Harga Rumah di Semarang Kian Sulit Dijangkau
Masyarakat berpenghasilan rendah kian sulit mendapatkan rumah murah di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang rata-rata harganya selangit. Rumah murah di wilayah penyangga jadi alternatif paling rasional untuk dipilih.
Rumah, salah satu kebutuhan pokok yang mutlak harus dipenuhi. Namun, tingginya harga tanah di Kota Semarang, Jawa Tengah, membuat masyarakat berpenghasilan rendah kian sulit memenuhi kebutuhan akan rumah. Membeli rumah subsidi di wilayah penyangga menjadi alternatif solusi.
Harga tanah di Kota Semarang terbilang cukup tinggi, terutama di sejumlah wilayah yang tak jauh dari pusat keramaian dan pusat pemerintahan. Dari penelusuran di beberapa laman penjualan properti, harga tanah di sejumlah kawasan, seperti di Kecamatan Gajahmungkur, Semarang Barat, dan Semarang Selatan, mencapai Rp 9 juta per meter persegi. Harga itu setara dengan tiga kali upah minimum regional (UMR) Kota Semarang tahun 2022.
Mahalnya harga tanah membuat harga rumah ikut melambung. Masih berdasarkan penelusuran di sejumlah situs jual-beli properti, harga rumah di kawasan-kawasan tersebut terbilang fantastis. Setiap rumah dijual dengan harga, mulai dari Rp 600 juta hingga Rp 10 miliar, tergantung lokasi, luas tanah, dan luas bangunan.
Pekerja yang diupah sesuai dengan UMR Kota Semarang tahun 2022 sebesar Rp 2.835.021,29, Lestari (30), mengaku kesulitan membeli rumah di kawasan-kawasan itu. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai staf administrasi di salah satu perusahaan swasta di kawasan Semarang Selatan itu akhirnya membeli rumah di wilayah pelosok Kabupaten Semarang.
”Risikonya harus berangkat kerja lebih pagi supaya tidak terlambat. Jarak dari rumah ke tempat kerja sekitar 30 kilometer. Kalau naik sepeda motor kira-kira butuh waktu tempuh sekitar 50 menit sampai satu jam,” kata Lestari saat ditemui, Jumat (30/9/2022).
Lestari membeli rumah sederhana dengan luas bangunan 36 meter persegi dan luas tanah 60 meter persegi itu pada tahun 2021. Ketika itu, harganya Rp 150 juta. Ia memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi dari pemerintah. Dengan membayar uang muka sekitar Rp 30 juta, Lestari harus menyicil sekitar Rp 900.000 per bulan sampai dengan 15 tahun ke depan.
Baca juga: Waspadai Iming-iming Rumah Murah di Atas Tanah Kas Desa di DIY
Mengangsur Rp 900.000 per bulan, bagi Lestari cukup berat. Sebab, ia juga punya tanggungan cicilan sepeda motor sebesar Rp 300.000 per bulan.
”Mau bagaimana lagi, kalau tidak begini kapan bisa punya rumah? Sayang juga kalau (uangnya) dipakai untuk membayar indekos atau mengontrak, (besaran) bayarnya hampir sama tapi yang satu jadi hak milik dan yang satunya tidak,” ujarnya.
Rumah yang dibeli Lestari memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Rumah yang saat ini ia tinggali seorang diri itu belum dilengkapi dengan dapur dan pagar. Untuk mendapatkan keduanya, Lestari harus merogoh kocek tambahan sekitar Rp 11 juta.
Pilihan membeli rumah subsidi di luar Kota Semarang juga diambil oleh Febri (31), pekerja kontrak di salah satu perusahaan telekomunikasi di Kota Semarang. Tidak mampu membeli rumah di Kota Semarang yang juga menjadi alasan Febri membeli rumah di Kabupaten Kendal.
Sebelum akhirnya memutuskan membeli rumah di Kendal, Febri sempat mencari informasi terkait harga di sejumlah perumahan subsidi di Kabupaten Semarang dan Demak. Dari hasil penelusurannya, harga yang ditawarkan pengembang perumahan di Kendal ketika itu dinilai Febri paling sesuai dengan kantongnya.
Rumah dengan luas bangunan 30 meter persegi itu dibeli Febri pada tahun 2018 dengan harga Rp 130 juta. Melalui program KPR, Febri yang telah membayar uang muka sebesar Rp 25 juta itu harus mengangsur sebesar Rp 800.000 per bulan selama 15 tahun. Besaran cicilan itu dinilai tidak terlalu memberatkan bagi Febri yang mendapatkan pemasukan sekitar Rp 3,5 juta per bulan.
Saat ini, Febri yang masih lajang hanya membiayai kebutuhan sehari-hari untuk dirinya sendiri. ”Enggak tahu kalau nanti sudah punya istri dan anak, sanggup atau tidak. Kalau kurang ya nanti cari-cari tambahan pemasukan. Pokoknya berusaha punya rumah dulu,” katanya.
Bagi dia, rumah adalah kebutuhan dasar yang penting untuk dipenuhi. Memiliki rumah berarti memiliki ruang privat untuk diri dan keluarganya kelak. Selain untuk keperluan tempat tinggal, rumah itu juga diharapkan bisa diwariskan untuk anak-anaknya kelak.
