Alokasi Pupuk Subsidi untuk Bawang Merah di Bima Kurang
Kantor Staf Presiden turut memantau ketersediaan bawang merah di daerah dengan mengunjungi beberapa kecamatan di sentra bawang merah di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kantor Staf Presiden turut memantau ketersediaan bawang merah di daerah dengan mengunjungi beberapa kecamatan di sentra bawang merah di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Pemantauan komoditas bawang merah menjadi penting karena ketersediaan bawang merah memiliki peran besar untuk mengendalikan inflasi pangan nasional.
”Karena bawang merah termasuk komoditas yang memengaruhi inflasi di Indonesia,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) saat mengikuti panen bawang merah, di Desa Sai, Kecamatan Soromandi, Bima, Selasa (4/10/2022).
Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah potensial penghasil bawang merah di NTB. Dari 18 kecamatan di Kabupaten Bima, 16 di antaranya merupakan sentra produksi tanaman hortikultura tersebut. Data Dinas Pertanian Kabupaten Bima menyebutkan, saat ini luas panen bawang merah di 16 kecamatan 1.345 hektar dengan tiga kali masa panen dalam setahun.
Setiap kali panen, produksi bawang merah yang dihasilkan sebanyak 5-6 ton per 1 hektar. Sebanyak 70 persen dari hasil panen digunakan untuk memasok ke sejumlah wilayah di Indonesia dan 30 persen untuk kebutuhan lokal. ”Laporan dari Dinas Pertanian (Bima) tadi, sejauh ini pasokan masih aman, dan harganya cukup baik. Kisaran Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per kilonya,” tambah Moeldoko.
Pada kesempatan tersebut, Panglima TNI 2013-2015 ini juga meminta petani untuk meningkatkan produksi bawang merah dengan merawat tanaman secara baik dan dengan segenap hati. ”Mari bertani untuk kehidupan, bukan bertani untuk sekadar hidup,” tambahnya.
Kepala Dinas Pertanian Bima Nurma menyebutkan, beberapa persoalan yang dialami oleh petani bawang merah. Salah satunya adalah soal ketersediaan pupuk subsidi. ”Kalau bisa alokasi pupuk subsidi untuk petani bawang merah di sini ditambah. Agar produksi juga bisa lebih ditingkatkan,” kata Nurma.
Seperti diberitakan Kompas, Selasa (4/10/2022), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi nasional pada September 2022 mencapai 1,17 persen secara bulanan dan 5,95 persen secara tahunan. Inflasi bulanan itu merupakan yang tertinggi sejak Desember 2014 yang tercatat 2,46 persen, sementara inflasi tahunan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015 yang 6,25 persen.
Kelompok pengeluaran transportasi mengalami inflasi 8,88 persen dengan andil 1,08 persen pada inflasi September 2022. Komoditas dan jasa yang dominan memberi andil adalah bensin dengan andil 0,89 persen, tarif angkutan dalam kota 0,09 persen, solar 0,03 persen, dan tarif angkutan antarkota 0,03 persen. Selain itu, tarif ojek dan taksi daring memberi andil masing-masing 0,02 persen dan 0,01 persen.
Adapun kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau justru deflasi 0,3 persen. Kendati begitu, ada sejumlah komoditas pangan yang mengalami inflasi, salah satunya adalah beras yang inflasi tahunannya meningkat dari 1,13 persen pada Agustus 2022 menjadi 2,56 persen pada September 2022. Selain beras, komoditas lain yang menyumbang inflasi adalah cabai merah, telur ayam ras, minyak goreng, cabai rawit, daging ayam ras, dan bawang merah.
Di Bima, Moeldoko juga meninjau kesiapan lahan seluas 200 hektar untuk perluasan tanaman sorgum, di Desa Sampungu, Kecamatan Soromandu. Kabupaten Bima menjadi sasaran perluasan tanaman sorgum karena memiliki kapasitas lahan yang sangat luas dan karakter tanah yang cocok untuk pengembangan budidaya tanaman sorgum.
”Selama ini, lahan hanya ditanami jagung pada musim hujan. Saat kemarau, lahan kurang dimanfaatkan dengan baik karena tandus dan kering. Dengan karakter lahan seperti itu, tanaman sorgumlah yang cocok,” ujar Moeldoko.
Moeldoko menegaskan, perluasan tanam sorgum di Kabupaten Bima sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo terkait peningkatan produksi dan hilirisasi tanaman sorgum serta mengembangkan tanaman pengganti gandum untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Pada peta jalan pengembangan sorgum hingga 2024, sasaran luas tanam sorgum adalah 40.000 hektar yang tersebar di 17 provinsi dengan produksi sebesar 154.464 ton atau dengan asumsi produktivitas 4 ton per hektar. ”Pengembangan sorgum di Bima ini untuk memperkuat ketahanan pangan sesuai arahan Presiden,” kata Moeldoko.
Pada kesempatan itu, Moeldoko juga mengungkapkan bahwa pengembangan sorgum akan diintegrasikan dengan peternakan sapi, unggas, dan pengembangan bioetanol yang bersumber dari batang pohon sorgum. Untuk itu, jumlah offtaker atau perusahaan yang bisa menghubungkan komoditas petani ke pasar harus diperbanyak.
”Minimnya offtaker ini menyebabkan industri sorgum tidak bisa berkembang. Makanya, budidaya sorgum tidak bertumbuh secara masif. Tapi kalau persoalan offtaker ini bisa segera diselesaikan, ekosistem sorgum akan terbentuk, industrinya jalan, dan petani juga semangat menanam sorgum,” ujarnya.
Saat ini, salah satu offtaker yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah industri pakan ternak. Bahan baku industri tersebut adalah 50 persen jagung dan 50 persen protein lain yang salah satunya bersumber dari sorgum. ”Kalau ekosistem ini sudah terbentuk, ketika dibutuhkan untuk alternatif pangan, kita tinggal menggeser sorgum untuk pengganti beras,” ujarnya.
Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri menyambut baik rencana pengembangan budidaya tanaman sorgum di Bima. Hal itu, menurut dia, akan meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat di kawasan pinggiran Kabupaten Bima.
Namun, ia meminta program tersebut juga dibarengi dengan pembangunan sarana prasarana, terutama terkait pengairan lahan. ”Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana meyakinkan petani bahwa program sorgum lebih bagus dari jagung atau paling tidak sama,” ucapnya.
Sebelumnya, budidaya tanaman sorgum telah dikembangkan di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Pada Mei 2022, Presiden Joko Widodo telah melakukan panen perdana sorgum, di atas lahan seluas 3.800 hektar.