Penyerahan Dua Pucuk Senjata Api dari Eks Kombatan GAM Diapresiasi
Dalam perjanjian damai 15 Agustus 2005, pemusnahan senjata api milik GAM menjadi salah satu kesepakatan. Namun, tidak semua senjata api milik GAM masuk dalam daftar pemusnahan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
MEULABOH, KOMPAS — Seorang mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, menyerahkan dua pucuk senjata api laras panjang kepada TNI Kodim 0105 Aceh Barat. Penyerahan senjata itu diapresiasi oleh TNI. Hingga kini senjata-senjata bekas konflik Aceh masih beredar di kalangan sipil.
Komandan Distrik Militer 0105 Aceh Barat Letkol lnf Dimar Bahtera dihubungi Senin (3/10/2022) mengatakan, senjata api tersebut diantar langsung oleh pemiliknya yang merupakan seorang mantan kombatan. Identitas eks kombatan itu dirahasiakan demi keamanan.
Dimar mengapresiasi eks kombatan yang dengan sukarela menyerahkan dua pucuk senjata api itu. Senjata telah disimpan cukup lama dan merupakan senjata bekas konflik Aceh. Dalam Perjanjian Damai 15 Agustus 2005, pemusnahan senjata api milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi salah satu kesepakatan perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM.
Namun, tidak semua senjata api milik GAM masuk dalam daftar pemusnahan. Diperkirakan, jumlah senjata yang dimusnahkan lebih sedikit dibandingkan jumlah senjata yang beredar di kalangan GAM. Sebagian eks GAM diduga masih menyimpan senjata itu.
Oleh karena itu, pihaknya mengibau senjata-senjata itu diserahkan. ”Kepada rekan-rekan eks kombatan yang masih menyimpan senjata api sisa konflik di Aceh agar menyerahkan kepada pihak yang berwenang,” ujar Dimar.
Dimar menuturkan, dia berjanji akan melindungi eks kombatan yang menyerahkan senjata secara sukarela, baik identitas maupun potensi diproses hukum. Penyerahan senjata secara sukarela dianggap bagian dari program teritorial yang relevan dengan konsep restorative justice.
Menurut Dimar, secara psikologis memegang senjata api tanpa ada aturan dapat memicu gangguan kestabilan emosi. Dia khawatir senjata ilegal digunakan untuk tindakan kriminal.
Penguasaan senjata api secara ilegal oleh sipil juga melanggar undang-undang darurat dengan ancaman hukuman maksimal mati atau penjara seumur hidup.
Dimar mengatakan perjanjian damai pada 2005 lalu menjadi tonggak pembangunan Aceh. Dia menyebutkan Aceh kini jauh lebih berkembang dibandingkan masa konflik. “Memajukan Aceh bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan buku dan pena (pendidikan), penguatan regulasi, agama serta moralitas,” ujar Dimar.
Direktur Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat Hak Asasi Manusia Aceh Khairil Arista menuturkan, senjata api bekas konflik masih beredar di kalangan sipil. Keberadaan senjata api di kalangan sipil dapat memicu kriminal dan mengganggu perdamaian Aceh.
Khairil mendorong Polri dan TNI untuk menyisir keberadaan senjata ilegal yang dikuasai sipil agar tidak digunakan untuk kriminal. Ia juga berharap pendidikan perdamaian kepada eks kombatan dan generasi muda Aceh diperkuat.
”Konflik membuat Aceh tertinggal dalam banyak hal. Perdamaian memberi harapan untuk pembangunan. Jangan sampai kita kembali ke masa lalu,” katanya.
Catatan Kompas sejak 2011 hingga 2022 terjadi delapan kasus penembakan oleh sipil. Kejadian itu tersebar di Aceh Besar, Banda Aceh, Bireuen, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Barat. Sebanyak 13 orang tewas. Sebagian pelaku adalah eks kombatan.
Korban bukan hanya warga sipil, melainkan juga dari kalangan militer. Komandan Badan Intelijen Strategis Pidie bahkan tewas ditembak dari jarak sangat dekat pada November 2021.