BBM Picu Inflasi Tinggi di Kalsel, Pemberian Subsidi Transportasi Diperlukan
Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM menjadi pemicu utama inflasi tinggi di Kalimantan Selatan pada September 2022. Diperlukan intervensi pada sektor transportasi agar inflasi di Kalsel bisa lebih terkendali.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARBARU, KOMPAS — Tingkat inflasi di Kalimantan Selatan pada September 2022 mencapai 1,42 persen atau tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Secara tahunan, inflasi Kalsel sudah mencapai 7,35 persen dan berada di atas inflasi nasional 5,95 persen. Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM menjadi pemicu utama inflasi tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel, Senin (3/10/2022), merilis, tingkat inflasi pada September 2022 sebesar 1,42 persen secara bulanan atau mencapai 5,56 persen sepanjang tahun ini. Secara tahunan, Kalsel sudah mengalami inflasi 7,35 persen, jauh di atas inflasi tahun sebelumnya 2,56 persen.
Kepala BPS Kalsel Yos Rusdiansyah menyampaikan, inflasi Kalsel merupakan gabungan inflasi dari tiga kota, yaitu Banjarmasin, Tanjung, dan Kotabaru. Pada September 2022, semua kota itu mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Banjarmasin (1,56 persen), disusul Kotabaru (0,73 persen) dan Tanjung (0,66 persen).
”Inflasi Kalsel lebih tinggi dari inflasi nasional. Ini menunjukkan gejolak harga di Kalsel sangat dinamis dibandingkan nasional, terutama setelah kenaikan harga BBM per 3 September 2022. Dampaknya mulai terasa di Kalsel,” katanya di Banjarbaru, Senin.
Tingkat inflasi nasional pada September 2022 mencapai 1,17 persen secara bulanan dan 5,95 persen secara tahunan. Inflasi bulanan itu merupakan yang tertinggi sejak Desember 2014 yang inflasinya tercatat 2,46 persen, sementara inflasi tahunan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015 yang mencapai 6,25 persen (Kompas.id, 3/10/2022).
Menurut Yos, inflasi di Kalsel pada September 2022 dipengaruhi hampir semua kelompok pengeluaran. Dari 11 kelompok pengeluaran, 10 di antaranya mengalami inflasi dan hanya satu yang mengalami deflasi, yaitu kelompok pengeluaran informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Dari 10 kelompok pengeluaran yang memicu inflasi, sektor yang paling dominan menyumbangkan inflasi adalah sektor transportasi, yakni 7,65 persen, dan memberikan andil pada inflasi sebesar 0,88 persen. Hal itu dipengaruhi kenaikan harga solar dan bensin serta biaya transportasi barang dan angkutan antarkota.
Kelompok pengeluaran terbesar kedua yang memicu inflasi adalah kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar lainnya, yaitu 1,61 persen, dengan andil 0,29 persen. Inflasi pada kelompok pengeluaran ini terjadi akibat kenaikan tarif air minum dan elpiji yang cukup tinggi.
Yos mengatakan, kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang semula banyak dikhawatirkan mengalami inflasi tinggi justru relatif terkendali. Gejolak harga-harga pada kelompok pengeluaran ini hanya mengalami inflasi 0,21 persen dengan andil 0,06 persen.
Perlu intervensi
Yos menyebutkan, komoditas yang mengalami kenaikan harga dengan andil inflasi tertinggi di Kalsel, antara lain bensin, tarif air minum, beras, bahan bakar rumah tangga, daging ayam ras, solar, mobil, popok bayi, angkutan antarkota, dan kacang panjang. Pada urutan teratas, komoditas pendorong inflasi di Kalsel pada September 2022 adalah bensin bersubsidi.
”Kenaikan harga BBM serta biaya transportasi barang dan angkutan antarkota sangat dominan memengaruhi inflasi di Kalsel. Diperlukan intervensi pada sektor transportasi agar inflasi di Kalsel pada bulan-bulan berikutnya bisa lebih terkendali,” katanya.
Gubernur Kalsel Sahbirin Noor dalam kegiatan high level meeting dan Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Kalsel di Banjarmasin, Selasa (27/9/2022), menyampaikan, ada empat hal yang harus dilakukan pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota dalam upaya pengendalian inflasi di Kalsel.
Pertama, kerja sama antardaerah harus dilakukan secara intensif, terutama untuk menjaga suplai komoditas yang selama ini menjadi penyebab inflasi. Kedua, operasi pasar harus dilakukan untuk memastikan keterjangkauan harga dan pemerataan kebutuhan di masyarakat. Ketiga, mendorong peningkatan nilai tambah di sektor pertanian.
Keempat, penyaluran subsidi sektor transportasi, khususnya kepada distributor pangan serta nelayan diharapkan tepat sasaran. Hal itu diharapkan akan memperlancar distribusi komoditas pangan antardaerah. ”Kolaborasi dalam pengendalian inflasi benar-benar harus tertuang dalam program, aksi, dan tindakan nyata di lapangan,” katanya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalsel Imam Subarkah mengatakan, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota diharapkan dapat mengendalikan inflasi secara optimal. ”Pemberian subsidi ongkos transportasi barang diharapkan bisa lebih menurunkan potensi inflasi di Kalsel,” ujarnya.