Mencermati Risiko Investasi Properti di Atas Tanah Kas Desa
Iming-iming rumah dan properti lain yang dibangun di atas tanah kas desa di Daerah Istimewa Yogyakarta terus bermunculan. Sebelum berinvestasi pada properti semacam itu, masyarakat perlu mencermati risiko yang ada.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·7 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Beberapa bangunan tampak berdiri di lokasi proyek Ambarrukmo Green Hills di wilayah Nologaten, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (14/9/2022). Proyek ini menjadi sorotan karena sebagian bangunan di proyek tersebut didirikan di atas tanah kas desa tanpa izin.
Meski legalitasnya dipertanyakan, iming-iming rumah dan properti lain yang dibangun di atas tanah kas desa di Daerah Istimewa Yogyakarta terus bermunculan. Agar tak dituding melanggar aturan, tawaran properti itu dibungkus dengan skema investasi, bukan jual beli. Sebelum memutuskan berinvestasi pada properti semacam itu, masyarakat perlu mencermati risiko yang ada.
Iklan rumah atau hunian murah yang diduga dibangun di atas tanah kas desa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bertebaran di media sosial dan situs penjualan properti daring. Di salah satu situs properti daring, Kompas menemukan iklan hunian di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY. Iklan tersebut dipasang sejak 6 September 2022 dan masih terlihat hingga Selasa (4/10/2022).
Iklan itu menawarkan hunian dengan luas bangunan 36 meter persegi, luas tanah 50 meter persegi, serta memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Hunian yang diklaim dekat dengan sejumlah perguruan tinggi dan pusat perbelanjaan itu ditawarkan seharga Rp 190 juta.
Harga tersebut tergolong sangat murah dan nyaris tidak masuk akal untuk rumah berlokasi di Kecamatan Depok yang merupakan lokasi premium untuk pembangunan properti di Sleman. Sebagai perbandingan, berdasarkan data di situs penjualan properti Lamudi.co.id, rata-rata harga rumah di Kecamatan Depok pada Juni 2022 adalah Rp 2,3 miliar.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani memanen padi di sawah yang dikepung perumahan di Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (29/4/2021). Semakin maraknya investasi di Sleman membuat alih fungsi lahan pertanian di kabupaten itu terus berlangsung.
Di dalam iklan tersebut, tak ada keterangan bahwa hunian itu dibangun di atas tanah kas desa. Oleh karena itu, konsumen bisa saja mengira hunian tersebut dibangun di atas tanah yang dilengkapi sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (HGB). Namun, saat ditanya terkait status tanah hunian itu, orang yang memasang iklan tersebut mengakui bahwa tanah yang dipakai adalah tanah kas desa.
Pihak pemasang iklan juga menyebut tanah tersebut dilengkapi dengan HPL. Saat ditanya apa itu HPL, dia menyebutnya sebagai hak pemanfaatan lahan. Namun, dalam dunia pertanahan, HPL merupakan singkatan dari hak pengelolaan atas tanah.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak pengelolaan (HPL) tidak disebut secara eksplisit. Namun, sejumlah referensi menyebut, HPL berasal dari hak menguasai negara atas tanah. Secara sederhana, HPL adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL.
Akan tetapi, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Krido Suprayitno mengatakan, pemerintah desa tidak bisa menerbitkan HPL. Oleh karena itu, keabsahan HPL terkait properti yang dibangun di atas tanah kas desa pun dipertanyakan. ”Apakah desa boleh menerbitkan HPL? Tidak boleh. Desa bukan lembaga yang sah untuk mengeluarkan HPL,” katanya.
NINO CITRA ANUGRAHANTO
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta Krido Suprayitno
Audit
Selama beberapa waktu terakhir, keberadaan rumah atau properti yang dibangun di atas tanah kas desa di DIY memang menjadi sorotan. Kondisi itu terjadi setelah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengirim somasi kepada sebuah perusahaan yang mendirikan bangunan di atas tanah kas desa di wilayah Nologaten, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman.
Berdasarkan data Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, perusahaan itu telah mendapat izin pemanfaatan tanah kas desa dengan luas sekitar 5.000 meter persegi. Namun, perusahaan itu juga mendirikan bangunan di atas tanah kas desa seluas 11.215 meter persegi yang belum mendapat izin.
Akibatnya, Sultan HB X pun mengirim somasi dan memerintahkan pembangunan di atas tanah kas desa seluas 11.215 meter persegi itu dihentikan. Selain soal izin, status bangunan yang didirikan oleh perusahaan itu juga dipertanyakan. Sebab, meski perusahaan mengklaim bangunan tersebut sebagai guest house atau penginapan, proyek properti itu justru diiklankan sebagai perumahan.
Krido menyatakan, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY dan sejumlah pihak terkait akan melakukan audit terhadap pemerintah desa yang mengizinkan pembangunan rumah di atas tanah kas desa. Audit dilakukan karena Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa melarang penggunaan tanah desa untuk rumah tempat tinggal.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan di lokasi proyek Ambarrukmo Green Hills di wilayah Nologaten, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (14/9/2022).
Dalam Pasal 59 Pergub DIY No 34 Tahun 2017 disebutkan, setiap pengguna tanah desa dilarang melakukan beberapa hal. Salah satu yang dilarang adalah menggunakan tanah desa sebagai rumah tempat tinggal. Pergub itu juga menyebut, tanah kas desa merupakan bagian dari tanah desa sehingga tanah kas desa seharusnya juga tak boleh digunakan untuk rumah.