Dengan kondisi harga dasar tanah, harga bahan bangunan, ataupun ongkos tukang yang naik terus setiap tahunnya, sulit rasanya kami membangun rumah yang ukurannya ditentukan minimal 60 meter persegi, dengan harga rumah maksimal sebesar Rp 150.500.000 per unit di Kota Semarang. Mau enggak mau ya harus minggir. (Juremi)
Selama ini, rumah subsidi banyak diminati oleh masyarakat Kota Semarang. Sayangnya, tanah dengan harga murah yang layak dijadikan kawasan perumahan hampir tidak ada lagi. Di wilayah pelosok Kecamatan Tembalang atau sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Semarang, misalnya, harga tanah yang diperuntukkan sebagai hunian paling murah sebesar Rp 300.000 per meter persegi. Di luar wilayah tersebut, harga tanah bisa mencapai jutaan rupiah per meternya.
Kondisi-kondisi tersebut mau tak mau membuat para pengembang perumahan subsidi mesti bersiasat. Caranya, mereka membangun di wilayah penyangga Kota Semarang, seperti Kabupaten Semarang, Demak, dan Kendal. Di wilayah-wilayah tersebut, rata-rata harga tanah yang layak dijadikan perumahan di bawah Rp 300.000 per meter persegi.
”Dengan kondisi harga dasar tanah, harga bahan bangunan, ataupun ongkos tukang yang naik terus setiap tahunnya, sulit rasanya kami membangun rumah yang ukurannya ditentukan minimal 60 meter persegi, dengan harga rumah maksimal sebesar Rp 150.500.000 per unit di Kota Semarang. Mau enggak mau ya harus minggir,” ucap Juremi, pengembang salah satu perumahan subsidi di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang.
Baca juga: Jalan Panjang Perumahan Rakyat
Meski lokasinya tak di Kota Semarang, mayoritas pembeli rumah subsidi yang dibangun Juremi adalah warga atau masyarakat Kota Semarang. Demi mendapatkan rumah yang harganya ramah di kantong, mereka rela menempuh puluhan kilometer menuju tempat mereka bekerja atau berkegiatan setiap harinya di Kota Semarang.
Cermat
Kendati harganya murah, kualitas rumah yang ditawarkan oleh pengembang perumahan harus diperhatikan. Pelaksana tugas Ketua Real Estat Indonesia (REI) Jateng, Joko Santoso mengimbau calon pembeli untuk cermat.
”Cermat dalam hal ini memperhatikan rekam jejak pengembang ini seperti apa, pernah ada pengalaman tidak enak dari konsumen lain atau tidak. Sebab, tidak sedikit kasus pembeli yang tertipu perumahan fiktif,” katanya.
Tak hanya memastikan rekam jejak pengembang, kualitas bangunan menurut Joko juga perlu diperhatikan. Pembeli perlu memastikan bahan-bahan yang dipakai untuk membangun rumahnya berkualitas.
Dari tahun ke tahun, target pasar untuk rumah subsidi di Kota Semarang mulai bergeser. Pada tahun 2000 awal, pasar rumah sederhana dengan harga murah, mayoritas adalah keluarga muda atau pekerja dengan usia 30 tahun ke atas. Kini, kebanyakan pekerja berusia di bawah 28 tahun sudah mulai meminati rumah subsidi.
Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2021 menunjukkan masih ada 12,75 juta rumah tangga yang belum memiliki hunian serta 29,45 juta rumah tangga menempati rumah tidak layak huni (Kompas, 25/8/2022).
Untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (di bawah Rp 4 juta per bulan) mendapatkan rumah yang layak dengan harga murah, pemerintah meluncurkan program 1 juta rumah dengan bantuan pembiayaan. Skema bantuan itu terdiri atas tiga jenis, yakni fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM), bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT), serta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Bantuan pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2023, misalnya, FLPP yang disediakan sebesar Rp 32 triliun untuk 220.000 unit rumah. Jumlah itu lebih banyak dari yang disediakan tahun 2022 sebesar Rp 29 triliun untuk target 200.000 unit rumah.
”Pemerintah terus mendorong penyediaan perumahan bagi rakyat sesuai dengan harapan masyarakat. Maka, mari kita bangun komitmen bersama berkolaborasi mewujudkan hunian layak dan terjangkau untuk semua,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Basuki dalam keterangannya.
Dalam penyaluran subsidi rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, PUPR bekerja sama dengan 38 bank pelaksana yang terdiri dari bank nasional maupun bank daerah. Bank Jateng merupakan salah satu bank daerah yang ditunjuk menjadi penyalur subsidi KPR sejak 2019.
”Sampai dengan Agustus 2022, bank Jateng telah menyalurkan KPR BP2BT untuk 129 unit rumah dengan plafon Rp 7,3 miliar. Selama hampir dua tahun berjalan, kredit macetnya nol persen,” ujar Direktur Utama Bank Jateng, Supriyatno, Minggu (2/10/2022).
Upaya membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah murah memang sudah dilakukan pemerintah dengan beragam program. Namun sayangnya, upaya itu tidak mudah dilakukan di Kota Semarang karena harga tanah di ibu kota Jawa Tengah itu juga sudah cukup tinggi.