Pesan Kesetaraan dari Selembar Kain Batik Toeli
Dari Batik Toeli Laweyan, kain batik tak bisa lagi dipandang hanya sebatas kain indah penuh goresan lilin. Lewat selembar kain, pesan kesetaraan digemakan ke seluruh penjuru negeri.

Seorang pembatik difabel tuli tengah mengerjakan kain batik di Batik Toeli Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022). Perusahaan batik rumahan tersebut mempekerjakan para difabel tuli. Misi pemberdayaan difabel dikedepankan lewat lini usaha tersebut.
Suasana sunyi senyap. Seorang laki-laki gundul fokus dengan kuas catnya. Ia tengah mewarnai selembar kain batik dengan motif suluk. Sesekali ia meletakkan kuasnya di gelas plastik. Kedua matanya lantas menjelajahi seluruh bagian kain batik tersebut. Ia memastikan agar tak ada goresan catnya yang merembes keluar dari motif batik garapannya.
Senyum laki-laki itu tersungging begitu saja sesaat setelah matanya rampung menjelajah. Ia merasa senang. Kain batik yang dikerjakannya bisa diwarnai dengan rapi. Tanpa bersuara, ia bergegas mengambil kuas cat untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
Lelaki itu bernama Angga (30). Ia merupakan salah seorang difabel tuli yang bekerja di Batik Toeli Laweyan sejak 2020. Bersamaan dengan didirikannya perusahaan batik rumahan tersebut. Itu bermula dari ajakan seorang temannya. Pertama kali bergabung, ia belum punya pengalaman membatik.
Lihat juga: Mengunjungi Kampung Batik Kauman

Seorang pembatik difabel tuli tengah mengerjakan kain batik di Batik Toeli Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022). Perusahaan batik rumahan tersebut mempekerjakan para difabel tuli. Misi pemberdayaan difabel dikedepankan lewat lini usaha tersebut.
”Saya belajar membatik dari nol. Baru di sini (Batik Toeli Laweyan) saya belajar soal batik. Dalam pekerjaan ini, saya sekaligus mendapatkan keterampilan tambahan. Senang sekali rasanya diberi kesempatan seperti ini,” kata Angga di sela-sela waktu kerjanya di Batik Toeli Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022).
Boleh dibilang batik sekaligus jadi penyelamat Angga. Sebelum memasuki bekerja sebagai pembatik, ia merupakan penjahit celana. Akibat gempuran pandemi Covid-19, usahanya menjahit celana ikut terguncang. Pesanan rutin dari wilayah Jakarta dan sekitarnya berhenti seketika. Lantas, tawaran untuk bekerja di bidang batik tidak disia-siakannya.
Waktu yang dibutuhkannya untuk belajar batik hanya sekitar satu bulan saja. Pertama kali yang dipelajarinya adalah metode pewarnaan, yang kini justru menjadi keahliannya. Lama-lama ia mempelajari proses lain yang cenderung lebih sulit seperti mencanting. Sekarang, ia sudah bisa keduanya. Kesabaran dan kemauan untuk belajar yang membuatnya cepat mempelajari hal-hal tersebut.
”Dengan keterampilan ini, saya menjadi lebih percaya diri. Tidak banyak orang yang bisa membatik. Apalagi batik saya bisa dijual. Itu tambah senang lagi. Tambah semangat rasanya,” ungkap Angga.

Pembatik sedang mengerjakan kain batik yang didesain oleh Dian Prymadika,di Batik Mahkota Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022) siang. Dian merupakan pembatik difabel yang berkarya di Batik Toeli Laweyan. Perusahaan batik tersebut mempekerjakan sejumlah difabel tuli lain seperti Dian.
Sosok teman yang menyeret Angga terjun menjadi pembatik adalah Dian Primadyka (32). Dian juga penyandang difabel tuli. Ia sekaligus salah seorang aktor di balik berdirinya Batik Toeli Laweyan. Itu semua berawal dari pekerjaannya sebagai pembatik di Batik Mahkota Laweyan pada 2012.
Waktu itu, Dian baru saja lulus dari SLB Negeri Surakarta. Ia berencana mencari kerja sesuai dengan keterampilan yang diasahnya sejak kecil, yakni menggambar. Kebetulan tetangganya sempat membawa salah satu karya gambarnya pada pemilik Batik Mahkota Laweyan, yakni Alpha Fabela Priyatmono, yang juga tokoh dari Kampung Batik Laweyan. Alpha tertarik dengan bakat yang dimiliki Dian sehingga merekrutnya sebagai pegawai.
”Tetapi masuk juga tidak masuk begitu saja. Ada tesnya,” ungkap Dian, dengan bahasa isyarat.

Dian Primadyka (tengah) mengecek desain batiknya yang akan dipamerkan dalam hari batik di Batik Mahkota Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022) siang. Ia merupakan pembatik difabel yang berkarya di Batik Toeli Laweyan. Perusahaan batik tersebut mempekerjakan sejumlah difabel tuli lain seperti Dian.
Kemampuan Dian berkembang pesat selama berkiprah menjadi pembatik. Semua proses kreatif dilahapnya dengan semangat. Itu membuatnya mahir dalam segala tahapan pembuatan batik, mulai dari mendesain hingga menjadi kain batik yang siap dijual.
Sekali waktu, kenang Dian, Alpha mengajaknya berdiskusi untuk membuat lini usaha baru. Lini usaha tersebut masih bergerak di bidang batik. Namun, para pekerjanya terdiri dari para difabel tuli. Rencana itu disambut Dian dengan penuh semangat. Bergegaslah ia mencari beberapa orang temannya sesama difabel. Akhirnya, berdiri juga Batik Toeli Laweyan pada 2020.
Ada empat orang yang berhasil diajak Dian bergabung ke Batik Toeli Laweyan. Semuanya belum punya latar belakang keterampilan membatik. Lalu, mereka bekerja secara otodidak. Hanya dalam waktu 1-2 bulan kemampuan dasar membatik berhasil dikuasai.
Produk batik yang mereka hasilkan berupa batik tulis. Macam-macam kain batik tersebut diolah kembali menjadi barang-barang seperti masker, kemeja, hiasan dinding, totebag, dan lain sebagainya. Harganya mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 1 juta. Produk termahal berwujud kain batik tulis berukuran besar.
Saya sering berimajinasi. Daripada sekadar ada di pikiran lebih baik saya tuangkan jadi desain motif. Ternyata, banyak juga yang akhirnya menjadi motif batik. (Dian)

