Trauma dan Harapan Warga Papua di Balik Proses Hukum Lukas Enembe
Proses hukum terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang menjadi tersangka kasus gratifikasi masih berjalan hingga kini. Warga berharap penanganan kasus itu tidak memicu konflik di Jayapura seperti pada 2019.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
Rasa trauma masih mendera warga yang menjadi saksi dalam kerusuhan di Kota Jayapura, Papua, pada 2019. Warga berharap proses hukum terhadap Gubernur Lukas Enembe oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menyulut kembali bara konflik di daerah yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian di Papua ini.
Suasana di Taman Imbi di Kota Jayapura tampak ramai pada Rabu (28/9/2022) sekitar pukul 10.00 WIT. Para pengemudi mobil, truk, dan motor berlalu lalang melintasi ruas jalan umum yang berada di sisi kiri dan kanan taman yang berada di pusat perkotaan Jayapura.
Terdapat sejumlah pemilik tempat usaha dan pedagang kaki lima yang berjualan sirih pinang dan buah-buahan di sekitar Taman Imbi. Mereka kembali beraktivitas seperti biasanya demi mendapatkan pemasukan harian.
Kondisi ini berbeda situasi di Taman Imbi pada 20 September 2022. Saat itu terjadi aksi unjuk rasa massa pendukung Gubernur Papua Lukas Enembe dari pukul 09.00 hingga 17.00 WIT.
Massa yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Papua menggelar aksi unjuk rasa dengan tujuan utama di Taman Imbi, Jayapura. Mereka menuntut KPK menghentikan aksi kriminalisasi terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe. Sebab, Lukas tidak menerima gratifikasi, tetapi menggunakan uang miliknya senilai Rp 1 miliar pada 2020.
Aksi ini berjalan kondusif, tetapi menyebabkan banyak fasilitas publik, lembaga pemerintahan, dan sekolah yang tersebar di lima distrik (kecamatan) ditutup. Jayapura bagaikan kota mati saat itu.
Ainum Choliha, salah satu pemilik rumah makan di Taman Imbi, tampak sibuk melayani tamu ketika ditemui Kompas. Wanita berusia 47 tahun ini bersama suaminya yang bernama Adhli telah membuka rumah makan soto Lamongan di Taman Imbi selama 10 tahun terakhir.
Dalam sehari, pemilik tempat makan tersebut dapat menjual hingga 75 piring soto ayam kepada pelanggannya. Harga satu piring soto ayam senilai Rp 25.000.
Ibu dari dua anak ini menuturkan, pihaknya terpaksa menutup rumah makan saat terjadi aksi unjuk rasa. Ia mengaku masih trauma dengan kerusuhan di Kota Jayapura, 29 Agustus 2019. Kerusuhan dipicu aksi unjuk rasa massa yang memprotes aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Saat terjadi kerusuhan tiga tahun lalu di Kota Jayapura, Ainum bersama keluarga bersembunyi di Kantor Klasis Gereja Kristen Indonesia Port Numbay. Tempat itu hanya berjarak sekitar 10 meter dari tempat jualan milik Ainum.
”Kami sangat bersyukur dapat diselamatkan pihak gereja. Saya berharap tidak terjadi lagi aksi unjuk rasa yang memicu kerusuhan di Kota Jayapura,” harap Ainum.
Dalam peristiwa itu, lima warga meninggal dunia dalam kerusuhan di Jayapura. Dua anggota polisi terluka karena terkena lemparan batu dari pengunjuk rasa.
Dari hasil pendataan Polda Papua, fasilitas yang dirusak dan dibakar massa dalam kerusuhan di Kota Jayapura meliputi 31 kantor, 15 ruko, 24 kios, 33 sepeda motor, 36 mobil, dan 7 pos polisi.
Pihak kepolisian menyatakan adanya aksi makar yang berada di balik aksi unjuk rasa tersebut. Tujuh orang menjadi terpidana dalam kasus ini.
Cory Aroy, salah satu pedagang kaki lima di Kota Jayapura, juga merasakan dampak ketika terjadi gangguan keamanan di Kota Jayapura. Wanita asal Kabupaten Kepulauan Yapen ini mengaku tidak dapat berjualan hingga berminggu-minggu saat terjadi kerusuhan di Kota Jayapura pada 2019.
Cory mengaku kesulitan untuk membayar kredit modal usaha jika tak bisa berjualan ketika terjadi gangguan keamanan di Kota Jayapura. Dalam seminggu, ia wajib menyetor angsuran senilai Rp 220.000 dari hasil penjualan sirih pinang dan buah-buahan.
”Saya berharap warga dapat menyampaikan aspirasinya tanpa memicu konflik di Tanah Papua. Kami hanya ingin berjualan dengan tenang dan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar wanita berusia 52 tahun ini.
Masih bersiaga
Kepolisian Daerah Papua telah menyiagakan 2.100 personel di Kota Jayapura. Ribuan personel ini untuk mengantisipasi gangguan keamanan dalam proses hukum Gubernur Papua Lukas Enembe yang menjadi tersangka kasus dugaan gratifikasi.
Adapun Lukas belum memenuhi panggilan pemeriksaan dari KPK hingga kini dengan alasan gangguan kesehatan. KPK telah dua kali mengirimkan surat pemanggilan kepada Lukas untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua Brigadir Jenderal (Pol) Ramdani Hidayat mengatakan, situasi di Jayapura masih kondusif hingga saat ini. Tidak terlihat adanya konsentrasi massa dalam jumlah yang banyak di sekitar rumah Lukas.
”Kami telah menyiapkan 1.500 hingga 1.800 personel Polri dan belum ditambah personel dari TNI. Seluruh personel masih bersiaga dan belum ada pengamanan khusus karena situasi masih kondusif,” kata Ramdani.
Anggota DPR Papua, Namantus Gwijangge dari Partai Gerindra, mengatakan, pihaknya mendukung penuh upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Papua. Akan tetapi, ia berharap KPK terlebih dahulu memeriksa kondisi kesehatan gubernur sebelum memulai proses hukum kasus tersebut.
”KPK harus memastikan kondisi kesehatan beliau sebelum memulai proses pemeriksaan. Apabila kondisi kesehatan beliau baik-baik saja, proses penegakan hukum atas kasus tersebut bisa dilaksanakan,” kata Namantus.
Sementara itu, anggota DPR Papua, Laurenzius Kadepa dari Partai Nasional Demokrat, berpendapat, seharusnya KPK mengutus tim dokter ke Jayapura untuk memeriksa kondisi kesehatan Lukas. Sebab, Lukas belum dapat memenuhi pemeriksaan kesehatan hingga kini karena masih sakit.
”Kami yakin beliau akan mematuhi dan kooperatif dalam proses hukum kasus yang menjeratnya. Namun, KPK harus memberikan kesempatan bagi beliau untuk menjalani pengobatan terlebih dahulu,” kata Laurenzius.