Di sisi lain, ada perusahaan yang menyewa tanah kas desa, lalu mendirikan bangunan yang mirip dengan rumah tinggal dan kemudian dipasarkan. Dalam iklan di internet, bangunan tersebut kerap disebut sebagai hunian sehingga konsumen pun sering mengasosiasikan properti itu sebagai rumah. Namun, agar tak disebut melanggar aturan, properti itu ditawarkan dengan skema investasi, bukan jual beli.
Dalam skema investasi itu, konsumen atau investor diminta menyetorkan uang ke perusahaan pengembang untuk membangun properti di atas tanah kas desa. Setelah itu, properti yang telah dibangun akan dikelola untuk disewakan sehingga investor akan mendapat pemasukan dari uang sewa tersebut.
Selama beberapa waktu terakhir, keberadaan rumah atau properti yang dibangun di atas tanah kas desa di DIY memang menjadi sorotan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Lahan yang akan digunakan untuk lokasi pembangunan Apartemen Royal Kedhaton diKecamatan Gedongtengen, Yogyakarta, ditutup dengan lembaran seng, Sabtu (4/6/2022). Berdasarkan penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti diduga menerima suap untuk memuluskan penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) apartemen itu.
Cermati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Budi Arianto Wijaya, mengatakan, ada beberapa hal yang harus dicermati terkait tawaran investasi properti di atas tanah kas desa. Pertama, penyewaan tanah kas desa di DIY harus mendapat izin dari sejumlah pihak, bukan hanya pemerintah desa. Oleh karena itu, apabila izinnya tidak lengkap, pembangunan properti di atas tanah kas desa berpotensi menimbulkan masalah.
Pergub DIY No 34/2017 menyatakan, penyewaan tanah kas desa di DIY harus mendapat izin dari Keraton Yogyakarta atau Kadipaten Pakualaman. Sebab, menurut pergub itu, asal-usul tanah desa di DIY adalah dari tanah milik Keraton Yogyakarta atau Kadipaten Pakualaman.
Agar izin dari Keraton Yogyakarta atau Kadipaten Pakualaman bisa diberikan, pemerintah desa harus mengajukan permohonan kepada Gubernur DIY melalui bupati dengan tembusan ke Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY. Apabila bupati memberi rekomendasi dan Keraton Yogyakarta atau Kadipaten Pakualaman mengizinkan, Gubernur DIY akan menerbitkan surat keputusan mengenai izin penyewaan itu.
Hal kedua yang harus diperhatikan adalah penyewaan tanah kas desa memiliki jangka waktu tertentu. Pasal 20 Pergub DIY No 34/2017 menyatakan, jangka waktu sewa tanah kas desa paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang. Namun, perpanjangan itu harus memenuhi sejumlah syarat, misalnya dukungan dari minimal tiga orang yang berasal dari lembaga kemasyarakatan desa dan tokoh masyarakat.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah di sebuah kompleks perumahan yang berada di tanah desa di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (3/7/2022).
Budi menyatakan, masyarakat yang ingin melakukan investasi properti bisa jadi tak mengetahui bahwa penyewaan tanah kas desa dibatasi jangka waktu tertentu. Bahkan, sebagian dari mereka mungkin mengira bahwa bangunan dan lahan yang menjadi obyek investasi tersebut bisa menjadi milik mereka. Padahal, tanah kas desa tidak bisa diperjualbelikan sehingga investor pun tak bisa memiliki tanah tersebut.
”Kebanyakan investor tidak tahu bahwa itu ada jangka waktunya. Mayoritas masyarakat juga tidak tahu bahwa (properti di atas tanah kas desa) itu tidak untuk dimiliki,” ujar Budi yang merupakan pakar hukum properti.
Budi menambahkan, apabila penyewaan tak bisa diperpanjang setelah jangka waktunya habis, tanah desa tempat properti itu berdiri akan kembali dikelola pemerintah desa. Jika hal itu terjadi, investor berpotensi tak bisa lagi memanfaatkan properti tersebut.
”Kalau sewa tidak diperpanjang, tanah kembali ke pemerintah desa, termasuk bangunan yang ada di atasnya. Kalau bangunannya mau dibawa, silakan dibongkar,” ungkapnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pembangunan kompleks perumahan yang menggunakan bekas lahan sawah terus bermunculan, salah satunya di Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (4/9/2017).
Dekan Fakultas Hukum UAJY Sari Murti Widiyastuti mengimbau masyarakat yang mendapat tawaran investasi properti untuk berhati-hati. Sebelum melakukan investasi, masyarakat harus melihat secara cermat isi perjanjian investasi tersebut.
Sari juga mengingatkan, masyarakat juga mesti memahami bahwa investasi properti tidak sama dengan jual beli properti. ”Perjanjian investasi itu tentunya berbeda dengan perjanjian jual beli. Masyarakat harus bisa membedakan, mana yang jual beli properti dan mana yang investasi,” katanya.
Ia menyebut, dalam investasi properti, masyarakat selaku investor belum tentu akan menjadi pemilik properti tersebut. Investor hanya bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaan properti. ”Jangan berharap kalau investasi itu lalu menjadi pemilik bangunan. Tapi, kalau jual beli, kan, memang tujuannya untuk memiliki,” ujarnya.
Kecermatan sebelum melakukan investasi memang sangat dibutuhkan. Jangan sampai karena tergiur dengan harga murah, kita langsung melakukan investasi properti di atas tanah kas desa tanpa memahami sejumlah risikonya.