Program pemberdayaan nelayan menjadi salah satu tumpuan untuk menghadirkan kesejahteraan sekaligus menjaga wilayah Laut Natuna di beranda depan negara.
Oleh
PANDU WIYOGA
·6 menit baca
Sejak abad ke-6, Laut Natuna telah dikenal sebagai jalur pelayaran yang ramai dilewati kapal niaga dari berbagai penjuru dunia. Perairan antara Semenanjung Malaka dan Pulau Kalimantan itu juga kaya sumber daya minyak dan gas serta perikanan. Ironisnya, posisi strategis dan kekayaan alam di sana belum mampu menghadirkan kesejahteraan bagi warga kepulauan.
Di Laut Natuna terdapat 448 pulau kecil yang dikenal sebagai Gugusan Pulau Tujuh. Tiga pulau utama di gugusan itu adalah Bunguran, Siantan, dan Tambelan. Pengajar di Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Anastasia Wiwik Swastiwi, menuturkan, saat perdagangan di kawasan Asia Tenggara mencapai puncaknya pada abad ke-14 hingga ke-17, banyak pedagang dari China, Siam, dan Campa singgah di gugusan pulau itu.
”Gugusan Pulau Tujuh menjadi tempat berlindung para pedagang dari badai sekaligus tempat mengisi ulang perbekalan sebelum meneruskan pelayaran,” kata Wiwik yang juga salah satu penulis buku Sejarah Wilayah Perbatasan Kepulauan Natuna, Mutiara di Ujung Utara, Kamis (22/9/2022).
Sejak 2001, Gugusan Pulau Tujuh masuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Dalam perkembangannya, ratusan pulau kecil itu kemudian terbagi ke dalam tiga daerah otonom baru. Pulau Bunguran menjadi pusat Kabupaten Natuna, Pulau Siantan menjadi pusat Kabupaten Kepulauan Anambas, dan Pulau Tambelan menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Bintan.
Meskipun sekarang Gugusan Pulau Tujuh telah terbagi dalam tiga wilayah administrasi yang berbeda, penduduk di sana tetap terikat erat. Mayoritas penduduk Natuna, Anambas, dan Tambelan bekerja sebagai nelayan tradisional yang berbagi wilayah tangkap di Laut Natuna.
Belakangan, para nelayan itu resah oleh keberadaan kapal ikan asing dan kapal aparat asing yang memenuhi Laut Natuna. Insiden terakhir terjadi pada 12 September lalu, seorang nelayan asal Pulau Bunguran melaporkan kehadiran kapal Penjaga Pantai China.
China secara sepihak mengklaim hampir 80 persen perairan Laut China Selatan (LCS) berdasarkan alasan area penangkapan ikan tradisional. Klaim yang dituangkan China dalam sembilan garis putus-putus (nine-dash line) itu bersinggungan dengan lebih kurang 83.000 kilometer persegi atau 30 persen zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU).
Selama ini, aktivitas kapal China di LNU terkonsentrasi di perairan bagian timur laut, di koordinat 5-6 derajat Lintang Utara dan 109 derajat Bujur Timur. Kapal riset China, Haiyang Dizhi-10, diduga pernah menggelar survei bawah laut di perairan itu pada Agustus-Oktober 2021.
Wilayah pergerakan kapal riset China itu berada di sekitar Blok Minyak dan Gas (migas) East Natuna. Di sana terdapat lapangan gas D-Alpha dan lapangan gas Dara yang menyimpan cadangan gas terbesar di Indonesia.
Cadangan gas kotor di Blok East Natuna diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF). Adapun cadangan gas bersih, setelah dipisahkan dari CO2, diperkirakan lebih kurang 46 TCF. Jika berhasil dieksploitasi, cadangan gas alam itu disebut tidak akan habis sampai 30 tahun mendatang.
Sayangnya, sejak lapangan gas D-Alpha ditemukan pada 1973 dan lapangan gas Dara ditemukan pada 2000, sampai saat ini keduanya belum berhasil dieksploitasi karena membutuhkan biaya yang tinggi.
Direktur Indonesian Resources Studies Marwan Batubara menyarankan agar pemerintah menawarkan insentif untuk menarik minat investor mengeksploitasi gas di Blok East Natuna. ”Memberikan insentif kepada perusahaan migas memang akan mengurangi penerimaan negara. Namun, yang perlu diingat, eksploitasi gas di Blok East Natuna kini semakin mendesak karena kehadiran kapal-kapal China semakin meningkat di perairan itu,” tuturnya, Senin (26/9/2022).
