diri untuk menghindari ledakan sosial. Hal itu terjadi pada saat Muhadjir bertemu dengan puluhan Aremania di Stadion Gajayana, Kota Malang, Senin (3/10/2022) tengah malam.
”Semua prihatin atas insiden di Stadion Kanjuruhan. Tapi saat ini saya minta Aremania untuk menahan diri. Mari, kita ciptakan suasana kondusif. Jangan sampai ada lagi korban berjatuhan. Sudah cukup. Terlalu mahal nyawa hanya untuk sepak bola,” kata Muhadjir.
Seruan itu dilakukan karena sempat ada tulisan-tulisan provokatif untuk mendorong Aremania melawan, atas insiden yang merenggut ratusan nyawa teman-temannya itu.
Baca juga: Evaluasi dan Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan
Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar juga turut bersuara atas tragedi itu. Ia menyampaikan belasungkawa atas kejadian di Stadion Kanjuruhan itu. Ia mengingatkan, masalah kemanusiaan tetap harus diutamakan atau didahulukan dan masyarakat menahan diri dari tindakan-tindakan yang kontraproduktif.
Marzuki mengatakan, semua sama-sama sedih dan prihatin dan berbelasungkawa atas kejadian ini. Ia mengimbau warga NU di mana pun untuk shalat Ghaib terkait kejadian ini. Kedua, pihaknya sudah bicara ke pemerintah dan polisi bahwa masalah kemanusiaan agar didahulukan.
”Yang sakit disembuhkan semaksimal mungkin, yang wafat diurus sesuai agama masing-masing, dan kemudian dari pemerintah provinsi, NU, dan lainnya ada sedikit santunan. Jadi masalah-masalah kemanusiaan kita utamakan. Saya yakin, manajemen Arema juga melakukan itu,” katanya.
Marzuki menambahkan, sebelum masalah kemanusiaan selesai, ia berharap semua pihak menahan diri.
”Sebelum masalah kemanusiaan selesai, kami mohon semua pihak, baik pegiat medsos, wartawan, dan lainnya tidak usah angkat masalah lain dulu. Yang tenang. Nanti setelah semua beres, kapolda mengatakan tetap ada proses hukum pada siapa pun. Cuman yang kita utamakan adalah masalah kemanusiaan,” katanya.
Baca juga: Arema FC Putus Kontrak Sponsor yang Diduga Terkait Judi ”Online”
Seruan menahan diri dan menjaga kota juga disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta. Hal itu disampaikan seusai mengunjungi RSSA Malang pada Selasa pagi. Nico berharap semua permasalahan bisa diselesaikan secara bersama-sama.
”Ini kota kita, ini tempat kita bersama, satu rumah. Ada permasalahan saya yakin bisa diselesaikan oleh orang yang tinggal di rumah tersebut. Kita semua bersaudara. Langkah-langkah ini pasti membawa hal yang positif. Terima kasih untuk semua dokter yang bekerja, terima kasih wagub mewakili pemrpov atas koordinasi yang sangat baik. Terima kasih untuk seluruh Aremania, tolong jaga kota ini, tolong jaga provinsi ini, ini milik kita,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Kapolda juga meminta maaf atas tragedi di Stadion Kanjuruhan. Ia mengaku prihatin dan menyesal atas tragedi itu.
”Saya sebagai kapolda merasa prihatin dan turut menyesal sekaligus minta maaf di dalam proses pengamanan ada kekurangan. Ke depan kami akan mengevaluasi bersama-sama dengan panpel, presiden liga, dan PSSI. Sehingga, harapannya pertandingan sepak bola ke depan, menjadi pertandingan yang aman, nyaman, dan bisa menggerakkan ekonomi,” katanya.
Selanjutnya, menurut Nico, Polri akan melakukan penegakan hukum pada siapa saja yang bersalah, setelah proses kemanusiaan selesai.
”Kami akan melakukan proses penegakan hukum pada siapa saja yang bersalah, setelah proses kemanusiaan selesai. Apalagi untuk anggota yang bersalah. Kemarin sudah diumumkan Pak Humas (Kadiv humas Polri), yang tentunya proses sedang berjalan,” katanya.
Baca juga: Aremania dan Identitas Sosial Arek Malang
Beda penanganan
Dosen Psikologi Sosial UMM, Fath Masyhuri, mengatakan, chaos seusai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya terjadi karena adanya persamaan perlakuan penanganan kerumunan oleh polisi. Hal-hal seperti itu harus dievaluasi agar kejadian memilukan itu tak pernah terulang lagi.
”Yang bisa dilakukan sekarang adalah memperjelas SOP pertandingan. Bahwa, menghadapi kerumunan suporter di stadion itu beda dengan menghadapi pendemo di lapangan. Kemarin tampaknya polisi menyamakan perlakuan antara suporter bola dan pendemo. Menghadapi suporter di lapangan harusnya lebih persuasif dan tidak represif seperti menghadapi demonstran,” katanya.
Tindakan represif, menurut Fath, justru akan memicu kerusakan lebih parah. ”Teorinya, dalam sebuah kerumunan akan terjadi homogenisasi aksi. Misal ada yang protes, maka sekelompok akan ikut protes. Homogenisasi aksi itu akan cenderung mengarah ke tindak kekerasan, apalagi kalau ditambah ada aksi provokasi,” katanya.
Dalam kerumunan itu, dalam aksi homogen itu, menurut dia orang akan cenderung kehilangan kapasitas diri sehingga tidak bisa rasional. “Yang meningkat adalah kekuatan menyakiti dan melakukan kekerasan,” katanya. Dalam situasi itu, seharusnya, tindakan represi yang memicu tindak kekerasan balasan harus dihindari.
Menurut dia, menghadapi suporter akan mudah dilakukan jika tokoh-tokoh kuncinya dikendalikan terlebih dahulu. Bahkan, untuk meleburkan sentimen kedaerahan pun, bisa dilakukan melalui petinggi di kelompok suporter tersebut.
”Konflik pendukung Arema-Persebaya, misalnya, akan lebih mudah dicairkan ketika petinggi kedua kelompok suporter mau menjalin hubungan baik terlebih dahulu. Hal itu harapannya akan bisa diikuti oleh anggota suporter lain,” katanya.