Hanya dengan keadilan dan kebenaran untuk mengungkap tragedi kerusuhan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, keluarga dan kerabat dari 129 jiwa Aremania yang meninggal bisa mendapat penghiburan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Menunjukkan simpati dan dukacita bagi korban kerusuhan, pendukung Arema FC atau Aremania menaburkan bunga di Patung Singo Tegar yang berada di kompleks Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Kerusuhan terjadi saat berlangsung Liga 1 BRI antara Arema FC dan Persebaya. Kerusuhan dimulai saat polisi menghalau suporter yang turun ke lapangan setelah Arema FC kalah 2-3. Gas air mata yang dilepaskan oleh polisi membuat kepanikan dan menyebabkan banyak penonton terinjak-injak dan kesulitan napas. Sebanyak 129 orang tewas dalam kejadian tersebut.
Tragedi kerusuhan yang menewaskan sekitar 129 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam, menghadirkan duka mendalam. Lantas, penghiburan apa yang layak dipersembahkan bagi orangtua dan kerabat korban yang meninggal dalam tragedi sepak bola seusai laga antara Arema FC dan Persebaya Surabaya itu?
"Keadilan yang seadil-adilnya, kebenaran yang sebenar-benarnya," kata Mashadi, orangtua Hindun Diana, sambil terisak di RSUD Dr Saeful Anwar, Kota Malang, Minggu (2/10/2022) siang.
Hindun, gadis 19 tahun, salah satu dari 17 jenazah yang Ahad siang itu diidentifikasi oleh tim di Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Identifikasi diperlukan untuk memastikan hubungan kekerabatan korban kerusuhan seusai laga Liga 1 di Stadion Kanjuruhan itu. Setelah teridentifikasi, keluarga dapat membawa dan mengebumikan jenazah gadis itu.
Senada diutarakan Aji Suryadi, ayahanda dari Akbar Raihan Firdaus (15). Sang anak meninggal dalam penanganan setelah tragedi Kanjuruhan, Sabtu malam itu. Kerusuhan yang dipicu kekalahan Arema 2-3 dari Persebaya itu meninggalkan luka dan duka yang teramat dalam.
”Dia masih anak-anak, mengapa turut menjadi korban,” kata Aji.
Sepak bola mungkin menjadi dunia yang segera dibencinya. Itu berbeda dengan masa muda Aji ketika berani bertaruh nyawa untuk mendukung tim idola.
Di Instalasi Gawat Darurat, Edi Hermanto terus memanjatkan doa untuk kesembuhan sang putri, Bellanis Agustin (16), yang tengah dirawat. ”Kalau tahu akan begini, mending gak usah lihat sepak bola di stadion, di rumah saja, aman,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ambulans membawa jenazah korban kerusuhan di Stadion Kanjuruhan seusai proses identifikasi jenazah di Instalasi Kedokteran Forensik Medikolegal Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan jumlah korban tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan sebanyak 129 orang. Jumlah ini bertambah 2 orang dari data awal sebanyak 127 korban tewas. Sebanyak 18 jasad belum dapat diidentifikasi.
Laporan Harian Khusus Kepolisian Resor Malang bertanggal 1 Oktober 2022 menyebutkan terjadi kerusuhan suporter setelah pertandingan Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan di Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang. Kerusuhan itu mengakibatkan korban meninggal sebanyak 129 orang dan terluka 180 orang.
Kerusuhan itu bukan antar-pendukung, melainkan Aremania, pendukung Arema, dan petugas keamanan. Bonek, pendukung Persebaya, tidak ada di stadion dalam laga yang menurut penyelenggara dihadiri lebih dari 42.000 orang sehingga melebihi kapasitas itu.
Tragedi mengakibatkan kematian suporter dan dua polisi. Para korban yang terluka dan sesak napas dibawa dan ditangani di 12 rumah sakit di Kabupaten Malang dan Kota Malang. Dalam kerusuhan itu, Pori juga menderita kerugian materiil, yakni kerusakan 13 mobil dan truk patroli dan untuk pengendalian massa.
Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Nico Afinta Karokaro menyatakan, sebanyak 34 orang meninggal di Stadion Kanjuruhan. Mayoritas korban meninggal dalam perjalanan atau penanganan di RS.
Nico menyatakan, tindakan petugas dalam penanganan suporter di Kanjuruhan, termasuk penggunaan gas air mata, ditempuh karena terpaksa dan sesuai aturan. Regulasi dimaksud mungkin Peraturan Kepala Polri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Prosedur Tetap Kepala Polri Nomor Protap 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Meski begitu, Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA jelas menyatakan, gas air mata dilarang digunakan di dalam stadion untuk penanganan kejadian yang melibatkan suporter.
Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia Ignatius Indro menyatakan, kompetisi Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 perlu dihentikan terkait tragedi Kanjuruhan. Semua pemangku kepentingan agar berbenah secara menyeluruh, terutama dalam penentuan prosedur tetap pengamanan pertandingan, perbaikan sistem kompetisi, dan pendidikan suporter.
”Ada hal yang lebih besar daripada rivalitas atau bahkan sepak bola itu sendiri, yakni kemanusiaan,” kata Indro. Kematian para pendukung di Kanjuruhan itu bukan sekadar kepedihan bagi Aremania, melainkan kemanusiaan. Ada hak untuk hidup yang paling esensial yang direnggut. Seharusnya tiada laga sepak bola seharga nyawa.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Bangkai mobil yang rusak terbakar saat kerusuhan sehari sebelumnya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Kerusuhan terjadi saat berlangsung Liga 1 BRI antara Arema FC dengan Persebaya. Kerusuhan dimulai saat polisi menghalau suporter yang turun ke lapangan setelah Arema FC kalah 2-2. Gas air mata yang dilepaskan oleh polisi membuat kepanikan dan menyebabkan banyak penonton terinjak-injak dan kesulitan napas. Sebanyak 129 orang tewas dalam kejadian tersebut.
Guru Besar Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi mengatakan prihatin dan terpukul dengan tragedi Kanjuruhan. ”Seberapa dalam kekecewaan yang dirasakan oleh seseorang hingga melakukan tindakan nekat yang berujung pada kematian massal?” katanya.
”Seberapa kuat kesetiaan seorang fans kepada timnya sehingga batas dukungan adalah titik darah penghabisan? Sekuat apa cinta seseorang pada tim hingga hidup dan mati dipertaruhkan untuknya?” tanya Ahmad menggugat.
Howard Cosell dalam buku After All, is Football a Game or a Religion? menyatakan, sepak bola menjadi olahraga yang menyihir dan mampu membangkitkan ekstase umat manusia. Permainan ibarat ritual sehingga penonton merasakan suka dan duka bersama. Pemain dipuja seperti nabi. Segala kisah hidup para pemain idola diikuti, bahkan diteladani. Ketika terjadi gangguan, pendukung seolah berubah menjadi laskar berani mati untuk membela kehormatan tim sepak bola pujaan.
Pandangan tadi sebenarnya tidak keliru bagi yang memang memuja sepak bola. "Dewa" sepak bola, seperti Diego Maradona dari Argentina atau Pele dari Brasil, meyakini bahwa olahraga ini adalah agama. Sepak bola disembah dan diperlakukan seperti Tuhan. Dunia juga paham dan tak menolak ketika Maradona menyandang gelar ”Si Tangan Tuhan” yang turut mengantar Argentina memenangi Piala Dunia 1986 Meksiko.
Di sisi lain, Ahmad melanjutkan, filsuf Karl Marx pernah menyatakan agama sebagai candu yang meninabobokan masyarakat. Dikaitkan dengan konteks sepak bola yang diperlakukan layaknya sebagai agama, ia pun menggugat, candu seperti apa yang mampu membuat suatu laga berakhir dengan kerusuhan dan kematian massal?
Tragedi di Kanjuruhan tidak hanya menyisakan duka mendalam maupun sesal yang tak berkesudahan. Namun, seperti halnya Mashadi, pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan bisa menjadi sedikit pelipur lara atas tragedi kemanusiaan itu.