Batik berjudul "Persatuan Indonesia" sedang dicek di Batik Mahkota Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022) siang. Itu merupakan desain batik dari seorang pembatik difabel yang berkarya di Batik Toeli Laweyan. Perusahaan batik tersebut mempekerjakan sejumlah difabel tuli lain seperti Dian.
Sejauh ini, pemasarannya mengoptimalkan jalur daring dengan menggunakan media sosial seperti Facebook dan Instagram. Lewat model pemasaran tersebut produk berjenis masker sempat terjual sampai ke Amerika Serikat.
Bergerak di bidang mode menuntut Batik Toeli Laweyan agar tidak ketinggalan tren terkini. Kondisi itu mendorong supaya pembuatan desain motif dilakukan setiap pekan. Penyumbang desain paling rajin adalah Dian. Sampai-sampai, rekan sejawatnya memberi julukan seniman padanya. Dalam sebulan, ia mengaku, bisa menghasilkan hingga 50 motif desain baru. Inspirasinya bisa berasal dari mana saja. Baik mencari referensi lewat jagat maya dan imajinasinya.
”Saya sering berimajinasi. Daripada sekadar ada di pikiran lebih baik saya tuangkan jadi desain motif. Ternyata, banyak juga yang akhirnya menjadi motif batik,” kata Dian.

Pembatik sedang mengerjakan kain batik yang didesain oleh Dian Prymadika, di Batik Mahkota Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (30/9/2022) siang. Dian merupakan pembatik difabel yang berkarya di Batik Toeli Laweyan. Perusahaan batik tersebut mempekerjakan sejumlah difabel tuli lain seperti Dian.
Ketika ramai perbincangan soal Moto GP, di Mandalika, NTB, Dian bersama rekan-rekannya dari Batik Toelis Laweyan coba ambil kesempatan. Mereka pun membuat sejumlah desain batik bertema lomba balap tersebut. Motif yang dihasilkan antara lain bergambar trek lintasan Sirkuit Mandalika, Marc Marquez, hingga sang legenda balap Valentino Rossi. Meski demikian, ornamen tradisional disajikan lewat motif-motif daerah pada beberapa sisi kain batik bertema balap motor tersebut.
Menyambut hari batik, Dian kembali menyiapkan satu karya baru. Kali ini, motifnya ia namai ”Persatuan Indonesia”. Dalam kain batik berukuran 3 meter x 2,5 meter, tertuang berbagai motif ornamen tradisional yang terentang dari wilayah Jawa, Papua, Sumatera, Padang, Bali, Sulawesi, NTT, hingga NTB. Di tengah-tengah kain tertulis ”Hari Batik Nasional”. Menurut rencana, kreasi batik tersebut akan dipamerkan pada sebuah acara di Pura Mangkunegaran, Minggu (2/10/2022), dalam rangka perayaan hari batik nasional.
”Ini jadi salah satu cara menggaungkan karya teman-teman difabel tuli. Kami ambil tren yang ada lalu diadaptasi menjadi kain batik yang simpel,” kata Manajer Operasional Batik Toeli Laweyan Muhammad Taufan Wicaksono.
Baca juga: Selisik Batik

Penyandang disabilitas pendengaran, Dian Primadyka (31), menggoreskan pewarna batik pada tas kain bergambar bangunan masjid di industri Batik Toeli Laweyan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, Senin (26/4/2021). Minat pembeli tas bertema arsitektur bernuansa Ramadhan tersebut meningkat menjelang Idul Fitri. Industri tersebut saat ini mempekerjakan tiga penyandang disabilitas pendengaran untuk memberi mereka kesempatan berkembang dan mandiri secara finansial.
Sejak awal, kata Taufan, perusahaan yang dikelolanya berdiri dengan semangat untuk memberdayakan kelompok difabel. Lantas, adanya gempuran ekonomi akibat Covid-19 juga tak dianggap sebagai masalah sewaktu mendirikan perusahaan tersebut. Justru perusahaan itu malah bisa menjadi rumah baru bagi kelompok difabel yang baru saja kehilangan pekerjaan.
Dalam konsep pemberdayaannya, lanjut Taufan, pihaknya mempunyai slogan khusus, yakni ”psycho-socio-preneur”. Artinya, konsep kewirausahaan mengedepankan pengembangan psikologis dan sosial. Lewat lini usaha tersebut, pihaknya sekaligus ingin meningkatkan kepercayaan diri kelompok difabel yang kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
”Kami ingin mengubah mindset mereka lewat penambahan skill. Itu akan membuat mereka percaya diri dan bisa berinteraksi lebih dengan masyarakat. Harapannya, nanti mereka juga akan bisa menjadi wirausaha-wirausaha sukses di kemudian hari,” kata Taufan.
Dari Batik Toeli Laweyan, kain batik tak bisa lagi dipandang hanya sebatas kain indah penuh goresan lilin. Lewat selembar kain, pesan kesetaraan digemakan ke seluruh penjuru negeri. Ketekunan para difabel turut menjaga warisan budaya itu tetap lestari.