Selain kaya migas, di Laut Natuna juga terdapat sumber daya perikanan yang melimpah. Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan potensi perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711, yang mencakup Laut Natuna, sebesar 767.126 ton per tahun atau 6,11 persen dari total potensi perikanan seluruh WPP di Indonesia.
Sayangnya, potensi perikanan yang melimpah itu tidak banyak dinikmati nelayan tradisional di Natuna, Anambas, dan Tambelan. Penyebabnya, penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing amat marak di Laut Natuna.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, maraknya penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) di Laut Natuna mengakibatkan Indonesia rugi sedikitnya Rp 2,98 triliun per tahun. Sebagai gambaran, produk domestik regional bruto (PDRB) Natuna dari sektor perikanan pada 2020 hanya Rp 1,88 triliun.
Pada awal 2020, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mendorong mobilisasi puluhan kapal cantrang dari pantai utara Jawa ke Natuna. Tujuannya untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna, sekaligus guna mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan itu.
Namun, belakangan ini, aksi tersebut justru menimbulkan konflik antarnelayan. Nelayan Natuna menuding alat tangkap cantrang tidak ramah lingkungan dan memicu penangkapan ikan yang berlebih. Tercatat dua kali kapal cantrang asal pantura Jawa tertangkap basah melanggar zona tangkap di Natuna.
Sementara itu, pada 7 September 2022, dua nelayan Natuna justru ditangkap aparat Malaysia karena menangkap ikan secara ilegal di perairan Sarawak. Menurut sejumlah nelayan, mereka harus mencari ikan hingga ke perairan negara tetangga karena sulit bersaing dengan kapal asing dan kapal cantrang.
”Sumber daya perikanan di WPP 711 seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat di sekitarnya. Maka, sangat ironis apabila perairan yang menjadi periuk nasi nelayan lokal justru dieksploitasi secara berlebih oleh kapal asing dan kapal dari luar daerah,” papar Halim.
Meskipun Laut Natuna kaya sumber daya alam, perekonomian daerah-daerah otonom baru yang dulu dikenal sebagai Gugusan Pulau Tujuh itu justru tertinggal. Daerah pemekaran itu belum mampu menunjukkan kemajuan ekonomi dan kemandirian fiskal.
Kalau pemerintah ingin meningkatkan produksi ikan di LNU sekaligus menyaingi kapal ikan asing di sana, tak perlu mendatangkan nelayan dari luar daerah. Nelayan lokal mampu melakukan hal itu; yang diperlukan hanya peningkatan ukuran kapal dan modernisasi alat tangkap. (Hendri)
Pendapatan asli daerah (PAD) Kepulauan Anambas dan Natuna hanya berkontribusi lebih kurang 5 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana perimbangan dari pusat masih menyokong sekitar 80 persen APBD kedua daerah.
Bupati Kepulauan Anambas Abdul Haris, Selasa (27/9/2022), mengatakan, pihaknya akan mendorong perusahaan migas agar mengalokasikan dana tanggung jawab sosial (CSR) untuk membantu pemberdayaan nelayan. Adapun Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda mengatakan, Pemerintah Kabupaten Natuna juga tengah berupaya menggenjot sektor perikanan agar dapat berkontribusi lebih banyak terhadap PAD.
”Pemberdayaan nelayan lokal harus didahulukan,” ujarnya, akhir Maret 2022.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Kamis (29/9/2022), mengatakan, upaya pemerintah memberdayakan nelayan bisa dimulai dengan meningkatkan kapal nelayan dari sebelumnya 3-5 gros ton (GT) menjadi 15-20 GT. Pemerintah juga diminta membekali nelayan dengan alat yang lebih efektif, tetapi tetap ramah lingkungan, seperti pukat cincin mini, pancing rawai, dan pukat cumi.
”Kalau pemerintah ingin meningkatkan produksi ikan di LNU sekaligus menyaingi kapal ikan asing di sana tak perlu mendatangkan nelayan dari luar daerah. Nelayan lokal mampu melakukan hal itu; yang diperlukan hanya peningkatan ukuran kapal dan modernisasi alat tangkap,” kata Hendri.
Sejak berabad-abad lalu, Laut Natuna adalah halaman depan sekaligus periuk nasi para nelayan. Oleh karena itu, selayaknya mereka menjadi prioritas utama dalam pemanfaatan kekayaan alam di sana.